Kamis, 05 September 2013

Petani Indonesia Kian Menderita

Petani Indonesia Kian Menderita
Zaenal Abidin ;  Akademikus di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya
SINAR HARAPAN, 04 September 2013


Pernahkah kita berterima kasih
kepada petani para penanam benih?
Keramahan yang putih
Ketulusan tak pernah menagih

Sengaja penulis kutipkan puisi karya D Zawawi Imran, penyair asal Madura di atas agar kita tidak lupa dari mana nasi yang setiap hari yang kita makan itu; apakah ujug-ujug ada atau melalui proses yang tidak mudah, dan siapa pula yang menanamnya.

Mereka adalah para petani. Hampir setiap hari baju mereka tidak pernah lepas dari lumpur sawah dan sengatan terik matahari.

Sadar atau tidak, para petani adalah penyokong ketahanan pangan di negeri ini. Bayangkan kalau saja para petani di negeri ini mogok nasional sebagaimana buruh untuk tidak mau lagi menanam. Bisa dipastikan hancurlah negeri ini.

Namun sebagaimana kutipan puisi di atas, mereka para petani tetap tulus dan tak pernah menagih ini-itu kepada pemerintah, melihat kebijakan pemerintah yang tidak pernah memihak kepada mereka. Mereka tidak pernah menuntut, demo apalagi mogok menanam.

Sebagai anak petani, saya yang sekarang ditakdirkan hidup di Kota Surabaya sering kali bertanya dalam hati, apa pemerintah tidak bisa membuat aturan, sistem atau kebijakan yang melindungi para petani?
Entah pernah berpikir atau tidak, orang-orang yang sekarang nongkrong di kursi empuk Senayan dan kursi empuk berbagai jabatan pemerintah bahwa nasi, sayuran, dan buah yang mereka makan itu dari hasil keringat dan kerja keras para petani?

Pemerintah sepertinya lupa bahwa petani dan nelayan di negeri ini sudah ada sebelum bangsa ini merdeka. Mereka bekerja secara mandiri untuk memenuhi kebutuhan dirinya, keluarga dan masyarakat.
Namun seiring masuknya industrialisasi di mana berbagai sektor penunjang ekonomi seperti industri, perbankan dan lain sebagainya mulai merambah negeri tercinta ini, nasib petani dan nelayan tak lagi diperhatikan oleh pemerintah.

Bahkan seolah-olah pemerintah dengan segala kebijakannya ingin melihat para petani mati secara perlahan.

Betapa tidak di kala musim tanam tiba, kebutuhan untuk menanam seperti pupuk menjerat leher petani, sementara di saat musim panen tiba harga gabah anjlok. Akhirnya terjadilah seperti kata pepatah, besar pasak dari pada tiang, di mana pengeluaran petani saat menanam tidak sebanding dengan pemasukan saat panen.

Sementara itu pemerintah seolah tidak ambil pusing dengan keadaan dan nasib para petani. Tidak ada usaha sungguh untuk bagaimana memberdayakan dan melindungi para petani. Sedikit-sedikit impor, coba kita gunakan nalar. Di negeri yang luar biasa suburnya, tapi kedelai, cabai, bawang, beras, jagung, bahkan ikan saja harus impor. Ini mengundang tanya sebenarnya apa pekerjaan menteri pertanian itu.

Kalau memang tidak becus jadi Menteri Pertanian mengapa mau menerima jabatan yang nasib jutaan orang di negeri ini menggantungkan hidupnya dari bertani? Tidakkah merasa sedikit tersentuh saat melihat atau mendengar para petani gagal panen dan tidak tahu harus dengan apa membayar utang untuk modal saat musim tanam tiba?

Pemerintah pastinya sudah tahu bahwa negera besar di dunia ini adalah negara yang pertaniannya maju dan petaninya hidup makmur, namun sayang pemerintah tidak sadar hanya sekadar tahu. Ukuran negara itu makmur bisa dilihat dari kemakmuran petaninya, nelayannya, rakyat kecilnya dan rakyat pada umumnya, bukan pada para pejabat dan konglomeratnya.

Coba lihatlah Amerika, China, dan Jepang, bagaimana ketiga negara maju itu melindungi petani. Negara-negara itu sadar, bahwa negara tidak akan bisa maju dan mandiri apalagi berdaulat kalau pangan saja menggantungkan dari negara lain. Seharusnya jika DPR atau para menteri mau studi banding, ya studi banding ini, bukan studi banding yang tidak jelas dan hanya menghamburkan uang negara saja.

Pemerintah seharusnya malu dari negara-negara lain yang maju dan sangat memperhatikan para petaninya. Sementara di negeri ini yang mempunyai luas tanah dan kesuburannya yang tak ternilai, justru harus impor dan impor, petani seolah dianaktirikan padahal mereka adalah penghasil pangan nasional. Senasib dengan petani, nasib nelayan juga tidak kalah miris di negeri ini.

China negeri dengan penduduk terbesar di dunia, begitu memperhatikan para petaninya. Para petani diberikan kredit nol persen untuk mengembangkan pertaniannya di bank-bank pemerintah. Sementara pemerintah kita, justru menciptakan ketergantungan para petani dan nelayan untuk terus-menerus “menyumbang” keuangan negara dari bunga yang mencekik, ketika para petani atau nelayan mengambil kredit untuk mengembangkan pertaniannya.

Rasanya masih jauh negeri ini dari kata makmur, kalau pemerintah terus saja menzalimi nasib para petani dan nelayan. ●  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar