|
AGUSTUS berakhir dan rangkaian cerita
peringatan hari ke merdekaan bangsa ini pun mulai redup. Namun, jejak
kemeriahan tapak tilas kemerdekaan masih nyaring terdengar, seperti
keberhasilan operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) terhadap Kepala Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas) Rudi Rubiandini. Pejabat
bergaji fantastis itu dengan mudahnya dibuat silau oleh tumpukan dolar Amerika
Serikat (AS). Ditemukannya mata uang negara adidaya dalam jumlah yang tidak
wajar pada brankas seorang petinggi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
(ESDM) menambah permasalahan terkait dengan kasus SKK Migas.
Masih hangat pemberitaan media dan masih belum selesai
pemeriksaan di pengadilan tentang kasus impor daging sapi yang melibatkan petinggi
partai dengan slogan `bersih'. Begitu juga masih belum maju ke tahapan proses
selanjutnya atas kasus Hambalang, yang melibatkan mantan menteri dan mantan
petinggi partai penguasa. Belum lagi dugaan keterlibatan beberapa orang wakil
rakyat dalam sejumlah kasus penggarongan uang negara.
Penyakit korupsi itu sepertinya begitu menggerogoti berbagai
anggota tubuh negeri ini, dan sudah sampai stadium akhir. Kapan mulai
dideritanya bangsa ini mungkin lupa mencatatnya. Siapa yang memulainya untuk
pertama kali sepertinya juga tidak tercatat dengan baik oleh sejarah.
Mungkin memang benar apa yang dikatakan Mochtar Lubis
beberapa puluh tahun lalu, bahwa korupsi bukan lagi semata perbuatan sebagian
kecil kalangan, yang sporadis terjadinya, melainkan telah menjadi suatu budaya,
yang berlangsung massal dan terusmenerus. Sebagai budaya, tentu membutuhkan
waktu yang cukup panjang untuk menghidupkannya. Sebagai suatu budaya, tentu
bukan ha nya satu atau dua orang yang melestarikannya. Setuju atau tidak setuju
terhadap itu, yang jelas dan pasti, hingga hari ini j bangsa ini dan anak
bangsanya b belum bebas dan merdeka dari korupsi. Siapa yang berani
mengacungkan tangan dan menyombongkan diri dengan mengatakan bahwa negara
kesatuan ini telah merdeka dari korupsi.
Banyak lembaga
Berbagai ketentuan peraturan hukum telah diundangkan guna
menakut-nakuti mereka yang punya niat bermain-main dalam lingkaran korupsi. Bersamaan
dengan itu, cukup banyak lembaga dibentuk guna mendorong penumpasan korupsi di
negeri ini. Entah sudah berapa banyak anggaran negara dibuang untuk itu. Akan
tetapi, nyatanya semua itu tidak banyak memperlihatkan hasil yang nyata.
Korupsi dari tahun ke tahun semakin merajalela, bahkan sudah menjadi budaya
turun-temurun dan seperti sebuah warisan.
Pihak yang semestinya bertugas memberantas korupsi malah
ikut serta. Yang semestinya menegakkan aturan malah terseret. Yang bertanggung
ja wab untuk mengawasi aparat hukum juga tidak mau ketinggalan. Seolah
seluruhnya berlomba untuk bisa menikmati uang haram. Tidak jarang bahkan kita
dipertontonkan suatu perselisihan antarlembaga menyangkut pemberantasan
korupsi. Dari kesemuanya itu, yang tertinggal untuk pemberantasan korupsi bagi
sebagian kalangan lips service semata,
tidak lebih dari sebuah iklan yang tidak enak dipandang mata. Pendek kata,
(hampir) semua lapisan masyarakat telah tergerogoti oleh penyakit itu.
Sudah lebih dari cukup bagi kita semua anak bangsa untuk
hampir setiap harinya dipertontonkan lakon korupsi dengan berbagai babak dan
adegannya. Sudah lebih dari cukup bagi kita untuk melihat orang terpandang
memainkan perannya dalam pertunjukan korupsi itu. Korupsi laksana bukan lagi
sesuatu yang memalukan. Sepertinya korupsi telah menjelma menjadi kegiatan
keseharian yang tidak bisa kalau ditinggalkan.
Lebih parah dari itu semua, banyak dari pelakunya menyandang
predikat pejabat, sering mempertontonkan diri seolah layaknya seorang
penghibur, yang harus menjaga `citra diri' di depan kamera televisi, dengan
mempertontonkan senyum lebar ketika diberitakan perbuatannya. Seolah-olah ia
mengatakan korupsi itu hal biasa, halal, dan hanya karena apes akhirnya dia
terseret hukum. Tidak percaya? Coba lihat saja berapa banyak pejabat yang
merasa malu dan mengundurkan diri ketika tersangkut perkara korupsi. Sangat
sedikit, jika tidak mau dikatakan tidak ada karena sangat sedikitnya.
Bangsa dan negara ini harus merdeka dan bebas dari semua
itu. Kita berhak sekaligus berkewajiban untuk mencibir dan membuang dari
pusaran negeri, semua lakon yang bertemakan korupsi. Seluruh anak negeri harus
bahu-membahu membersihkan negeri ini dari penyakit yang sepertinya sudah sangat
kronis tersebut. Harapan itu ada di depan, dan akan teraih, bila, paling tidak
hukum bisa ditegakkan.
Tiga langkah
Untuk bisa menuju kepada negara yang bersih dari korupsi,
dengan ditopang sistem hukum yang berjalan dengan baik, paling tidak diperlukan
tiga syarat yang wajib dipenuhi. Pertama, diperlukan adanya aturan hukum yang
bagus, baik dari sisi keadilannya maupun dari sisi kepastian hukumnya. Meski
aturan yang ada tidak terlalu sempurna, untuk ini sepertinya kita tidak
kekurangan.
Kedua, harus memiliki aparat hukum yang kuat, cerdas, dan
bersih. Rasanya hanya KPK yang sampai hari ini bisa dikatakan memenuhi kriteria
itu dan komit terhadap tugas serta kewajiban mereka. Ketiga, perlu dikembangkan
budaya hukum yang baik, yaitu selain akan menjadi warga binaan dengan waktu
yang panjang, tanpa harapan besar bagi pengurangan hukumannya, koruptor akan
juga merasa terhukum dengan rasa malunya di masyarakat melebihi masa hukuman
badannya.
Dewasa ini hanya kepada KPK asa itu digantungkan. Meski
dengan napas yang terengah-engah, KPK berkeyakinan bangsa ini masih sangat
mungkin bebas dari korupsi. Perlu dorongan budaya hukum masyarakat untuk bisa
membantu KPK. Pencapaian tujuan sebagai negara yang bebas korupsi sudah tentu
tidak akan diperoleh secara instan karena mengingat, antara lain, dukungan bagi
KPK belumlah sempurna. Apalagi masih dibayangi pula dengan berbagai upaya
sementara kalangan yang (pernah) mencoba untuk mengubah dan mengebiri
kewenangan KPK, seraya mengedepankan berbagai alasan yang mengada-ada.
Layaknya kemerdekaan dari penjajah yang harus diraih dengan
berbagai pengorbanan, demikian pula halnya dengan bebasnya bangsa ini dari
korupsi, yang hanya bisa dicapai dengan keterlibatan semua lapisan masyarakat.
Fundamental kerja bagi KPK dalam pemberantasan korupsi perlu lebih diperkukuh.
Untuk itu, dukungan bagi KPK dari kita semua, baik dalam bentuk pemikiran,
tenaga dan doa, harus terus diberikan.
Semoga KPK tetap siap bisa menjadi panglima pemberani bagi
bangsa ini, yang terusmenerus memberi aba-aba dan komando pada kita semua. KPK
harus tetap mengangkat pedang mereka yang tajam dan panjang untuk mencapaikan
tujuan Indonesia bebas diri dari korupsi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar