|
Pernahkah kita berterima
kasih
kepada petani para
penanam benih?
Keramahan yang putih
Ketulusan tak pernah
menagih
Sengaja penulis kutipkan
puisi karya D Zawawi Imran, penyair asal Madura di atas agar kita tidak lupa
dari mana nasi yang setiap hari yang kita makan itu; apakah ujug-ujug ada
atau melalui proses yang tidak mudah, dan siapa pula yang menanamnya.
Mereka adalah para petani.
Hampir setiap hari baju mereka tidak pernah lepas dari lumpur sawah dan
sengatan terik matahari.
Sadar atau tidak, para
petani adalah penyokong ketahanan pangan di negeri ini. Bayangkan kalau saja
para petani di negeri ini mogok nasional sebagaimana buruh untuk tidak mau lagi
menanam. Bisa dipastikan hancurlah negeri ini.
Namun sebagaimana kutipan
puisi di atas, mereka para petani tetap tulus dan tak pernah menagih ini-itu
kepada pemerintah, melihat kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak
kepada mereka. Mereka tidak pernah menuntut, demo apalagi mogok menanam.
Sebagai anak petani, saya
yang sekarang ditakdirkan hidup di Kota Surabaya sering kali bertanya dalam hati,
apa pemerintah tidak bisa membuat aturan, sistem atau kebijakan yang melindungi
para petani?
Entah pernah berpikir atau
tidak, orang-orang yang sekarang nongkrong di kursi empuk Senayan dan kursi
empuk berbagai jabatan pemerintah bahwa nasi, sayuran, dan buah yang mereka
makan itu dari hasil keringat dan kerja keras para petani?
Pemerintah sepertinya lupa
bahwa petani dan nelayan di negeri ini sudah ada sebelum bangsa ini merdeka.
Mereka bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan
masyarakat.
Namun seiring masuknya
industrialisasi di mana berbagai sektor penunjang ekonomi seperti industri,
perbankan dan lain sebagainya mulai merambah negeri tercinta ini, nasib petani
dan nelayan tak lagi diperhatikan oleh pemerintah.
Bahkan seolah-olah
pemerintah dengan segala kebijakannya ingin melihat para petani mati secara
perlahan.
Betapa tidak di kala musim
tanam tiba, kebutuhan untuk menanam seperti pupuk menjerat leher petani,
sementara di saat musim panen tiba harga gabah anjlok. Akhirnya terjadilah
seperti kata pepatah, besar pasak dari pada tiang, di mana pengeluaran petani
saat menanam tidak sebanding dengan pemasukan saat panen.
Sementara itu pemerintah
seolah tidak ambil pusing dengan keadaan dan nasib para petani. Tidak ada usaha
sungguh untuk bagaimana memberdayakan dan melindungi para petani.
Sedikit-sedikit impor, coba kita gunakan nalar. Di negeri yang luar biasa
suburnya, tapi kedelai, cabai, bawang, beras, jagung, bahkan ikan saja harus
impor. Ini mengundang tanya sebenarnya apa pekerjaan menteri pertanian itu.
Kalau memang tidak becus
jadi Menteri Pertanian mengapa mau menerima jabatan yang nasib jutaan orang di
negeri ini menggantungkan hidupnya dari bertani? Tidakkah merasa sedikit
tersentuh saat melihat atau mendengar para petani gagal panen dan tidak tahu
harus dengan apa membayar utang untuk modal saat musim tanam tiba?
Pemerintah pastinya sudah
tahu bahwa negera besar di dunia ini adalah negara yang pertaniannya maju dan
petaninya hidup makmur, namun sayang pemerintah tidak sadar hanya sekadar tahu.
Ukuran negara itu makmur bisa dilihat dari kemakmuran petaninya, nelayannya,
rakyat kecilnya dan rakyat pada umumnya, bukan pada para pejabat dan
konglomeratnya.
Coba lihatlah Amerika,
China, dan Jepang, bagaimana ketiga negara maju itu melindungi petani.
Negara-negara itu sadar, bahwa negara tidak akan bisa maju dan mandiri apalagi
berdaulat kalau pangan saja menggantungkan dari negara lain. Seharusnya jika
DPR atau para menteri mau studi banding, ya studi banding ini, bukan studi
banding yang tidak jelas dan hanya menghamburkan uang negara saja.
Pemerintah seharusnya malu
dari negara-negara lain yang maju dan sangat memperhatikan para petaninya.
Sementara di negeri ini yang mempunyai luas tanah dan kesuburannya yang tak
ternilai, justru harus impor dan impor, petani seolah dianaktirikan padahal
mereka adalah penghasil pangan nasional. Senasib dengan petani, nasib nelayan
juga tidak kalah miris di negeri ini.
China negeri dengan penduduk
terbesar di dunia, begitu memperhatikan para petaninya. Para petani diberikan
kredit nol persen untuk mengembangkan pertaniannya di bank-bank pemerintah.
Sementara pemerintah kita, justru menciptakan ketergantungan para petani dan
nelayan untuk terus-menerus “menyumbang” keuangan negara dari bunga yang
mencekik, ketika para petani atau nelayan mengambil kredit untuk mengembangkan
pertaniannya.
Rasanya masih jauh negeri
ini dari kata makmur, kalau pemerintah terus saja menzalimi nasib para petani
dan nelayan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar