Sabtu, 17 Agustus 2013

Mengawal Kejayaan Indonesia

REFLEKSI 68 TAHUN KEMERDEKAAN INDONESIA
Mengawal Kejayaan Indonesia
Leila Mona Ganiem Pengamat Komunikasi
REPUBLIKA, 16 Agustus 2013

Berita menggirangkan tentang prediksi kejayaan Indonesia pada 2050 datang dari beberapa sumber terpercaya. Di antaranya, ahli ekonomi Citigroup Willem Buiter (Chief Economist) dan Ebrahim Rahbari tentang keadaan dan perkembangan ekonomi dunia. Menurut mereka, Indonesia diramalkan menjadi negara nomor tujuh di dunia pada 2030 dan nomor empat di dunia pada 2050 dengan GDP 45.901 dolar AS. Sebagai catatan, prediksi GDP Inggris pada 2050 adalah 13.846 dolar AS, sementara Jepang sejumlah 16.394 dolar. 

Ramalan lain dari Pricewaterhouse Cooper (PwC) menyebut Indonesia akan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedelapan dunia pada 2050. Ini akan mengambil alih posisi Inggris dan Prancis yang nantinya terdepak dari sepuluh besar. Prediksi PwC diinspirasi sejumlah faktor kunci, di antaranya, pertumbuhan populasi usia kerja, peningkatan kualitas sumber daya manusia yang dilihat dari taraf pendidikan, pertumbuhan cadangan modal, dan faktor total dari pertumbuhan produktivitas yang didorong oleh kemajuan teknologi.

Berita segar ini kontras dengan kondisi kekinian yang akrab dengan degradasi moral yang melanda generasi muda Indonesia pada posisi krisis multidimensional. Thomas Lickona, pakar pendidikan karakter dari Amerika, memberi 10 petunjuk untuk menafsirkan apakah suatu negara sedang menuju pada jurang kehancuran.  Tanda-tanda tersebut adalah (1) meningkatnya kekerasan remaja; (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk; (3) meningkatnya perilaku merusak diri (narkotika, miras, seks bebas); (4) semakin kaburnya pedoman moral; (5) menurunnya etos kerja; (6) rendahnya rasa tanggung jawab individu/bagian dari bangsa; (7) rendahnya rasa hormat kepada orang tua/guru; (8) membudaya- nya ketidakjujuran; (9) pengaruh kesetiaan kelompok remaja yang kuat dalam kekekerasan; (10) meningkatnya rasa curiga dan kebencian sesama. Sedihnya, saat ini di Indonesia dengan mudah kita dapat merinci keterpenuhan syarat sepuluh indikator tersebut.

Upaya apa yang dapat kita konstribusikan untuk mengawal kejayaan Indonesia mendatang? Banyak hal. Beragam potensi dapat dioptimalkan. Tapi, melalui tulisan ini saya akan mengupas beberapa upaya dari perspektif komunikasi.
Pertama, kini saatnya kita mengomunikasikan kembali sejarah kejayaan Indonesia di masa lalu. Mengapa ini penting? Karena sejarah adalah akumulasi pengalaman manusia yang melaluinya kita dapat memetik pelajaran mengenai kearifan historis. 

Sejauh ini `dari sejarah kita belajar bahwa kita tidak pernah belajar dari sejarah'. Padahal, melalui sejarah kita dapat memperoleh pedoman bagi kehidupan sehari-hari. Bangsa Romawi kuno menyebut dengan adagium historia vitae magistra, artinya sejarah adalah guru kehidupan. Ahmad Mansur Suryanegara dalam buku API Sejarah menyebut, bila sejarawan mulai membisu, hilanglah kebesaran masa depan generasi bangsa. 

Kita perlu diingatkan kembali bahwa nusantara adalah wilayah maritim yang besar dan kuat. Hanya kapal buatan teknokrat Sriwijaya yang bisa dipakai melintasi antarsamudera. Bahkan, bangsa Cina juga belajar teknologi kapal dari Sriwijaya. Kejayaan angkatan laut dari Bugis pada akhir abad ketujuh bahkan telah mendominasi Asia Tenggara. 

Di sisi artefak pun, Indonesia tak dapat diabaikan, sekitar abad kedelapan Masehi Indonesia telah mampu membangun Candi Borobudur. Peneliti Bandung Fe Institute menyebut, Candi Borobudur ternyata dibangun dengan menggunakan perhitungan matematika, sebuah struktur geometri kontemporer yang baru dikenal sekitar 1980-an. Kontras dengan Eropa. Kita dapati Inggris, Prancis, Spanyol, atau Belanda adalah negara-negara yang menjadi kaya, memiliki keunggulan arsitektur dan meningkat kesejahteraan masyarakatnya akibat kolonisasi yang dilakukannya dulu. 

Zaman Renaissance membawa peradaban Eropa menuju masa keemasan.
Penduduk Eropa mencapai prestasi gemilang dalam berbagai bidang, baik filasat, seni, ilmu pengetahuan, teknologi, politik, pendidikan, perdagangan, dan lain-lain. Budaya hidup menjadi hedonistis, individualistis, dan optimistis. Kepercayaan diri meraih ambisi membawa mereka menjelajah lintas teritorial untuk melengkapi kebutuhan mencapai kemakmuran. 

Upaya kedua adalah pengkomunikasian karakter bangsa yang unggul. Sisi terburuk dari penjajahan bukanlah kehilangan materi, melainkan kerusakan karakter masyarakat melalui kekuatan militer, kekuasaan politik, hegemoni ekonomi, dominasi media informasi, serta manipulasi sejarah. Karakter penakut, tidak bebas bersuara, kagum pada bangsa asing, mudah diprovokasi, terpesona akan kehidupan konsumtif, mudah disuap, mental korup adalah karakter orang Indonesia saat ini yang menjadi tugas kita bersama dalam memperbaikinya. Mengingat kekompleksannya, pembangunan karakter bangsa perlu dilakukan secara kolektif, yaitu meliputi lingkup keluarga, sekolah, pemerintahan, masyarakat sipil, masyarakat politik, dunia usaha dan industri, serta media massa. 

Salah satu hal yang akrab dengan konteks komunikasi adalah lingkup media massa. Liberalisasi pasar membuat hanya orang bermodal kuat yang bisa menguasai media. Kondisi ini memung kinkannya survival of the fittest, siapa yang unggul, itulah yang memenangkan publik terbanyak. Perolehan keuntungan menjadi kendali utama. Akibatnya, dominan isu media yang didasari asumsi bad news is a good news mengobral berita buruk yang menggerogoti jiwa. Kebobrokan diurai lebih banyak daripada keberhasilan. 

Dramatisasi berita buruk kerap kali hanya merepresentasi secuil realitas. Benar, literasi media perlu menjadi life skill masyarakat karena `buta huruf' masa kini adalah ketika kita tidak menguasai informasi. Tapi, media massa perlu bersungguh-sungguh mengambil posisi sebagai pilar penting pembentukan karakter bangsa. Tokoh panutan, motivasi berkarya, akhlak mulia, perlu lebih kerap ditampilkan agar menjadi inspirasi. 


Mari kita jadikan peringatan ulang tahun kemerdekaan Indonesia ke-68 sebagai momentum kebangkitan bangsa, meraih kembali kejayaan Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar