|
ADA satu hal yang membuat saya terbayang wajahnya, yakni
kala dalam satu kesempatan, saya mendengar secara langsung Ganjar Pranowo
berucap, langkah pertama membangun provinsi ini adalah dengan mereformasi
birokrasi. Kata mengesankan darinya, ’’Saya
akan memilih para pejabat dengan dua kriteria: bersih dan profesional. Saya
tidak peduli apakah dalam pilgub dia memilih saya atau tidak.’’
Dengan kata lain, dia lebih mementingkan outcome kinerja pejabat tersebut untuk
rakyat, dan bukan atas dasar loyal atau simpati terhadap dirinya. Sebuah
cita-cita yang mulia. Lebih lanjut Ganjar juga rasan-rasan, apakah mungkin
metode lelang jabatan ala Jokowi di DKI Jakarta diterapkan di provinsi ini?
Terlihat ia ingin membalikkan kultur kekuasaan yang
otoriter birokratis ke arah birokrasi kerakyatan. Banyak kepala daerah atau
pemimpin punya sifat ”menyelingkuhi” rakyat. Ketika berkampanye bilang cinta
rakyat namun setelah terpilih ia mendua kepada parpol pengusung. Bahkan dengan
pengusaha secara membabi-buta, yang semuanya demi menguntungkan diri dan
kelompoknya.
Ganjar memiliki beberapa modal penting untuk mewujudkan
cita-cita tersebut. Pertama; ia didukung banyak bupati/wali kota dari PDIP. Di
Jateng ada 17 kepala daerah dan 24 ketua lembaga legislatif dari partai banteng
moncong putih. Dukungan itu memudahkan ia berkoordinasi dan berkomunikasi. Artinya
setelah dilantik peran gubernur yang hanya îkoordinatorî para bupati/wali kota,
akan lebih mendapatkan nilai plus.
Kedua; sosok intelek. Indikatornya sederhana, dalam
berbagai kampanye ataupun dalam debat pilgub beberapa waktu lalu, ia sangat
akrab dengan data dan angka pembangunan di Jateng. Modal ini penting supaya
dalam membangun provinsi ini dia mendasarkan pada hasil riset, bukan hanya
meraba-raba atau mengira-ira.
Hasil penelitian Michael Keren (1983) dan Moshe Bzuonowski
(1986) juga menyatakan bahwa bekal utama politikus untuk ìmenguasaiî publik
adalah popularitas dan intelektualitas prima. Dalam kamus politik, tebaran
janji hanya akan menyeret ke arah popularitas. Padahal banyak studi menunjukkan
bahwa popularitas atau demokrasi yang populis butu efektivitas kerja.
Karenanya, jika pemimpin ingin ìtahan lamaî maka ia harus
mengedepankan intelektualitas, bukan hanya popularitas. Demikian pula Jean
Laponce (1983) yang mengatakan, pemimpin yang populer berkat ide-idenya yang
cemerlang dan cerdas akan lebih tahan lama dibanding mereka yang hanya pandai
beretorika belaka.
Dua modal penting Ganjar tersebut bisa lebih mantap jika
dilengkapi dengan birokrasi yang profesional sebagaimana diidambakan.
Kemungkinan Ganjar ingat cita-cita Weber bahwa birokrasi itu idealnya rasional,
apolitis, netral, dan mengutamakan kesejahteraan masyarakat. Weber berpendapat
birokrasi harus mengikuti aturan tertulis; tidak ada peranan individu
dalam birokrasi mengingat yang penting adalah aturan dan penjabat yang melaksanakan
aturan tersebut; dan birokrasi tidak mengandung interes apapun, termasuk dengan
kekuatan politik.
Kekayaan Alam
Atas dasar itu, secara ideal orang yang duduk dalam
birokrasi harus memenuhi beberapa persyaratan, antara lain memangku jabatan
bukan karena pribadinya melainkan karena kontrak dan ketentuan yang ada;
menggunakan otoritas sesuai peraturan yang impersonal tadi; loyal terhadap
peraturan bagi kepentingan umum; memegang jabatan karena memang benar-benar
ahli; melaksanakan jabatan secara penuh fulltimer;
dan siap hidup dari gaji yang diterima.
Cita-cita mencari sosok birokrat profesional dan jujur
sangat tepat karena penyebab kemiskinan rakyat adalah korupsi. Negeri ini, juga
Provinsi Jateng, adalah negeri yang kaya raya, dan ini dapat dicapai tanpa
harus misalnya menguasai teknologi. Syaratnya adalah asal sumber daya alam
dikelola dengan baik.
Lihat saja mana ada negeri di dunia yang memiliki kekayaan
alam sebanyak negeri ini? Hitung saja di bumi pertiwi ini bertebaran aneka
tambang, ada tambang emas, perak, tembaga, nikel, timah, uranium, minyak, dan
seterusnya. Kekayaan hutan kita luar biasa, karena luas hutan kita terbesar
kedua di dunia. Di hutan bukan hanya ada kayu tapi juga ada plasma nutfah,
tanaman obat, binatang langka yang bermanfaat.
Di lautan, kekayaan kita juga luar biasa, karena konon
ikan-ikan yang dicuri dari perairan negeri ini saja senilai Rp 12 triliun
rupiah setahun. Pantai kita terpanjang di dunia, dan selain ikan ada aneka
kekayaan laut yang luar biasa. Seandainya kekayaan alam itu dikelola dengan
baik, saya yakin negeri ini akan menjadi negeri terkaya di dunia, murah sandang
pangan, rakyat sejahtera, sekolah dan berobat tidak mahal.
Namun kekayaan alam tersebut dijarah oleh orang serakah dan
ini sudah terjadi sejak kedatangan kolonial Belanda dan berlanjut hingga kini
dengan îVOC-VOCî jenis baru, baik dari bangsa sendiri maupun bangsa lain.
Korupsi, kata Migdal dalam Strong,
Societies, and Weak States (1988) terjadi karena pucuk birokrat senantiasa
berusaha memperkecil kekuatan-kekuatan sentrifugal yang mungkin timbul dari
luar atau dari dalam birokrasi yang ia pimpin, yang mungkin akan mengancam
posisinya.
Caranya, ia akan menyingkirkan orang-orang yang
diperkirakan membahayakan kedudukannya, dan membiarkannya sampai tingkat tertentu
berbagai korupsi yang ada di bawahnya, sambil ia minta ”setoran”, baik berupa
uang atau dukungan politis. Cara lain adalah mengangkat birokrat di bawahnya
dari ”kalangan sendiri”.
Dari titik ini, pertanyaannya, akan mudahkah Ganjar
membalikkan kultur birokrasi yang sudah memiliki îperadabanî santai dan
sebagainya ke arah sebaliknya? Dengan kata lain, akankah nanti dia bakal
kesepian, menjadi The Lonely Governor,
karena tidak mendapatkan dukungan serius dari jajarannya? Wallahualam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar