Rabu, 21 Agustus 2013

Klaim Ekspresi Budaya Tradisional

Klaim Ekspresi Budaya Tradisional
Kholis Roisah  ;   Dosen Hubungan Internasional dan Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
SUARA MERDEKA, 21 Agustus 2013

"Perlindungan ekspresi budaya tradisional lebih difokuskan untuk menjaga ’’kesakralan’’ ekspresi tersebut"

PERLINDUNGAN hukum terhadap hak kekayaan intelektual (HKI) mengalami perkembangan sangat pesat dalam tatanan internasional, bahkan menjadi salah satu isu dalam era global dan liberal saat ini. Bukti itu terlihat terutama sejak disepakatinya Persetujuan TRIPs (Trade Related Aspect of Intellectual Property Rights Agreement).

Persetujuan itu mengukuhkan peningkatan standar dan ruang lingkup perlindungan HKI yang dilengkapi mekanisme penegakan hukum yang sangat ketat, baik pada tingkat nasional maupun internasional. Namun perangkat itu belum cukup mampu menyelesaikan kasus klaim kepemilikan karya ekspresi budaya tradisional (EBT) kita dan penggunaannya secara komersial, terutama oleh pihak asing.
Padahal ekspresi budaya tradisional tetap merupakan sebuah karya cipta atau ’’pengetahuan’’ hasil kreativitas intelektual kelompok masyarakat. Meskipun realitasnya itu merupakan  ungkapan tradisi budaya secara turun-temurun dari satu generasi  ke generasi, yang dipelihara dan dikembangkan oleh sebuah komunitas masyarakat adat/lokal.

Kita bisa berkaca pada komersialisasi ekspresi budaya tradisional kita, sebagaimana dalam sengketa perajin mebel ukir Jepara dengan pengusaha asing PT Harrison & Grill-Java yang justru melakukan somasi, melarang perajin lokal. Lebih tragis lagi beberapa motif tradisional ukir perak Bali didaftarkan oleh warga asing, baik yang tinggal di Indonesia maupun di luar negeri, sebagaimana John Hardy yang menggugat perajin lokal Indonesia. (Repubika Online, 13/9/08)

Selain itu, klaim kepemilikan ekspresi budaya tradisional kita oleh Malaysia, seperti pemakaian lagu ’’Rasa Sayange’’ untuk jingle iklan Visit Malaysia tanpa otorisasi dari masyarakat adat Maluku, sebagai ’’pemilik’’. Selain itu, isu klaim kepemilikan motif batik parang, reog ponorogo, angklung, tari pendet, dan paling akhir tari tortor dari Sumatera Utara.

Perbedaan Karakter

Perbedaan karakter antara HKI dan EBT membuat sistem hukum kekayaan intelektual kita tak cukup mampu melindungi secara utuh ekspresi budaya tradisional. Secara karakter, walaupun sama-sama bersumber dari kreativitas intelektual manusia, di antara keduanya terdapat perbedaan mendasar. 

Gagasan hak kekayaan intelektual diwujudkan dalam ekspresi nyata, dan itu perbedaan yang mendasar.
Gagasan hak kekayaan intelektual berbentuk karya dalam seni dan ilmu pengetahuan, desain, merek, temuan teknologi sebagai karya atau temuan baru atau asli. Adapun ekspresi budaya tradisional merupakan hasil gagasan dalam bentuk karya seni dan pengetahuan serta teknik tertentu yang berakar dari tradisi turun-temurun.

Pencipta HKI teridentifikasi secara jelas dan orientasi ciptaan atau temuannya lebih ke arah motif ekonomi ketimbang ekspresi dari si pencipta atau penemu. Dalam ekspresi budaya tradisional, identifikasi pencipta asli tidak diketahui karena komunitas masyarakat tradisional/lokal mencipta karya itu secara turun-temurun lintas generasi.

Perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional lebih difokuskan pada integritas karya supaya ’’kesakralan’’ ekspresi itu tetap terjaga. Adapun perlindungan dalam hak kekayaan intelektual lebih mengutamakan kepentingan ekonomi ketimbang melindungi hak moral. Indonesia sebagai bangsa multietnis dan negara kepulauan yang dihuni lebih dari 1.200 kelompok etnis dengan budaya masing-masing, memiliki beragam kekayaan ekspresi budaya. Semua itu berasal dari warisan budaya, baik berupa ekspresi budaya verbal, ekspresi suara dan musik, ekspresi gerak maupun ekspresi nyata.

Peradaban bangsa kita sejak berabad-abad lalu juga sudah mengenal karya-karya intelektual, di bidang seni  yang sangat monumental dan dikenal dunia, seperti Candi Borobudur dan Prambanan, tari-tarian indah, kerajinan tangan (batik, tenun, ukir kayu/perak/tembaga), ceritera rakyat. Bahkan beberapa ekspresi budaya tradisional kita semisal keris, wayang, batik, tari saman, angklung, dan noken sudah diakui keberadaanya, dan masuk daftar representatif World Intangible Cultural Heritage.

Sejatinya perlindungan  terhadap EBT Indonesia secara komprehensisif bisa dilakukan dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip perlindungan HKI, warisan budaya, dan hukum HAM. Perlindungan HKI bertujuan melindungi aspek moral dan aspek ekonomi ekspresi buadaya itu. Adapun perlindungan aspek moral dimaksudkan guna memberikan perlindungan dari tindakan distorsi, mutilasi, dan atribusi yang menyebabkan hilangnya kesucian ataupun kesakralan karya EBT.


Atas dasar itu, kita memerlukan prinsip hukum hak kekayaaan intelektual sui generis atau khusus supaya lebih mampu melindungi secara utuh ekspresi budaya tradisional. Perlindungan itu dengan mendasarkan pada nilai-nilai kearifan lokal yang hidup dan berakar dalam komunitas penghasil kreativitas intelektual yang berbasis ekspresi budaya tradisional. Langkah-langkah perlindungan itu perlu dilakukan secara komprehensif, dan membutuhkan peran aktif berbagai sektor yang terkait, untuk diintegrasikan pada tingkat kebijakan nasional. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar