Selasa, 02 Juli 2013

Polisi, Membaca Tanda Zaman

Polisi, Membaca Tanda Zaman
Hendra Basuki ;  Wartawan Suara Merdeka,
Ketua Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jateng
SUARA MERDEKA, 01 Juli 2013


SEWAKTU kecil, akhir 1960-an, saya punya tetangga polisi bernama Pak Dawut. Posturnya tidak terlalu kukuh, tiap hari berangkat pagi sekali, dan pulang teramat sore. Ketika libur, ia sering berangkat mbedil bersama bapak saya, berburu kijang di belantara hutan di Blora. Dia polisi low profile, santun dalam berbicara, rajin bekerja, dan tangkas dalam menembak.

Ketika sudah besar, bayangan saya tentang polisi tentu tak jauh dari sosok teman ayah, pakde, paklik, dan sepupu saya yang kebetulan berprofesi polisi. Tanpa bermaksud memuji  mereka, saya menemukan banyak sosok polisi yang sepenuh hati mengabdikan diri sebagai pengayom masyarakat. Mereka tetap saja tidak punya apa-apa meski pun pangkat terakhir cukup tinggi. Pasti rekening mereka tidaklah gendut.

Ilustrasi itu sekadar menjernihkan penglihatan bahwa di kanan kiri kita masih banyak polisi  baik juga terampil. Zaman dulu, polisi bergaji kecil, wilayah operasinya amat luas, dan perbandingan dengan jumlah penduduk juga teramat jauh. Pendidikan yang didapat juga tidak terlalu tinggi, dan tentu berpengaruh terhadap performanya.

Berbeda dari sekarang, tiingkat pendidikan lebih luas dan tinggi, seiring dengan tantangan pekerjaan yang makin rumit. Tantangan dunia kriminal, dan keamanan yang diakibatkan  perubahan lingkungan mutakhir juga makin rumit. Cara orang korupsi pun makin aneh sehingga perlu didukung keterampilan dan kecerdasan yang lebih.

Citra Polisi

Sebagian besar masyarakat kita, sering kali memperbincangkan pencitraan terhadap performa seseorang dan profesinya. Profesi yang mampu memenuhi harapan khalayak misalnya, tentu dinilai tinggi. Demikian pula sebaliknya.

Membicarakan profesi, pertanyaan yang paling adil adalah profesi apakah di negeri ini yang masih bisa tampil membanggakan? Wartawan, hakim, jaksa, pengacara, guru, TKI, atau pramugari? Apakah pegiat LSM atau politikus? Bila kita jujur menjawab, sulit sekali menemukan profesi yang mendapatkan nilai 10.

Hal yang sama juga menimpa profesi polisi? Jika dilakukan survei, diyakini citra polisi seperti citra profesi lain, belum terlalu baik. Kenapa? Dugaan saya, lebih karena besarnya tuntutan masyarakat terhadap peran polisi sehingga menutup banyak prestasi yang ditorehkan.

Jika kita memperhatikan film-film luar negeri di televisi, kita dengan mudah menemukan banyak sekali polisi yang dicitrakan kurang baik. Di Amerika Serikat pun, ada polisi kurang baik. Tetapi jika menyimak bagaimana polisi kita mengendus teroris, membong­kar jaringannya maka meski tidak terucap dalam hati kita sangat bangga dengan prestasi itu.

Bisa juga mendadak kebanggaan itu surut jika anggota Densus 88 selalu menembak mati terduga teroris. Artinya, antara bangga dan jengkel itu berjarak sangat tipis. Ada saat kita jengkel karena ditilang polisi lalu lintas, tetapi sesaat kemudian trenyuh melihat polisi memandu pejalan kaki yang  ringkih. .

Tantangan Lingkungan

Pada profesi lain kita juga menemukan hal sama. Ada hakim memutus perkara  dengan tidak adil, tetapi banyak yang masih bisa berbuat adil. Ada beberapa jaksa disogok, tetapi banyak yang masih memiliki hati nurani.

Perkembangan mutakhir memperlihatkan perubahan besar dalam banyak hal. Misalnya tata krama di rumah tangga sampai ke tata krama bermasyarakat dan bernegara. Dulu, masyarakat diajarkan menyingkirkan batu di jalanan. Kenapa disingkirkan, karena dikhawatirkan mencelakakan orang lewat. Sekarang? Justru jalanan ditanami pohon pisang.

Dunia kriminal juga mengalami perubahan amat dramatis. Dulu, ragam narkoba hanyalah sedikit; ganja dan kokain diproduksi jauh dari lingkungan masyarakat. Sekarang, bahkan tetangga yang produksi pun tidak diketahui dengan baik.

Perubahan itu pastilah tidak lepas dari pengamatan polisi. Kurikulum pendidikan di Akademi Kepolisian misalnya, saya yakini sudah dirancang untuk memenuhi kebutuhan penginderaan masalah yang berkembang.
Persepsi masyarakat terhadap polisi sebenarnya dibentuk oleh pencitraan jati diri polisi sendiri. Polisi dibayangkan sebagai pengayom, pelayan, dan pelindung masyarakat. Bila polisi tidak mampu memenuhi kriteria itu, pasti bukan polisi. Jika bukan polisi, lalu siapa?

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana agar tiap profesi mampu hadir sesuai dengan citra dirinya, dan tidak berubah menjadi siapa kemudian? Polisi harus hadir sebagai polisi, dan tidak berubah menjadi perampok, pembunuh, dan sebagainya. Di sinilah tantangan pendidikan profesi yang harus peka terhadap kemungkinan-ke­mung­kinan tersebut.

Pendidikan polisi harus mampu menghadirkan sosok pekerja adil karena dia dekat dengan pekerjaan penegakan keadilan. Rasa adil harus dibangun setiap saat, sejak hari pertama masuk pendidikan sampai akhir profesi secara khusnul khatimah. Rasa jujur harus dibangun, karena pekerjaannya menuntut harus memperbaiki orang-orang yang tidak jujur. Membangun rasa ikhlas karena melayani itu sebenarnya pekerjaan amat sulit, dan melindungi karena polisi lebih memiliki pendidikan keterampilan dan ketangkasan.

Maka, dalam bayangan masyarakat, ketika melihat polisi melintas di jalan misalnya, rasa aman itu langsung 
muncul. Jadi, melihat polisi sama dengan merasakan keamanan dan kenyamanan. Mengubah harapan itu menjadi kenyataan tentu tantangan sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Dalam derajat tertentu polisi sudah berhasil, bahwa ketidakhadirannya di jalan raya cukup diwakili oleh traffic light, marka jalan, atau rambu pembatasan lainnya.  Artinya, kemampuan menciptakan rasa aman dan patuh hukum sudah ada, meski pun tidak dengan kehadiran fisiknya.

Jika bukan polisi lalu siapa? Pendidikan polisi pada tingkatan mana pun harus mampu meniminalkan polisi berubah jadi siapa. Pendidikan di tempat kerja, para pimpinan di tingkat unit sekecil apa pun harus menunjukkan diri sebagai pemimpin. Seperti juga guru, profesi polisi tergolong paling dekat dengan masyarakat. Jika tidak menampilkan diri sesuai dengan citra maka risiko lingkungan yang diterima amatlah berat.

Berbeda dari guru yang bergerak pada alam kenyamanan, cara kerja polisi bergerak di luar batas zona nyaman seperti mengurusi mayat membusuk, menelisik tempat pembuangan kotoran, menyisir perkampungan prostitusi, pusat-pusat hiburan, sampai di gedung-gedung mewah tempat ìtikusî bersarang.  Cara kerjanya bahkan melebihi porsi malaikat karena dunia malaikat memiliki beragam spesialisasi. Ada pencatat perbuatan baik, buruk, penjaga surga, neraka, pencabut nyawa dan sebagainya.

Meski bekerja di luar zona nyaman, itu tentu pekerjaan mulia. Siapa lagi yang mau mengurus mayat yang sudah membusuk? Membongkar septic tank? Jika boleh tidak melakukan maka pasti tidak mau melakukan.  Karena itu, polisi tidak perlu berkecil hati saat terus dikritik. Karena sebenarnya masyarakat akan lebih ngeri lagi jika dunia hadir tanpa ada polisi. Ilustrasinya sederhana, bayangkan jika suatu hari ada kemacetan di pantura, lalu polisi tidak satu pun hadir.

Jadi, seberapa pun keras kritik kepada polisi pastilah bukan untuk meniadakan melainkan  lebih untuk mengembangkan. Dalam imajinasi saya, polisi masa depan adalah polisi cerdas yang bisa melihat tanpa mata, dan membaca tanpa tulisan. Bahkan, tahu sebelum kejadian.

Imajinasi saya itu tentu sebagai harapan bahwa kemampuan intelijen jajaran Polri suatu ketika menjadi sangat kuat, akurat, dan berdimensi luas. Kemampuan penginderaan inilah yang seharusnya diperkuat sejak hari ini. Dirgahayu Kepolisian Republik Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar