Sabtu, 03 Agustus 2013

Perang AS di Afghanistan

Perang AS di Afghanistan
Aco Manafe ;  Lulusan The Fletcher School of Law and Diplomacy,
Harvard University, AS
          KORAN JAKARTA, 02 Agustus 2013



Kolumnis, Nancy Gibbs, menegaskan perang untuk perdamaian seperti ketika menyerbu Irak membutuhkan berbagai keahlian, bukan keberanian dan kekuatan saja, tapi juga konsistensi.

Perang selama 12 tahun (sejak 6 Oktober 2001) yang dilancarkan Amerika Serikat (AS) di Afghanistan dan perbatasan Pakistan, mirip di Irak yang dilancarkan 20 Maret 2003. Kedua perang merupakan fron terbuka bagi Washington dan sekutunya yang mengerahkan pasukannya 154.000 dan 100.000. 

Kedua perang besar dilancarkan Presiden George Bush ketika itu dan warisan kebijakan militer tersebut mau tidak mau harus dilanjutkan Presiden Barack Obama yang mulai menjabat sejak 21 Januari 2009. Obama malahan menambah jumlah pasukan AS. 

Kolumnis, Nancy Gibbs, menegaskan perang untuk perdamaian seperti ketika menyerbu Irak membutuhkan berbagai keahlian, bukan keberanian dan kekuatan saja, tapi juga konsistensi.

Kedua perang besar tersebut tentu bisa berakhir apabila tentara AS menang, dilanjutkan tentara Afghanistan dan Irak. Ini mustahil karena rekrutmen dan kemampuan biaya perang belum bisa menyelesaikan. Invasi ke Irak untuk menjatuhkan rezim Saddam Hussein, sedangkan perang Afghanistan demi memburu Osama bin Laden dan kelompoknya yang dianggap bertanggung jawab atas serangan terhadap Menara Kembar New York 2001, yang menewaskan 4.000 orang. Osama bin Laden tewas ketika disergap satuan Navy Seal di Pakistan 11 Mei 2011.

Presiden Obama malahan berjanji akan menambah 40.000 pasukan AS pengalihan dari 154.000 pasukan yang harus meninggalkan Irak pada tahun 2011. Namun, kemudian mereka diperpanjang hingga ahkir 2014. Para pengkritik justru menyatakan AS sulit memenangkan perang di Afghanistan.

Dalam meneruskan perang tersebut, dukungan rakyat AS melalui Kongres dan Senat cukup kuat, meskipun terdapat kritik yang mengharuskan Washington dan Pentagon menjawabnya. Penentangan atau keraguan untuk menguasai Afghanistan telah dikemukakan Panglima Angkatan Bersenjata AS, Jenderal Mc Chrystal, pada awal 2010, ketika dia meminta tambahan 60.000 pasukan untuk memperkuat 100.000 yang sudah ada. 

Berbeda dengan rakyat Afghanistan yang menolak campur tangan tentara asing, apalagi berperang di negerinya, bagi rakyat Afghanistan, perasaan antitentara AS cukup besar. Meskipun banyak rakyat di pedalaman yang tidak senang terhadap Taliban serta pendukungnya, jaringan Al Qaeda, yang dianggap mempersulit keamanan di negeri mereka. Jadi, pendapat tersebut tampaknya mengutamakan perundingan damai, ketimbang terus berperang.

Banyak veteran perang yang menentang pendudukan Rusia menganggap tentara AS sulit mengatasi kekacauan yang dibuat Taliban yang kini menguasai wilayah pedalaman dan mudah memprovokasi rakyat serta mengambil simpati dengan menyebarkan perasaan anti-AS.

Stabilitas 

Satu-satunya cara untuk mengatasi keamanan dengan mempertahankan stabilitas serta merekrut pasukan asli Afghanistan. Seperti perekrutan tentara Irak untuk mengatasi konflik antara milisi Sunni dan Syiah, maka AS pun melatih 300.000 personel tentara Afghanistan. 

Dalam konflik sekarang, kaum militan berupaya berlindung di berbagai wilayah perbatasan dengan Pakistan, seperti ketika melawan pasukan Soviet. Meskipun demikian, tentara AS tetap berupaya memperkuat pijakannya. Selain merekrut tentara pribumi, mereka juga membangun pangkalan militer dan kekuatan udaranya di wilayah-wilayah rawan Afghanistan. 

AS berhasil mengisolasi perlawanan kaum militan dengan melancarkan serangan udara beruntun, meskipun sejumlah serangan dikecam karena menewaskan banyak warga sipil. Memang tentara AS dan NATO berperilaku lebih santun, dan tidak seperti pendudukan Soviet di era 1980-an. Waktu itu, banyak prajurit Soviet menyengsarakan petani, merampok pertokoan, dan menggunakan kekuatan udara secara serampangan sehingga terkadang membumihanguskan pedesaan.

Ini pendapat berdasarkan pengalaman para veteran bertempur di puncak-puncak pegunungan Hindu Kush yang gersang, meskipun pendapat itu jelas berpangkal pada kebanggaan akibat mengalahkan tentara Soviet. Tentara AS dan Barat tampaknya lamban mempelajari keberhasilan pasukan Soviet.

Rezim Kabul pimpinan Babrak Kamel dikenal korup dan brutal dalam menghadapi rakyat dan merupakan wakil minoritas yang tidak berpengaruh. Namun, kini para veteran mengklaim bahwa pengaruh dan wilayah politik mereka sebenarnya lebih besar ketimbang rezim penguasa pimpinan Hamid Karzai dukungan barat dan AS.

Pada pertengahan 1980-an, Uni Soviet memberlakukan strategi pengamanan kota dan infrastrukturnya. Mereka juga memperkuat pijakan pemerintah pusat. Sebagian program pertahanan dan keamanan kota berhasil diterapkan sehingga pemerintah mudah mengoperasikan pendidikan dan kesehatan, melatih tentara dan kepolisian.

Bahkan, kini penduduk Kabul menyebut era pendudukan Soviet menarik karena keamanan lebih terjamin ketimbang sekarang. Presiden Barack Obama merencanakan pengakhiran perang AS terhadap Taliban seperti kebijakan mantan pemimpin Soviet, Mikhail Gorbachev, yang menghentikan perang Afghanistan 20 tahun silam. Setelah Gorbachev berkuasa pada tahun 1985, memerintahkan peningkatan jumlah pasukan. Namun, dia memberikan instruksi kepada para jenderalnya untuk memenangkan perang dalam waktu setahun.

Setelah itu, dia mengingatkan para jenderalnya untuk segera menarik diri dari Afghanistan. Obama tampaknya mengulangi strategi presiden refromasi Soviet, Gorbachev, pada awal Desember 2009. Dia memerintahkan penambahan 40.000 personel sehingga jumlah pasukan AS menjadi 100.000 prajurit. Ini sekaligus menegaskan penarikan mundur pasukan AS dimulai musim panas tahun 2011.

Gorbachev memerlukan 4 tahun dengan 7.000 pasukan Soviet gugur. Moskwa meninggalkan Kabul yang terombang-ambing selama satu setengah tahun, meskipun terbantu dunia internasional. Bila kebijakan Obama mengikuti kebijakan Gorbachev, sebenarnya kekalahan Soviet mirip AS. Mengapa tentara AS tidak memenangkan perang Afghanistan? 

Memang terdapat kecaman terhadap tidak jelasnya strategi perang di Asia Tengah itu. Wartawan AS di Moskwa, Douglas Birch mengutip penulis Gregory Feifer yang menyatakan, "AS telah membuang waktu delapan tahun untuk berperang dan malahan memperburuk situasi Afghanistan!" Pantas bila tentara AS yang pulang disambut semboyan The Heroes Parade, bukan the Victory Parade, karena perang Afghanistan memang belum selesai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar