|
Aksi Penangkapan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana
Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) nonaktif Rudi Rubiandini
oleh KPK mengagetkan banyak pihak. Status Rudi yang menjadi tersangka dalam
kasus suap untuk pemenangan tender Kernel Oil Pte Ltd tidak saja mencoreng nama
SKK migas, tapi juga nama Indonesia, terutama di kalangan industri migas dunia.
Penangkapan ini menjadi indikasi tata kelola migas nasional masih sarat dengan
praktik nepotisme, kolusi, dan korupsi.
SKK Migas merupakan wajah baru BP Migas yang dibentuk pemerintah, pascakekalahan pemerintah dalam review yudisial UU Migas pada 2012. Saat itu, BP Migas dinilai tidak perlu karena dianggap menyalahi konstitusi. Tapi, pemerintah membentuk SKK Migas dengan alasan mengambil alih pekerjaan BP Migas menangani berbagai kontrak kerja sama migas dan pengelolaan migas nasional. Bahkan, sesuai dengan Perpres No 9 tahun 2013, ketua SKK Migas ditunjuk langsung oleh presiden tanpa mekanisme uji kelayakan dan kepatutan melalui DPR.
SKK Migas mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi berdasarkan kontrak kerja sama agar pengambilan sumber daya alam minyak dan gas bumi milik negara dapat memberikan manfaat dan penerimaan yang maksimal bagi negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Beban tugas yang diemban SKK Migas sangatlah strategis karena migas menyangkut hajat hidup orang banyak.
Mencermati industri migas nasional, tampaknya Indonesia
belum memiliki kemandirian migas. Ketergantungan terhadap impor sangatlah
tinggi, bahkan dengan jumlah yang terus bertambah. Masyarakat Indonesia belum
dapat menikmati kekayaan sumber daya alam yang melimpah. Ini adalah indikasi
adanya kesalahan dalam manajemen pengelolaan migas nasional. Besarnya dominasi
perusahaan asing yang turut berpartisipasi mengelola sektor migas merupakan
penyebab utama sulitnya kedaulatan energi nasional terwujud.
Berdasarkan data BPK, perusahaan asing menguasai 70 persen pertambangan migas, 75 persen tambang batubara, bauksit, nikel, dan timah. Perusahaan asing juga menguasai 85 persen tambang tembaga dan emas serta 50 persen perkebunan sawit. Menilik data tersebut, hanya 30 persen pertambangan migas yang dikuasai perusahaan nasional, Pertamina 17 persen dan sisanya dikelola oleh perusahaan-perusahaan swasta nasional.
Mencermati begitu besarnya penguasaan perusahaan asing pada industri migas, dapatlah kita bayangankan posisi strategis yang dimiliki SKK Migas. Prosedur investasi di industri migas mau tidak mau pasti lalu lintasnya melalui SKK Migas. Oleh karena itu, SKK Migas haruslah diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas dan bermoral nasionalis agar selalu mengedepankan kepentingan bangsa dan negara.
Saat ini, 80 persen produksi nasional dihasilkan oleh international oil company dan Pertamina sekitar 20 persen. Ini mengindikasikan keberpihakan negara terhadap national oil company (NOC) tidaklah besar, angka untuk government participation pada PSC hanya pada level 10 persen dan tidak progresif.
Momentum perbaikan
Penangkapan Rudi semestinya dijadikan momentum untuk
mengevaluasi dan memperbaiki kebijakan dan pengelolaan migas nasional. Kasus
ini menandakan bahwa pengelolaan energi nasio nal masih sarat dengan praktik
nepotisme, kolusi, dan korupsi. SKK Migas tidak boleh menjadi wadah bagi
praktik kotor yang berkaitan dengan KKS Migas. Selain itu, mengingat krusialnya
persoalan energi, revisi UU Migas yang memungkinkan seluruh sumber daya migas
diusahakan dan dikuasai oleh negara sebagaimana amanah Pasal 33 UUD 1945.
Dengan demikian, kesejahteraan rakyat Indonesia dapat segera tercapai.
SKK Migas harus mendorong pengelolaan migas nasional dengan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara melalui NOC. Strategi pengembangan NOC dapat dilakukan dengan berbagai alternatif, yakni investasi kegiatan migas domestik hanya dilakukan oleh NOC, mengundang IOC untuk investasi, mengundang NOC negara lain, dan mengombinasikan antara NOC, IOC, serta NOC negara lain.
Investasi kegiatan migas domestik yang diamanatkan konstitusi seharusnya dilakukan oleh NOC. Sebagai industri padat modal dan teknologi, NOC harus memiliki kemampuan dalam operasional dan pengembangan aset sektor hulu migas. Eksistensi NOC sangat bergantung pada strategi pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah harus fokus pada strateginya untuk NOC. Isu seputar NOC yang perlu dikelola berkaitan dengan konfl ik ang garan, politik, kemampuan manajerial, good corporate governance, modal, dan teknologi.
Untuk meningkatkan peran NOC, perlu tata kelola migas yang lebih berpihak pada pemberian hak istimewa. Dengan dukungan penuh pemerintah, kesulitan-kesulitan modal dan teknologi pasti dapat terpenuhi. Bank-bank nasional memiliki kemampuan untuk membantu NOC meningkatkan partisipasinya atau mengambil alih operasional IOC. Kesulitan teknologi dapat dipelajari mengingat karyawan perusahaan asing di Indonesia adalah masyarakat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar