KORAN TEMPO, 02
Agustus 2013
|
Editorial
Koran Tempo (27 Juli) yang bertajuk "Mengawasi Dana Sosial
Perusahaan" sangat perlu diperhatikan. Koran Tempo juga sudah menurunkan
berita pada edisi 24 Juli tentang pertanggungjawaban dinas-dinas di DKI
Jakarta, dan pada edisi 25 Juli soal bantuan berbagai BUMD untuk proyek rumah
susun. Di media massa lainnya, wacana ini juga mengemuka. Intinya, dana yang
digelontorkan oleh perusahaan untuk aktivitas sosial perlu dikelola secara
transparan. Pernyataan para pengamat, terutama Iberamsjah, Agus Pambagio, dan
Faisal Basri dan LSM Fitra jelas menandai kepedulian yang tinggi atas hal tersebut.
Hanya,
sangat jelas bahwa silang pendapat di antara para komentator serta pihak lain
yang dikutip Koran Tempo mengandung hal-hal yang perlu diluruskan soal tanggung
jawab sosial perusahaan (corporate social
responsibility, disingkat CSR). Tulisan ini bermaksud mengidentifikasi
berbagai tema pokok perdebatan, serta memberi komentar atas silang pendapat
yang terjadi sepanjang lebih dari satu minggu itu.
Ada
banyak pernyataan mengenai tujuan CSR, namun hampir tak ada satu pun yang
menyatakan dengan tegas bahwa CSR adalah tanggung jawab perusahaan dalam
mencapai pembangunan berkelanjutan (Loew,
2004; ISO, 2010). Padahal kejelasan tujuan ini akan sangat menentukan
apakah memang kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh perusahaan bisa
dikategorikan sebagai CSR atau bukan. Sebagai proses yang berkontribusi pada
pembangunan berkelanjutan, CSR merupakan integrasi manajemen dampak negatif dan
positif perusahaan. Dengan demikian, kalau perusahaan tak serius mengurusi
dampak negatifnya, apa pun yang dilakukan untuk menonjolkan dampak positifnya
tak bisa dinyatakan sebagai bagian dari CSR.
Ketidaktegasan
ihwal tujuan CSR telah membuat wacana ini didominasi pengertian yang sangat
dipersempit menjadi sumbangan dana sosial perusahaan. Tentu saja, kita bisa
membicarakan hal ini dari sudut pandang yang sempit. Namun penggunaan istilah
"dana CSR" di sini tidaklah tepat, karena sesungguhnya maknanya jauh
lebih luas dibanding sekadar sumbangan. Seluruh sumber daya finansial yang
dipergunakan oleh perusahaan untuk mengelola dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungannya masuk ke dalam dana CSR. Sedangkan aspek sosial yang dikelola
perusahaan juga tidak terbatas pada kegiatan untuk kelompok masyarakat
tertentu. Hubungan perusahaan dengan pekerja, masyarakat luas, masyarakat setempat,
LSM, media massa, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya masuk ke dalam
pengelolaan aspek sosial.
Wacana
yang bergulir juga berbicara soal regulasi. Yang paling banyak dibicarakan
adalah Peraturan Menteri Sosial Nomor 13 Tahun 2012 tentang Forum Tanggung
Jawab Dunia Usaha dalam Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial. Sarman
Simanjorang, yang dikutip oleh banyak media massa sebagai "Ketua Forum CSR
Jakarta", menyatakan bahwa forum tersebut didirikan untuk mengumpulkan
sumbangan perusahaan yang mau berkontribusi memecahkan masalah kesejahteraan
sosial. Faktanya, beleid tersebut sama sekali tidak mengatur soal pengumpulan
dana. Pada Pasal 5 ayat 2 dinyatakan bahwa forum itu mendapatkan mandat untuk
(1) memberikan imbauan kepada perusahaan untuk menyisihkan dana untuk mereka
yang menyandang masalah kesejahteraan sosial, (2) menginformasikan peta
permasalahan sosial, dan (3) memberikan asistensi, advokasi, serta fasilitasi
terhadap perusahaan yang mau menjalankannya. Jadi, pengumpulan dana sumbangan
sosial sama sekali bukan ranah tugas forum tersebut.
Sebetulnya,
seperti yang ditegaskan Agus Pambagyo dan Faisal Basri, dana tersebut memang
tak baik bila dikumpulkan dan dikelola oleh pihak tertentu. Regulasi melarang
pengumpulan dana sumbangan perusahaan oleh pemerintah. Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah melarang pemerintah daerah
memungut apa pun yang tidak masuk dalam daftar pajak dan retribusi daerah itu.
Hanya, banyak sekali pemerintah provinsi dan kabupaten yang tak mempedulikan
beleid tersebut, lalu membuat "perda CSR" yang memaksa
perusahaan-perusahaan menyetorkan dananya.
Masalah
lainnya, kalau mengacu kepada Pasal 16 peraturan menteri sosial tersebut,
sebetulnya kita belum bisa juga menyatakan adanya organisasi Forum CSR Jakarta,
karena pasal tersebut menyatakan bahwa pembentukan forum dilakukan oleh
Gubernur. Karena Jokowi belum membentuknya, organisasi itu sebetulnya tidak
eksis.
Soal
besaran dana sumbangan juga banyak dinyatakan. Lagi-lagi, pernyataan Sarman
Simanjorang bahwa besaran dana sumbangan adalah 2,5 persen dari keuntungan
perusahaan, dan potensi di Jakarta adalah Rp 100 miliar per tahun diterima
begitu saja. Kalau benar bahwa sumbangan itu dihitung dari proporsi keuntungan
sebagaimana yang dikutip, besaran potensinya pasti sangat jauh di atas itu.
Tapi masalahnya bukan di situ. Seluruh pakar CSR sejak hampir dua dekade lalu
sepakat bahwa CSR bukanlah bersifat after profit, melainkan before profit (Kang dan Wood, 1995). Di Indonesia,
pendirian after profit banyak dianut perusahaan karena mereka meniru apa yang
diharuskan kepada BUMN untuk Program Kemitraan dan Bina Lingkungan. Tapi BUMN
pun tidak menghitung proporsinya 2,5 persen dari keuntungan.
Belum
adanya mekanisme yang jelas diketahui oleh seluruh pihak telah melahirkan
kecurigaan. Iberamsjah, akademisi dari Universitas Indonesia, menyatakan
kekhawatiran bahwa dana sumbangan tersebut bisa membuat perusahaan memiliki
pengaruh yang buruk kepada kebijakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, yang langsung
disanggah oleh Ahok. Namun penelitian Zhao (2012) membuktikan bahwa, di Cina
dan Rusia, para pengusaha memanfaatkan sumbangan atas nama CSR sebagai cara
untuk membina hubungan khusus dengan (aparat) pemerintahan. Di situ Zhao
menyatakan bahwa apa yang terjadi di kedua negara itu pada dasarnya juga
ditemukan di negara mana pun di mana hubungan dengan pemerintah sangat
menentukan kinerja bisnis. Karena itu, kekhawatiran soal ini beralasan untuk
dikemukakan di Jakarta dan di tempat-tempat lain di Indonesia.
"Trust, but verify" adalah nasihat
mendiang Ronald Reagan soal pihak-pihak yang bisa dipercaya. Jokowi sangat
benar ketika menyatakan bahwa sumbangan sosial perusahaan adalah tanda
kepercayaan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Namun ia perlu membalas
kepercayaan itu dengan sebuah sistem yang memungkinkan semua pemangku
kepentingan memverifikasi pemberian sumbangan perusahaan, pemanfaatannya, serta
dampak yang ditimbulkannya. Dengan begitu, kepercayaan itu bisa dijaga, bahkan
ditingkatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar