Jumat, 23 Agustus 2013

Tragedi Kemanusiaan Mesir

Tragedi Kemanusiaan Mesir
Ibnu Burdah ;   Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam,
Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 22 Agustus 2013

RENTETAN tragedi kemanusiaan terus saja terjadi di Mesir. Tiga wartawan internasional yang bertugas meliput keganasan polisi dan militer Mesir terhadap para pengunjuk rasa dikabarkan tewas setelah serangkaian penangkapan terhadap para pekerja pers yang lain. Dua puluh lima polisi dikabarkan juga tewas akibat serangan kelompok militan di Sinai. Kondisi itu diperparah dengan penangkapan Mohamed Badie, mursyid ‘amm jemaah Ikhwanul Muslimin setelah sejumlah pemimpin Ikhwan yang lain dijebloskan ke penjara. Hal itu masih diperburuk lagi dengan ‘rencana’ pengadilan Mesir untuk membebaskan mantan presiden Hosni Mubarak.

Namun, tragedi terbesar ialah upaya pembubaran paksa terhadap kelompok pendukung Mursi yang melakukan aksi damai di sekitar Masjid Rab’ah dan lapangan al-Nahdhah sekitar satu pekan lalu. Rakyat sipil yang melakukan aksi duduk damai untuk memperjuangkan aspirasi mereka dibubarkan secara paksa dengan menggunakan senjata pembunuh. Kendati ada perbedaan pernyataan tentang jumlah korban tewas, diperkirakan ratusan nyawa melayang secara keji dan ribuan lainnya mengalami luka-luka. Ikhwanul Muslimin bahkan mengklaim korban tewas mencapai 2.000 orang. Tak ada akses keluar dari tempat itu atau jalan meminta pertolongan sebab semua penjuru sudah dikepung oleh tentara dan polisi antihuru-hara.

Bahkan, aliran listrik ke tempat itu termasuk ke rumah sakit ‘lapangan’ diputus. Tak ada ambulans yang bisa membantu mereka meskipun dokter di lapangan berteriak sangat keras kepada mediamedia yang meliput untuk meminta bantuan ambulans segera. Mereka hanya mengandalkan sepeda motor untuk mengangkut para korban yang terluka parah. Tayangan televisi memperlihatkan kepanikan luar biasa di kalangan medis dan demonstran untuk membantu para korban.

Dengan alasan apa pun, tindakan militer dan polisi itu sungguh keji dan tak bisa diterima. Itu jelas sebagai tindakan represif yang direncanakan sejak lama. Para pejabat tinggi pemerintahan sementara berulang kali menyatakan rencana pembubaran massa itu harus benar-benar dilaksanakan. Mereka berdalih, aksi itu mengancam keamanan Mesir. Beberapa kali rencana itu urung dilakukan, tetapi akhirnya rencana tersebut benar-benar dilaksanakan.

Lebih celaka lagi, media Mesir seperti tutup mata terhadap tragedi itu. Mereka tetap mem-blow up keperkasaan militer Mesir dalam menjaga negeri itu termasuk dalam menghadapi aksi massa kelompok Ikhwanul Muslimin. Bahkan, televisi al-Arabiyyah milik Arab Saudi terus saja menayangkan alasan ‘janggal’ bagi keabsahan terjadinya aksi kekerasan itu. Alasan itu adalah ditangkapnya beberapa orang peserta aksi yang membawa senjata dan peluru. Melihat mimik dan gaya bicara orang-orang yang tertangkap itu, penulis sedikit meragukan laporan tersebut.

Massa yang melakukan aksi damai di Rab’ah dan al-Nahdhah itu dikepung dari segala penjuru dengan persenjataan berat untuk menutup akses bantuan.

Ketika menyaksikan tayangan itu dari televisi al-Jazeera, penulis sungguh tak percaya, tragedi yang mengerikan semacam itu terjadi di negeri dengan kebudayaan yang sangat tinggi dan tua. Massa yang mela kukan aksi damai termasuk para ibu dan anak diserang dengan senapan dari segala penjuru termasuk oleh personel penembak jitu dari sejumlah gedung tinggi di sekitar lokasi konsentrasi massa. Betapa mengerikan, peluru untuk perang itu diarahkan kepada massa sipil tak bersenjata.

Perubahan strategi

Yang paling mengerikan ialah perubahan strategi kelompok Ikhwan atau sebagian faksinya ke jalan senjata. Perampasan kekuasaan kendati dengan legitimasi aksi massa dalam jumlah sangat besar dan represi keji terus-menerus yang dilakukan militer terhadap para pemimpin dan pendukung mereka pasti akan memengaruhi pilihan strategi perjuangan mereka.

Sejauh ini, mereka memang berupaya konsisten untuk melakukan aksi secara damai dengan risiko apa pun. Hal itu sejauh ini cukup terbukti dengan pernyataan para pemimpin dan aksi-aksi damai Ikhwan. Bagaimanapun, Ikhwan adalah pemenang pemilu pertama Mesir yang berlangsung secara demokratis. Kemenangan itu tak hanya di pemilu parlemen, tetapi juga di pemilu presiden. Kelompok ini pasti berupaya sekuat tenaga men jaga peluang mereka untuk tetap bertarung dalam pemilu. Karena itu, aksi damai sejauh ini adalah harga mati bagi mereka.

Akan tetapi, dengan realitas baru seperti sekarang, sampai kapan mereka akan mampu bersabar jika terus diperlakukan seperti itu. Siapa yang bisa menjamin, peristiwa yang lebih buruk tak akan menimpa mereka lagi. Padahal solusi politik bisa dikatakan telah gagal menghentikan konflik. `Bayang-bayang' untuk kembali memilih jalan senjata pasti sedang menjadi salah satu opsi sebagian faksi dari kelompok ini. Bagaimanapun, mereka pasti berupaya membela eksistensi kelompok mereka dengan berbagai cara yang memungkinkan.

Apalagi, Ikhwan adalah kelompok yang memiliki sejarah perjuangan bersenjata yang tak bisa diremehkan. Andil mereka dalam perjuangan melawan Israel dan ketahanan mereka terhadap represi rezim Gamal Abdul Nasser, Anwar Saddad, dan Hosni Mubarak telah membuktikan kekuatan sesungguhnya kelompok ini. Jika mereka atau sebagian mereka pada akhirnya kembali memanggul senjata, dipastikan itu akan menjadi petaka bagi negeri tua tersebut.

Jika jalan itu yang diambil, Ikhwan Mesir dipastikan tidak sendiri. Mereka sudah ditunggu kelompok Hamas yang bisa disebut sebagai cabang Ikhwan di Gaza. Keduanya sudah menjalin kerja sama yang erat dan konkret sejak menjelang penjatuhan Hosni Mubarak dua setengah tahun lalu. Kelompok-kelompok Ikhwani yang tersebar di berbagai negara juga pasti turut membantu kendati dengan cara-cara yang lebih soft.

Namun, sebagian pemimpin Ikhwan pasti akan berpikir lebih panjang demi masa depan kelompok itu. Bisa jadi, semua itu merupakan skenario sistematis untuk menyingkirkan mereka dari pentas politik Mesir. Hal tersebut mungkin saja sebab kelompok ini terbukti sangat kuat untuk dilawan melalui pemilu demokratis, bahkan kelompok ini juga terlalu tangguh dalam aksi di jalanan. Seruan untuk menyingkirkan Ikhwan dari pentas politik Mesir memang sudah nyaring terdengar sejak aksi massa menjatuhkan Mursi beberapa waktu lalu.


Para pemimpin Ikhwan pasti berpikir sangat keras untuk menentukan langkah berikutnya. Pilihan yang akan ditempuh Ikhwan saat ini, melanjutkan demonstrasi damai ataupun memanggul senjata. Keduanya sama-sama pahit, dan berpotensi melahirkan tragedi-tragedi kemanusiaan serupa. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar