|
Badan Pusat Statistik mencatat
kumulatif defisit neraca perdagangan periode Januari-Juli 2013 mencapai 5,65
miliar dollar AS. Defisit tersebut terutama disebabkan defisit neraca
perdagangan migas sebesar 7,6 miliar dollar AS (rata-rata 1,88 miliar dollar AS
per bulan).
Perdagangan
nonmigas masih mencatat surplus 1,9 miliar dollar AS. Defisit neraca
perdagangan ini menjadi salah satu kontributor utama melemahnya nilai tukar
rupiah terhadap dollar AS.
Sebagai bagian
dari upaya mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah mengeluarkan empat paket
kebijakan ekonomi. Salah satunya, di sektor energi, adalah kebijakan
meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam solar sehingga akan mengurangi
impor solar secara signifikan.
Pemanfaatan
biodiesel di seluruh sektor diklaim dapat menghemat konsumsi solar hingga 4,4
juta kiloliter per tahun, atau lebih kurang setara dengan penghematan devisa
sebesar 4,1 miliar dollar AS. Untuk tahun 2013, terhitung mulai September,
penghematan ditargetkan sebesar 1,3 juta kiloliter atau lebih kurang setara 1,2
miliar dollar AS.
Tidak proporsional
Kebijakan itu
secara normatif jelas bagus. Secara hitungan matematis, klaim penghematan yang
bisa diperoleh juga tak salah. Namun, pelemahan rupiah adalah permasalahan yang
perlu penanganan segera, sementara defisit neraca perdagangan migas adalah
permasalahan struktural yang tidak bisa diselesaikan dalam waktu singkat.
Impor migas,
khususnya impor bahan bakar minyak (BBM), hanya dapat ditekan secara signifikan
jika pemerintah melakukan tiga hal berikut secara konsisten. Pertama, menambah
kapasitas atau membangun kilang BBM baru. Kedua, melakukan substitusi BBM
dengan energi alternatif, seperti bahan bakar gas (BBG), bahan bakar nabati
(BBN, termasuk biodiesel), dan panas bumi secara masif. Ketiga, membangun
sarana transportasi publik yang memadai, aman, nyaman, dan terjangkau.
Ketiganya jelas
tak bisa dilakukan secara instan dan tak dapat diharapkan langsung berdampak
signifikan dalam waktu dekat. Jadi, memasukkan kebijakan mendorong penggunaan
biodiesel sebagai bagian dari paket kebijakan ekonomi untuk meredam pelemahan
nilai tukar rupiah saat ini jelas tidak proporsional.
Integral
Mendorong
pemakaian biodiesel, meski hanya sebagai campuran solar, perlu kebijakan
integral. Pertama yang harus diselesaikan adalah kebijakan dan kepastian tentang
harga. Kebijakan ini akan berhubungan dengan alokasi anggaran subsidi BBN di
APBN. Itu berarti masih harus dibahas bersama DPR.
Subsidi BBN
saat ini di APBN hanya dialokasikan Rp 3.000 per liter. Besaran ini dipandang
tidak cukup ekonomis oleh para produsen BBN. Jika tidak ekonomis, jangan harap
produsen BBN akan kontinu memasok BBN untuk pasar domestik.
Kebijakan
mewajibkan BUMN untuk menyerap BBN pun perlu pembahasan anggaran. Jika selisih
harga yang harus ditanggung BUMN untuk menyerap BBN itu tidak diganti APBN
melalui mekanisme subsidi, BUMN akan merugi.
Di hulu,
masalah bahan baku dan kepastian penyediaan lahan untuk kontinuitas produksi
BBN juga harus diselesaikan terlebih dahulu. Saat ini, perizinan dan tumpang
tindih lahan merupakan masalah serius; tidak hanya untuk pengembangan BBN,
tetapi juga untuk sektor migas, pertambangan, kehutanan, dan perkebunan.
Jadi,
sebaiknya, jika mengeluarkan paket kebijakan—apalagi yang kritikal karena
berpacu dengan waktu—sebaiknya yang lebih proporsional dan masuk akal saja.
Jangan sekadar basi-basi dan untuk menunjukkan bahwa pemerintah (seolah-olah)
melakukan sesuatu dalam merespons permasalahan yang ada.
Sudah terlalu
sering hal serupa dilakukan. Pada saat harga minyak dunia pertama kali melonjak
pada tahun 2005/2006, respons kebijakannya dikatakan akan mengembangkan BBN
besar-besaran. Pada saat beban subsidi membengkak 2-3 tahun terakhir, dikatakan
akan gencar mendorong BBG. Saat ini, rupiah melemah, BBN lagi. Capek deh! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar