Kamis, 01 Agustus 2013

Kepercayaan dan Kehati-hatian Indonesia

Kepercayaan dan Kehati-hatian Indonesia
Dewi Fortuna Anwar  ;   Wakil Ketua Ilmu Sosial dan Humanoria
pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia;
Ketua Lembaga Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Pada Habibie Center
          KORAN TEMPO, 01 Agustus 2013


DALAM tahun-tahun terakhir ini, Indonesia telah muncul sebagai negara demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi yang dinamis. Sebagai negara anggota Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara (ASEAN) yang paling besar dan paling berpengaruh, Indonesia harus memanfaatkan kekuatan yang baru diperolehnya itu untuk menghadapi tantangan yang ia dan mitra-mitranya hadapi di kawasan ini, seraya menghindari kebijakan luar negeri yang gegabah.
Indonesia punya alasan untuk percaya diri. Kurang dari tiga dekade sejak krisis keuangan Asia pada 1997-1998 menghantam ekonomi negeri ini serta menimbulkan gejolak sosial yang berujung pada diakhirinya tiga dekade pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia sekarang menjadi anggota G-20 dengan PDB tertinggi ke-15 di dunia.
Lagi pula rakyat Indonesia yang mayoritas muslim itu moderat, dan negeri ini telah mampu mengatasi sebagian besar masalah keamanan di dalam negeri, termasuk gerakan memisahkan diri di Aceh dan berbagai konflik antar-kaum yang besar. Merdekanya Timor Timur pada 2001 mengakhiri tahun kekerasan di wilayah itu.
Tapi Indonesia masih menghadapi tantangan-tantangan di dalam negeri. Misalnya, reputasi negeri ini sebagai model muslim moderat telah dirusak akhir-akhir ini oleh kekerasan dan menurunnya toleransi terhadap minoritas-minoritas agama. 
Meski demikian, perhatian utama-dan ambisi utama-para pemimpin Indonesia terletak pada hubungan luar negeri. Terutama, klaim teritorial Cina atas Laut Cina Selatan telah memecah belah negara anggota ASEAN, sehingga memaksa Indonesia melakukan balancing act seraya berusaha menjaga stabilitas hubungan dengan Cina dan mengatasi keretakan di dalam kawasan ini.
Sejak mencapai kemerdekaan setelah Perang Dunia II, Indonesia telah menjalankan kebijakan luar negeri yang bebas dan aktif, lebih memilih melindungi kepentingannya sendiri daripada berpihak kepada negara-negara yang lebih kuat. 
Dua warisan kebijakan luar negeri jelas melandasi ekspektasi rakyat dan pilihan yang diambil pemerintah. Sukarno, Presiden Indonesia yang pertama setelah merdeka, mengambil sikap yang konfrontasional. Sikap ini membuat Indonesia menjadi salah satu negara pemimpin Gerakan Non-Blok. Tapi, walaupun kebijakan luar negeri "mercusuar" ini meningkatkan pengaruh Indonesia di dunia internasional, ia berujung pada dikepungnya Indonesia oleh negara-negara Barat yang tidak senang atas sikap Indonesia tersebut-dan bangkrutnya negeri ini.
Soeharto, yang menggantikan Sukarno, memilih kebijakan luar negeri yang low profile dan lebih pragmatis yang bertujuan menciptakan lingkungan di mana ekonomi Indonesia bisa berkembang dengan baik, termasuk menjaga stabilitas di kawasan Asia Tenggara, seraya memupuk hubungan dengan Amerika Serikat, Jepang, dan negara-negara utama Eropa guna memperoleh akses pasar, investasi asing, serta bantuan teknik luar negeri. Walaupun pendekatan yang dilakukan Soeharto mendukung majunya ekonomi, para pengecam menuduh pendekatan semacam itu mengkhianati semangat Undang-Undang Dasar 1945, yang menginginkan Indonesia memainkan peran aktif dalam memajukan perdamaian dunia.
Dalam upaya mendamaikan idealisme dengan pragmatisme yang sering saling berbenturan ini, Indonesia sekali lagi mengadopsi pendekatan yang lebih aktif. Tapi menjaga agar jalan pendekatan ini tetap lurus tidaklah mudah. Walaupun sementara analis mengatakan bahwa Indonesia telah tumbuh lebih cepat daripada ASEAN dan harus mencari jalan lain yang independen, pemerintah tetap teguh: ASEAN tetap menjadi batu landasan kebijakan luar negerinya.
Sikap ini didorong bukan oleh rasa ketidakamanan, melainkan oleh kepercayaan akan "sentralitas ASEAN"-yaitu pada kemampuan negara-negara anggotanya untuk membentuk tatanan regional dan mewujudkan masa depan bersama menurut keinginan mereka sendiri tanpa campur tangan luar. Para pembuat keputusan di Indonesia, yang memandang ASEAN sebagai blok yang mutlak, dibutuhkan dalam mengelola hubungan dengan negara-negara besar, yakin bahwa blok ini harus ambisius dalam menyebarkan code of conduct, yang dibawakan ASEAN dan bahwa ia harus mendorong prakarsa bagi terciptanya suatu arsitektur regional di Asia Timur.
Mengingat semua ini, oposisi Indonesia terhadap ide dibentuknya suatu masyarakat Asia Timur-yang terdiri atas ASEAN, Cina, Jepang, dan Korea Selatan-tidak mengejutkan. Sebaliknya, ia mendukung dibentuknya East Asia Summit yang lebih inklusif, yang menyatukan para pemimpin ASEAN dan delapan mitra utamanya-Cina, Amerika Serikat, Jepang, India, Rusia, Australia, Korea Selatan, dan Selandia Baru. Indonesia mengharapkan terciptanya suatu pengelompokan yang tidak didominasi oleh satu atau lebih negara besar, sehingga memungkinkan ASEAN terus memainkan peran sentral sebagai penyatu yang netral.
Berbeda dengan ASEAN, peran Indonesia dalam G-20 tetap terbatas, seperti juga potensinya untuk bertindak sebagai wakil negara-negara berkembang. Tapi, tidak seperti BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan), yang lebih konfrontasional, Indonesia berharap bisa memajukan kerja sama di kalangan negara maju dan negara berkembang. Ia juga telah berusaha memainkan peran kepemimpinan dalam persoalan-persoalan global strategis, seperti perubahan iklim dan dialog antar-umat beragama.
Lagi pula, Indonesia telah berusaha memajukan demokrasi. Misalnya, sejak 2008, ia telah menjadi tuan rumah Bali Democracy Forum, di mana wakil dari negara-negara demokrasi yang sudah mapan ataupun yang sedang menuju tingkat mapan berbagi pengalaman. Prakarsa semacam ini menggarisbawahi fokus perhatian global pada Indonesia, suatu negara demokrasi mayoritas muslim setelah maraknya Musim Semi Arab. Sesungguhnya, berbagai negara Arab, terutama Mesir dan Tunisia, telah meminta nasihat para pemimpin Indonesia bagaimana menyeimbangkan Islam dan politik.
Upaya semacam ini tidak selalu populer di kalangan mitra-mitra ASEAN Indonesia, karena kekhawatiran bahwa upaya tersebut melanggar peran "tak campur tangan" ASEAN dalam urusan dalam negeri negara-negara lain. Namun upaya ini telah menyumbang bagi kemajuan di bidang-bidang yang penting. Misalnya, Indonesia telah mendorong reformasi di Myanmar, membantu mengakhiri konflik perbatasan antara Thailand dan Kamboja, serta mendorong diabadikannya demokrasi dan hak asasi manusia dalam suatu masyarakat politik dan keamanan ASEAN.

Namun, pada akhirnya, pengaruh Indonesia ini bersumber dari soft power negeri itu sendiri. Maka itu, walaupun Indonesia mungkin menjadi sorotan global, perhatian utamanya harus pada memajukan pertumbuhan ekonomi yang kuat dan stabil, menangani intoleransi agama, serta menjaga persatuan ASEAN dalam menghadapi kebijakan Cina yang semakin asertif di kawasan ini. Indonesia tidak boleh membiarkan kepercayaan yang baru diperoleh itu menjadi arogansi kebijakan luar negeri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar