|
Korupsi benar-benar sudah menjadi epidemi politik di
Indonesia. Korupsi merupakan suatu jenis penyakit sosial sangat kronis yang
bukan saja menulardanmenjalar, tetapi juga sangat sulit dibasmi sehingga sangat
membahayakan negara-bangsa.
Praktik korupsi berlangsung demikian sistemik dalam struktur kekuasaan negara dan institusi birokrasi pemerintahan. Skandal besar yang melibatkan Kepala SKK Migas jelas menggambarkan betapa pejabat publik cenderung tergoda melakukan korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaan, meskipun berentangan dengan prinsip-prinsip moralitas publik. Sungguh menyedihkan, bangsa Indonesia yang mewarisi public morality dari para founding fathers, kini justru melahirkan para penguasa dan elite politik tuna-moral.
Di tengah-tengah maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masih relevankah kita mendiskusikan isu moralitas publik? Atau, masih layakkah kita berharap akan lahir pribadi-pribadi mulia yang menduduki jabatan publik dengan integritas moral yang terjaga? Boleh jadi membicarakan isu moralitas publik di tengah-tengah merajalelanya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan langkah sia-sia belaka.
Demikian pula berharap akan lahir sosok pemimpin yang bersih dengan moralitas terpelihara merupakan suatu bentuk kenaifan yang sempurna, bak merindukan burung gagak berbulu putih. Meski demikian, seruan moral melalui ruang-ruang publik tetap harus dikumandangkan. Upaya melawan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik perlu dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai macam cara dan pendekatan.
Maka, mendiskusikan isu moralitas publik bukan saja relevan dan aktual tetapi juga punya bobot yang sangat tinggi karena berkaitan dengan ikhtiar membangun sebuah kultur pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Apa sesungguhnya yang dimaksud moralitas publik? Seorang ahli filsafat etika menulis: “Public morality is an ethic of the community which is concerned with dicency and civility and is a degree of ethical concensus which is recognized in public policy and is, sometimes, supported by law” (Galston, 1999).
Pengertian ini mengandaikan bahwa setiap kedudukan atau jabatan publik yang (i) berpengaruh luas terhadap hajat kehidupan masyarakat, (ii) berkenaan dengan kebijakan dasar dan keputusan penting yang dibuat untuk dan atas nama rakyat, serta (iii) bertumpu pada sumber daya yang dimiliki masyarakat baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik, maka harus mengedepankan prinsipprinsip dasar moralitas yang berlaku di masyarakat.
Prinsip dasar moralitas menyangkut tiga hal yang sangat fundamental. Pertama, setiap individu yang memangku jabatan publik harus bersedia menunaikan kewajiban secara benar dan bertindak menurut norma dan nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Sebab, setiap produk kebijakannya serta langkah dan perilakunya akan berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, kejujuran, kebajikan, dan kearifan merupakan standar moral yang diperlukan bagi seorang pejabat publik, agar kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Ketiga, pejabat publik disyaratkan untuk tidak mempunyai vested interest, yang dapat mengganggu kelancaran dan kebersihan pekerjaannya. Karena itu, mereka juga harus mampu menghindar dari jebakan konflik kepentingan antara tanggung jawab sebagai pejabat publik dengan segala bentuk keinginan dan tuntutan yang bersifat personal. Dalam kajian administrasi publik modern, seorang yang memangku jabatan publik yang bertugas memberikan pelayanan untuk kepentingan masyarakat harus mempunyai kualitas moral atau standar etika.
Hal ini diperlukan untuk menghindari pengkhianatan atas amanat jabatan publik yang disandangnya dan mencegah penyelewengan kekuasaan yang diembannya. William Bruce dalam Classics of Administrative Ethics (2001) mencatat, paling kurang ada tujuh kualitas moral yang harus dipunyai oleh seorang pejabat publik. Pertama, ketepercayaan yang mensyaratkan seorang pejabat publik harus mampu mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya dan bersedia menunaikan kewajiban menurut aturan hukum dan pedoman etik yang berlaku.
Kedua, kejujuran merupakan salah satu nilai etik yang sangat fundamental, yang ditandai oleh sikap terbuka, tak pernah mengecoh apalagi berbohong dalam menyampaikan informasi kepada publik, dan bersedia mengungkapkan sesuatu hal yang menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat secara benar. Ketiga, integritas adalah suatu kualitas pribadi yang mencerminkan kecerdikan, kesungguhan, keutuhan, dan kesediaan untuk bertindak serta berlaku bijak dalam mengemban tugas demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Keempat, loyalitas merupakan suatu sikap pribadi yang teguh dan konsisten dalam membela dan menjaga kepentingan pekerjaan, jabatan, dan organisasi, yang dilandasi oleh nilainilai etika yang berlaku umum. Kelima, tanggung jawab adalah suatu sikap pribadi yang bersedia untuk mengemban tugas dan amanat secara tulus berdasarkan kepercayaan yang telah diberikan.
Keenam, keadilan adalah suatu sikap moral yang bersedia bertindak secara fairserta dalam membuat keputusan dan kebijakan selalu berdasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, proporsionalitas, dan imparsialitas guna menjamin rasa keadilan bagi segenap masyarakat. Ketujuh, kesadaran berwarga negara merupakan prinsip moral dasar yang merujuk pada kesadaran etis sebagai seorang warga negara untuk bersedia berperilaku baik, sadar dan patuh pada hukum, serta mendasarkan setiap tindakannya pada—meminjam istilah kaum komunitarian—civic virtue.
Yaitu suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan suatu kebajikan bersama demi kepentingan masyarakat umum, yang melampaui kebaikan yang bersifat personal— the disposition to place the good of the community above one’s personal good. Jika kita merenungkan secara mendalam, tampak nyata banyak pejabat publik tak punya prinsip-prinsip dasar moralitas yang baik dalam menjalankan pemerintahan.
Perilaku menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan kepercayaan, mengkhianati amanat, dan membohongi publiksudahmenjadifenomenaumum, yanghampir setiap hari dipertontonkan di hadapan masyarakat. Sungguh, mereka sudah tak lagi mengenal moralitas publik yang seharusnya dipegang teguh dan dirawat agar dapat menunaikan tanggung jawab sebagai abdi negara dalam memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Bangsa ini telah kehilangan moralitas publik, yang tergerus oleh mentalitas korup. Tak heran, yang muncul adalah perlombaan memperkaya diri di kalangan pejabat publik dan elite politik yang tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat. ●
Praktik korupsi berlangsung demikian sistemik dalam struktur kekuasaan negara dan institusi birokrasi pemerintahan. Skandal besar yang melibatkan Kepala SKK Migas jelas menggambarkan betapa pejabat publik cenderung tergoda melakukan korupsi dengan menyalahgunakan kekuasaan, meskipun berentangan dengan prinsip-prinsip moralitas publik. Sungguh menyedihkan, bangsa Indonesia yang mewarisi public morality dari para founding fathers, kini justru melahirkan para penguasa dan elite politik tuna-moral.
Di tengah-tengah maraknya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan, masih relevankah kita mendiskusikan isu moralitas publik? Atau, masih layakkah kita berharap akan lahir pribadi-pribadi mulia yang menduduki jabatan publik dengan integritas moral yang terjaga? Boleh jadi membicarakan isu moralitas publik di tengah-tengah merajalelanya praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan merupakan langkah sia-sia belaka.
Demikian pula berharap akan lahir sosok pemimpin yang bersih dengan moralitas terpelihara merupakan suatu bentuk kenaifan yang sempurna, bak merindukan burung gagak berbulu putih. Meski demikian, seruan moral melalui ruang-ruang publik tetap harus dikumandangkan. Upaya melawan praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat publik perlu dilakukan secara terus-menerus melalui berbagai macam cara dan pendekatan.
Maka, mendiskusikan isu moralitas publik bukan saja relevan dan aktual tetapi juga punya bobot yang sangat tinggi karena berkaitan dengan ikhtiar membangun sebuah kultur pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Apa sesungguhnya yang dimaksud moralitas publik? Seorang ahli filsafat etika menulis: “Public morality is an ethic of the community which is concerned with dicency and civility and is a degree of ethical concensus which is recognized in public policy and is, sometimes, supported by law” (Galston, 1999).
Pengertian ini mengandaikan bahwa setiap kedudukan atau jabatan publik yang (i) berpengaruh luas terhadap hajat kehidupan masyarakat, (ii) berkenaan dengan kebijakan dasar dan keputusan penting yang dibuat untuk dan atas nama rakyat, serta (iii) bertumpu pada sumber daya yang dimiliki masyarakat baik dalam konteks ekonomi, sosial, maupun politik, maka harus mengedepankan prinsipprinsip dasar moralitas yang berlaku di masyarakat.
Prinsip dasar moralitas menyangkut tiga hal yang sangat fundamental. Pertama, setiap individu yang memangku jabatan publik harus bersedia menunaikan kewajiban secara benar dan bertindak menurut norma dan nilai kepatutan yang berlaku di masyarakat. Sebab, setiap produk kebijakannya serta langkah dan perilakunya akan berimplikasi luas terhadap kehidupan masyarakat. Kedua, kejujuran, kebajikan, dan kearifan merupakan standar moral yang diperlukan bagi seorang pejabat publik, agar kebijakan-kebijakan yang dibuatnya dapat memberikan manfaat dan kesejahteraan bagi masyarakat.
Ketiga, pejabat publik disyaratkan untuk tidak mempunyai vested interest, yang dapat mengganggu kelancaran dan kebersihan pekerjaannya. Karena itu, mereka juga harus mampu menghindar dari jebakan konflik kepentingan antara tanggung jawab sebagai pejabat publik dengan segala bentuk keinginan dan tuntutan yang bersifat personal. Dalam kajian administrasi publik modern, seorang yang memangku jabatan publik yang bertugas memberikan pelayanan untuk kepentingan masyarakat harus mempunyai kualitas moral atau standar etika.
Hal ini diperlukan untuk menghindari pengkhianatan atas amanat jabatan publik yang disandangnya dan mencegah penyelewengan kekuasaan yang diembannya. William Bruce dalam Classics of Administrative Ethics (2001) mencatat, paling kurang ada tujuh kualitas moral yang harus dipunyai oleh seorang pejabat publik. Pertama, ketepercayaan yang mensyaratkan seorang pejabat publik harus mampu mengemban amanat yang dipercayakan kepadanya dan bersedia menunaikan kewajiban menurut aturan hukum dan pedoman etik yang berlaku.
Kedua, kejujuran merupakan salah satu nilai etik yang sangat fundamental, yang ditandai oleh sikap terbuka, tak pernah mengecoh apalagi berbohong dalam menyampaikan informasi kepada publik, dan bersedia mengungkapkan sesuatu hal yang menjadi perhatian dan kepentingan masyarakat secara benar. Ketiga, integritas adalah suatu kualitas pribadi yang mencerminkan kecerdikan, kesungguhan, keutuhan, dan kesediaan untuk bertindak serta berlaku bijak dalam mengemban tugas demi kepentingan dan kemaslahatan bersama.
Keempat, loyalitas merupakan suatu sikap pribadi yang teguh dan konsisten dalam membela dan menjaga kepentingan pekerjaan, jabatan, dan organisasi, yang dilandasi oleh nilainilai etika yang berlaku umum. Kelima, tanggung jawab adalah suatu sikap pribadi yang bersedia untuk mengemban tugas dan amanat secara tulus berdasarkan kepercayaan yang telah diberikan.
Keenam, keadilan adalah suatu sikap moral yang bersedia bertindak secara fairserta dalam membuat keputusan dan kebijakan selalu berdasarkan pada prinsip kesetaraan, keterbukaan, proporsionalitas, dan imparsialitas guna menjamin rasa keadilan bagi segenap masyarakat. Ketujuh, kesadaran berwarga negara merupakan prinsip moral dasar yang merujuk pada kesadaran etis sebagai seorang warga negara untuk bersedia berperilaku baik, sadar dan patuh pada hukum, serta mendasarkan setiap tindakannya pada—meminjam istilah kaum komunitarian—civic virtue.
Yaitu suatu sikap moral pribadi yang bersedia menempatkan suatu kebajikan bersama demi kepentingan masyarakat umum, yang melampaui kebaikan yang bersifat personal— the disposition to place the good of the community above one’s personal good. Jika kita merenungkan secara mendalam, tampak nyata banyak pejabat publik tak punya prinsip-prinsip dasar moralitas yang baik dalam menjalankan pemerintahan.
Perilaku menyalahgunakan kekuasaan, menyelewengkan kepercayaan, mengkhianati amanat, dan membohongi publiksudahmenjadifenomenaumum, yanghampir setiap hari dipertontonkan di hadapan masyarakat. Sungguh, mereka sudah tak lagi mengenal moralitas publik yang seharusnya dipegang teguh dan dirawat agar dapat menunaikan tanggung jawab sebagai abdi negara dalam memberikan pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat.
Bangsa ini telah kehilangan moralitas publik, yang tergerus oleh mentalitas korup. Tak heran, yang muncul adalah perlombaan memperkaya diri di kalangan pejabat publik dan elite politik yang tanpa malu mendemonstrasikan kemewahan sekalipun jalan yang ditempuh adalah mencuri uang rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar