|
KEGIATAN
Sensus Pertanian 2013 (ST2013) yang menghabiskan dana sekitar Rp1,6 triliun
telah selesai dilakukan bulan Mei lalu. Masyarakat yang semakin kritis terhadap
hasil survei BPS berharap Badan Pusat Statistik (BPS) dapat menjaga kualitas
data ST2013 guna mempertanggungjawabkan kegiatan ini secara lebih baik.
Meski hampir luput dari diskusi
publik dan liputan media, sebab ST2013 kalah seksi jika dibandingkan dengan
berita politik jelang Pemilu 2014, dunia pertanian Indonesia kini memasuki
babak baru. Di antaranya hasil sensus pertanian 2013 akan memberi data dan
informasi terkini tentang berbagai aspek pertanian yang akan digunakan sebagai
pilar perbaikan pembangunan pertanian sepuluh tahun ke depan.
Pemerintah dan masyarakat
agrobisnis akan dapat memanfaatkan hasil ST2013 untuk percepatan pembangunan
pertanian Indonesia. ST2013 tidak lagi sekadar `proyek' rutin BPS, tetapi harus
memberi makna yang patut untuk ditindaklanjuti dalam aksi nyata berupa
perbaikan, perubahan, dan perombakan model-model pembangunan pertanian. Setuju
atau tidak setuju, selama ini pembangunan pertanian jalan di tempat atau bahkan
`mundur' ke belakang sehingga mayoritas warga Indonesia yang bekerja sebagai
`petani' mengalami proses pemiskinan.
Urbanisasi
Sensus pertanian diselenggarakan
10 tahun sekali di tahun berekor angka tiga. Juga di tahun ini adalah kali yang
keenam antara lain selalu bertujuan untuk menyediakan informasi untuk masa depan
petani yang lebih baik. Dari perspektif ekonomi, hasil sensus pertanian acap
memberi gambaran penurunan kualitas kehidupan petani. Sekadar menyebut contoh,
hasil sensus pertanian 2003 menunjukkan jumlah rumah tangga petani guram
meningkat 2,4% per tahun, dari 10,8 juta pada 1993 menjadi 13,7 juta rumah
tangga pada 2003.
Implikasinya, selama 10 tahun
terakhir kehidupan petani makin memburuk karena jumlah rumah tangga petani yang
mengusai lahan sempit bertambah secara signifikan. Rata-rata kepemilikan lahan
di Pulau Jawa menurut sensus pertanian 2003 adalah 0,30 ha per keluarga.
Padahal, 10 tahun sebelumnya, s menurut sensus pertanian p 1993, masih berada
pada posisi angka 0,48 ha.
Di negeri yang dipuja puji sebagai
bangsa agraris karena memiliki lahan pertanian luas dan subur terus mengalami
proses penyempitan lahan pertanian pangan. Penyusutan lahan karena fragmentasi
melalui pewarisan dan pengalihan fungsi untuk permukiman, perkebunan, dan
pertambangan. Setiap tahun tidak kurang dari 100 ribu hektare lahan pertanian
dikonversi untuk penggunaan ke nonpertanian. Dalam kurun 1990-2010, Sumatra
Utara mengalami pengurangan luas lahan pertanian pangan sekitar 200 ribu ha. Di
Pulau Jawa, dari setiap empat petani, tiga di antaranya petani guram. Meluasnya
alih fungsi lahan menjadi penyebab meningkatnya kemiskinan di desa dan menjadi
pemicu urbanisasi.
Secara perlahan dan pasti sektor
pertanian diposisikanan diposisikan sebagai bidang usaha yang tidak lagi
menarik minat orang. Arus urbanisasi tidak terbendung setiap tahun seusai
Lebaran lantaran desa dianggap sebagai sumber kemiskinan. Gambaran ini menjadi
sinyal buruk pembangunan pertanian.
Sayang, di kota mereka tidak punya
keterampilan dan hanya mengandalkan nasib `untung-untungan' untuk memperoleh
pekerjaan. Tidak sedikit yang gagal yang akhirnya menjadi pengangguran. Mereka
yang kalah terpaksa menyambung hidup dengan cara apa saja.
Untuk mengatasinya, tidak bisa
lagi sekadar membuat aturan yang melarang ma syarakat desa datang ke kota.
Melakukan razia bagi mereka yang tidak memiliki KTP bukan solusi. Semangat
keber pihakan terhadap penderitaan wong
cilik patut terus dinyalakan. Pemerintah harus mampu mencegah arus
urbanisasi dengan meluncurkan berbagai program yang bersifat interventif. Salah
satunya adalah menciptakan lapangan kerja baru di desa dengan mempercepat
pembangunan pertanian. Implikasinya adalah anggaran yang signifikan patut
tersedia di kementerian pertanian dan instansi terkait yang memberdayakan
masyarakat perdesaan.
Agropolitan
Derasnya arus urbanisasi dan kian
sesaknya kehidupan di perkotaan menunjukkan ketiadaan langkah serius yang
diambil pemerintah untuk merespons hasil sensus pertanian 2003. Diduga hasil
sensus pertanian 2013 akan mengungkap kenyataan yang membuat hati bertambah
miris dengan proses pemiskinan yang terjadi di tengah masyarakat petani. Luas
lahan per keluarga petani sudah pasti kian menyempit dan mendorong proses
pemiskinan itu.
Selama 10 tahun belakangan ini,
roda pembangunan pertanian ke arah pengembangan agropolitan masih jalan di
tempat. Pembangunan pertanian dalam ruang agropolitan memang rumit, sebab
membutuhkan anggaran besar dan memerlukan koordinasi lintas instansi.
Agropolitan bukan sekadar membangun jalan, gedung, dan pasar, melainkan
memberdayakan dan mendampingi masyarakat untuk melakukan per ubahan secara
bersama-sama.
Terlepas dari kerumitannya,
agropolitan harus dipahami sebagai konsep pembangunan kota masuk ke desa
sehingga terbentuk kota kecil pertanian. Dengan men jadikan desa sebagai kota
kecil pertanian, laju urbanisasi bisa dikendalikan karena industri agro yang
dikembangkan lewat agropolitan membutuhkan tenaga kerja dalam jumlah besar.
Kementerian Perindustrian menargetkan pertumbuhan agroindustri pangan pada
periode 20102025 meningkat secara signifikan. Agroindustri seperti pengolahan
pangan lokal, kelapa sawit, cokelat, kelapa, kopi, teh, dan buah-buahan-yang
semuanya berbasis di perdesaan--menjadi pusat andalan.
Namun, hingga kini, belum ada
kemajuan berarti di bidang pembangunan pertanian yang menjadi hulu sektor
agroindustri pangan. Pemerintah tampaknya belum serius mengembangkan sebagai
salah satu pilar ekonomi kerakyatan sebagaimana roh revitalisasi pertanian
2005. Sebaliknya, para pejabat yang duduk di kursi singgasana kekuasaan
bersibuk ria dengan politik `dagang sapi' guna menyongsong Pemilu 2014.
Sebagian para elite politik lebih asyik menggalang dana lewat berbagai proyek
yang sarat korupsi untuk kepentingan partai. Mereka tidak terusik dengan
persoalan petani yang makin sulit mendapatkan lahan pertanian, pupuk, bibit
unggul, dan berbagai alat pertanian lainnya karena keterpurukan daya beli.
Oleh karena itu, hasil sensus pertanian 2013 patut dimaknai
sebagai jembatan yang mempercepat pembangunan pertanian untuk sepuluh tahun ke
depan. Pembangunan pertanian merupakan mesin yang mendorong empat gerbong
sekaligus, yakni kesejahteraan rakyat yang mayoritas petani, menciptakan
ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, membangun landasan ekonomi
kerakyatan, dan meningkatkan devisa negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar