KORAN SINDO, 01
Agustus 2013
|
Di bulan Ramadan, seperti biasa kita
disuguhi fakta adanya kenaikan hargaharga pangan. Ini karena pasokan sejumlah
pangan untuk kebutuhan sehari-hari yang terbatas.
Ironisnya, para pejabat yang berwenang di bidang pangan cenderung membela diri dengan berbagai alasan termasuk “mengambinghitamkan” cuaca ekstrem, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) marah melihat kondisi harga pangan yang carut-marut, terutama harga daging sapi yang terus bertengger di atas Rp100.000 per kilogram (Tajuk SINDO, 16 Juli 2013). Solusi jangka pendek yang selalu dilakukan pemerintah adalah membuka keran impor selebar-lebarnya.
Contohnya pemerintah segera mengimpor tiga komoditas pangan yang mengalami kelangkaan di pasar seperti bawang merah, cabai rawit merah, dan daging sapi. Selain itu, pemerintah juga menggelar pasar murah seperti di Monas. Konsumsi yang tinggi pada Ramadan yang dibarengi kelangkaan produksi memang telah ikut memengaruhi gejolak harga pangan dalam negeri. Tetapi itu bukanlah faktor tunggal. Infrastruktur yang buruk juga punya andil terhadap ketidakstabilan harga, pasokan produksi dan distribusi.
Sejatinya untuk mengatasi kenaikan harga pangan dalam jangka panjang maka masalah produksi, distribusi, dan informasi harus menjadi perhatian. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kondisi infrastruktur pertanian dalam dua periode pemerintahan SBY? Infrastruktur pertanian yang dimaksud adalah transportasi, irigasi, dan telekomunikasi. Tiga sektor infrastruktur itulah yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pertanian.
Penulis menganggap bahwa arah masing-masing sektor tersebut belum kuat untuk menopang ketahanan pangan nasional. Pertama, kebijakan transportasi. Kebijakan transportasi di Indonesia periode 2004–2012 khususnya jalan, belum optimal mendukung ketahanan pangan nasional. Seperti yang dikemukakan Faisal Basri dan Haris Munandar (2009), hanya jaringan jalan yang kelas 1 (jalan nasional) yang menghubungkan kota-kota utama (ibu kota provinsi) yang paling baik kondisinya, itu pun hanya 37,4% tahun 2002–2004.
Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Jaringan jalan kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa sebagian besar masih parah. Desain kebijakan transportasi pemerintah hanya ingin memenuhi kepentingan terbatas pada industri dan sumber-sumber ekonomi yang memiliki nilai besar. Kecenderungan ini terlihat pada jalan dan sarana transportasi yang hanya baik di kota-kota besar, meskipun kondisinya juga belum memadai.
Jika dibandingkan dengan sarana transportasi jalan di negara-negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand), kondisi jalan di Indonesia sudah jauh tertinggal. Sarana transportasi jalan kota-kota kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa tidak menjadi perhatian secara serius pemerintah pada semua tingkat. Akibatnya jalur distribusi pangan menjadi tidak efisien dan mahal. Wilayah Indonesia yang berupa kepulauan seharusnya menjadi landasan strategi kebijakan pembangunan transportasi.
Artinya, jalan darat bukan satu-satunya jalur untuk menyalurkan pangan tetapi juga laut dan sungai. Keandalan sarana transportasi laut, sungai dan penyeberangan harus menjadi perhatian serius. Kedua, kebijakan infrastruktur irigasi, tidak lebih baik dari kebijakan transportasi. Penulis menemukan fakta bahwa realisasi pembangunan infrastruktur irigasi tidak mampu menopang ketahanan pangan.
Faktanya adalah disamping tidak ada pembangunan irigasi baru, irigasi yang sudah ada tidak mampu dirawat dan banyak yang rusak sehingga tidak berfungsi. Akibatnya hampir 30% dari total luas sawah di Indonesia tidak menghasilkan panen sebaik sebelumnya.
Kebijakan Progresif
Sampai saat ini belum ditemukan kebijakan pertanian yang bersifat progresif dibuat oleh pemerintah. Yang ada adalah imbauan dan pernyataan bahwa perlu pembangunan dan perbaikan irigasi secara massal. Namun, ini kemudian tidak diikuti oleh kebijakan anggaran yang serius. Alasannya karena anggaran yang terbatas.
Kalau alasannya keterbatasan anggaran, sebenarnya bisa diatasi dengan mendorong kerja sama pemerintah swasta. Namun, sampai saat ini proyekproyek yang dikerjasamakan atau ditawarkan dengan swasta melalui skema private public patnership hanya yang mempunyai nilai komersial yang tinggi. Dalam hal ini, proyek-proyek yang cepat menghasilkan keuntungan.
Peran swasta dalam pembangunan sarana pertanian perlu dicarikan skema yang saling menguntungkan agar swasta bisa tertarik. Pendirian bank pertanian sebagaimana gagasan Khudori beberapa waktu lalu di sebuah harian patut didukung. Bila bank pertanian tersebut telah berdiri maka bisa diarahkan untuk membiayai infrastruktur pangan.
Ketiga, kebijakan infrastruktur telekomunikasi dan informasi (TIK) yang mendukung ketahanan pangan pada periode 2004–2012 telah berjalan dengan baik. Hanya, kebijakan itu lebih banyak mengatur aspek penyediaannya (provider). Penyedia layanan komunikasi saat ini memang berlomba mendirikan tower telekomunikasi khususnya telepon seluler. Ketika pemerintah melepaskan monopoli Telkom sebagai penyedia telekomunikasi eksklusif dampaknya segera terasa, biaya panggilan telepon turun drastis.
Petani-petani di (belum merata seluruh wilayah ) pelosok yang belum teraliri listrik pun sudah bisa melakukan panggilan suara. Sekarang, tinggal konten informasi yang perlu disesuaikan. Penyebaran informasi pertanian melalui radio dan televisi juga mesti digalakkan. Bisa juga aplikasi-aplikasi pertanian perlu disediakan misalnya dalam playstore agar memudahkan para petani atau siapa pun mengunduh informasi- informasi pertanian yang bermanfaat.
Pembentukan laman khusus bagi para petani yang lengkap, memuat perkembangan harga komoditi dunia dan dalam negeri dan juga pasar pertanian onlinedalam bentuknya yang mudah dimengerti oleh semua petani pada tingkatan pendidikan apa pun. Karena itu, setelah telepon seluler terjangkau sampai ke pelosok, kini saatnya pembangunan internet agar sampai ke pelosok juga.
Dengan pertambahan penduduk yang semakin besar, dalam jangka panjang pemenuhan pangan tidak lagi melulu terfokus pada penyediaan (produksi) karena ini sudah bisa diatasi dengan teknologi. Saatnya perlu penyediaan dalam arti persebaran pangan, kemudahanaksesdankemudahan transportasi di seluruh wilayah Tanah Air.
Ke depan perlu mengintegrasikan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pangan dan pertanian ke dalam pembangunan ekonomi secara makro. Pada tingkatan global juga demikian. Infrastruktur yang dibangun belum banyak diperuntukkan bagi pangan global.
Infrastruktur lebih diperuntukkan bagi kemudahan industri dan perdagangan. Pemerintah juga perlu mendorong peran swasta dalam skema private public partnership untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur pangan. Oleh sebab itu, diplomasi ekonomi perlu diperkuat. ●
Ironisnya, para pejabat yang berwenang di bidang pangan cenderung membela diri dengan berbagai alasan termasuk “mengambinghitamkan” cuaca ekstrem, setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) marah melihat kondisi harga pangan yang carut-marut, terutama harga daging sapi yang terus bertengger di atas Rp100.000 per kilogram (Tajuk SINDO, 16 Juli 2013). Solusi jangka pendek yang selalu dilakukan pemerintah adalah membuka keran impor selebar-lebarnya.
Contohnya pemerintah segera mengimpor tiga komoditas pangan yang mengalami kelangkaan di pasar seperti bawang merah, cabai rawit merah, dan daging sapi. Selain itu, pemerintah juga menggelar pasar murah seperti di Monas. Konsumsi yang tinggi pada Ramadan yang dibarengi kelangkaan produksi memang telah ikut memengaruhi gejolak harga pangan dalam negeri. Tetapi itu bukanlah faktor tunggal. Infrastruktur yang buruk juga punya andil terhadap ketidakstabilan harga, pasokan produksi dan distribusi.
Sejatinya untuk mengatasi kenaikan harga pangan dalam jangka panjang maka masalah produksi, distribusi, dan informasi harus menjadi perhatian. Pertanyaannya kemudian, bagaimana kondisi infrastruktur pertanian dalam dua periode pemerintahan SBY? Infrastruktur pertanian yang dimaksud adalah transportasi, irigasi, dan telekomunikasi. Tiga sektor infrastruktur itulah yang mempunyai pengaruh yang sangat besar dalam pertanian.
Penulis menganggap bahwa arah masing-masing sektor tersebut belum kuat untuk menopang ketahanan pangan nasional. Pertama, kebijakan transportasi. Kebijakan transportasi di Indonesia periode 2004–2012 khususnya jalan, belum optimal mendukung ketahanan pangan nasional. Seperti yang dikemukakan Faisal Basri dan Haris Munandar (2009), hanya jaringan jalan yang kelas 1 (jalan nasional) yang menghubungkan kota-kota utama (ibu kota provinsi) yang paling baik kondisinya, itu pun hanya 37,4% tahun 2002–2004.
Kondisi itu tidak jauh berbeda dengan kondisi sekarang. Jaringan jalan kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa sebagian besar masih parah. Desain kebijakan transportasi pemerintah hanya ingin memenuhi kepentingan terbatas pada industri dan sumber-sumber ekonomi yang memiliki nilai besar. Kecenderungan ini terlihat pada jalan dan sarana transportasi yang hanya baik di kota-kota besar, meskipun kondisinya juga belum memadai.
Jika dibandingkan dengan sarana transportasi jalan di negara-negara ASEAN (Malaysia, Singapura, Thailand), kondisi jalan di Indonesia sudah jauh tertinggal. Sarana transportasi jalan kota-kota kabupaten yang menghubungkan kecamatan dan desa tidak menjadi perhatian secara serius pemerintah pada semua tingkat. Akibatnya jalur distribusi pangan menjadi tidak efisien dan mahal. Wilayah Indonesia yang berupa kepulauan seharusnya menjadi landasan strategi kebijakan pembangunan transportasi.
Artinya, jalan darat bukan satu-satunya jalur untuk menyalurkan pangan tetapi juga laut dan sungai. Keandalan sarana transportasi laut, sungai dan penyeberangan harus menjadi perhatian serius. Kedua, kebijakan infrastruktur irigasi, tidak lebih baik dari kebijakan transportasi. Penulis menemukan fakta bahwa realisasi pembangunan infrastruktur irigasi tidak mampu menopang ketahanan pangan.
Faktanya adalah disamping tidak ada pembangunan irigasi baru, irigasi yang sudah ada tidak mampu dirawat dan banyak yang rusak sehingga tidak berfungsi. Akibatnya hampir 30% dari total luas sawah di Indonesia tidak menghasilkan panen sebaik sebelumnya.
Kebijakan Progresif
Sampai saat ini belum ditemukan kebijakan pertanian yang bersifat progresif dibuat oleh pemerintah. Yang ada adalah imbauan dan pernyataan bahwa perlu pembangunan dan perbaikan irigasi secara massal. Namun, ini kemudian tidak diikuti oleh kebijakan anggaran yang serius. Alasannya karena anggaran yang terbatas.
Kalau alasannya keterbatasan anggaran, sebenarnya bisa diatasi dengan mendorong kerja sama pemerintah swasta. Namun, sampai saat ini proyekproyek yang dikerjasamakan atau ditawarkan dengan swasta melalui skema private public patnership hanya yang mempunyai nilai komersial yang tinggi. Dalam hal ini, proyek-proyek yang cepat menghasilkan keuntungan.
Peran swasta dalam pembangunan sarana pertanian perlu dicarikan skema yang saling menguntungkan agar swasta bisa tertarik. Pendirian bank pertanian sebagaimana gagasan Khudori beberapa waktu lalu di sebuah harian patut didukung. Bila bank pertanian tersebut telah berdiri maka bisa diarahkan untuk membiayai infrastruktur pangan.
Ketiga, kebijakan infrastruktur telekomunikasi dan informasi (TIK) yang mendukung ketahanan pangan pada periode 2004–2012 telah berjalan dengan baik. Hanya, kebijakan itu lebih banyak mengatur aspek penyediaannya (provider). Penyedia layanan komunikasi saat ini memang berlomba mendirikan tower telekomunikasi khususnya telepon seluler. Ketika pemerintah melepaskan monopoli Telkom sebagai penyedia telekomunikasi eksklusif dampaknya segera terasa, biaya panggilan telepon turun drastis.
Petani-petani di (belum merata seluruh wilayah ) pelosok yang belum teraliri listrik pun sudah bisa melakukan panggilan suara. Sekarang, tinggal konten informasi yang perlu disesuaikan. Penyebaran informasi pertanian melalui radio dan televisi juga mesti digalakkan. Bisa juga aplikasi-aplikasi pertanian perlu disediakan misalnya dalam playstore agar memudahkan para petani atau siapa pun mengunduh informasi- informasi pertanian yang bermanfaat.
Pembentukan laman khusus bagi para petani yang lengkap, memuat perkembangan harga komoditi dunia dan dalam negeri dan juga pasar pertanian onlinedalam bentuknya yang mudah dimengerti oleh semua petani pada tingkatan pendidikan apa pun. Karena itu, setelah telepon seluler terjangkau sampai ke pelosok, kini saatnya pembangunan internet agar sampai ke pelosok juga.
Dengan pertambahan penduduk yang semakin besar, dalam jangka panjang pemenuhan pangan tidak lagi melulu terfokus pada penyediaan (produksi) karena ini sudah bisa diatasi dengan teknologi. Saatnya perlu penyediaan dalam arti persebaran pangan, kemudahanaksesdankemudahan transportasi di seluruh wilayah Tanah Air.
Ke depan perlu mengintegrasikan pembangunan infrastruktur yang berkaitan dengan pangan dan pertanian ke dalam pembangunan ekonomi secara makro. Pada tingkatan global juga demikian. Infrastruktur yang dibangun belum banyak diperuntukkan bagi pangan global.
Infrastruktur lebih diperuntukkan bagi kemudahan industri dan perdagangan. Pemerintah juga perlu mendorong peran swasta dalam skema private public partnership untuk terlibat dalam pembiayaan infrastruktur pangan. Oleh sebab itu, diplomasi ekonomi perlu diperkuat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar