Selasa, 09 Juli 2013

Pilu Mesir, Bangga Indonesia

Pilu Mesir, Bangga Indonesia
Rohman Budijanto  ;    Wartawan Jawa Pos
JAWA POS, 08 Juli 2013



DEMOKRASI mati tunas di Mesir. Baru setahun tiga hari memimpin, Presiden Mohammad Mursi yang terpilih dengan aturan main demokratis, dikudeta. Pihak yang kalah pemilu, yang dulu menuntut demokrasi dari rezim Mubarak, dengan suka cita mengundang tentara menggebuk Mursi. Demokrasi menjadi selingan amat pendek di Mesir yang otoritarian sejak didirikan Firaun 6000 tahun lalu. 

Melihat kenyataan brutal di Mesir itu, kita layak berbangga kepada bangsa dan rakyat Indonesia. Demokrasi sudah berjalan hingga tahun ke-14 sejak Pak Harto lengser. Indonesia pernah mengalami demokrasi selama 14 tahun juga di awal kemerdekaan 1945 sampai 5 Juli 1959, ketika kekuasaan diambil Presiden Soekarno lewat dekrit. Lumayan dari 68 tahun kemerdekaan, kita sudah mengalami demokrasi 28 tahun. 

Ketika Hosni Mubarak yang gering tumbang pada 11 Februari 2011, kaum revolusioner tak mampu mengutak-atik kekuasaan Dewan Tertinggi Militer (SCAF) Mesir. Lembaga yang menjadi perwujudan "dwifungsi" militer ini tetap dipimpin Marsekal Husein Tantawi, kroni Mubarak. Tak heran, Tantawi mengalihkan kekuasaan kepresidenan dari Mubarak ke lembaga yang dipimpinnya ini. SCAF inilah yang menjadi dirijen dalam membuat aturan main pemilu presiden dan legislatif bersama kelompok revolusioner. Termasuk di dalamnya El Baradei, yang semasa memimpin IAEA, lembaga pengawas atom PBB, mendapat Nobel Perdamaian. 

Pemilu Juni 2012 dengan aturan main baru inilah yang menjadikan Mursi presiden. Doktor insinyur ini meraih suara 51,7 persen, mengalahkan Ahmed Shafik, perdana menteri terakhir Mubarak 48,3 persen. Semestinya kaum revolusioner gembira dengan hasil ini. Sebab, pemilu bisa mengakhiri rezim Mubarak. Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP), yang berafiliasi ke Ikhwanul Muslimin seperti Mursi, juga menang dengan 47,2 persen suara. 

Kemenangan Ikhwan ini wajar karena mereka merintis dan membangun organisasi sejak 90 tahun lalu. Berbeda dengan kaum revolusioner lain yang tak siap infrastruktur politik, meskipun mereka meminta pemilu. El Baradei, yang membentuk Partai Konstitusi, malah mundur dari pencapresan dan memboikot pemilu yang sudah disepakati partai dan kandidat lain. Lumayan, kini dia mendapat jabatan menteri kabinet kudeta. 

Berbeda benar dengan Indonesia. Setelah Pak Harto turun jabatan, salah satu agenda terpenting adalah mengakhiri dwifungsi ABRI. Jenderal reformis, seperti Agus Wijoyo, Agus Wirahadikusumah, Endriartono Sutarto, Slamet Supriyadi, Hari Sabarno, dan SBY, mendorong ABRI keluar dari politik. Dengan didukung momentum reformasi, pada 2004, berakhirlah Fraksi TNI-Polri di MPR dan DPR. Ini menandai TNI kembali ke barak dengan besar hati. 

Aturan main lain yang demokratis terus dibuat. UUD 45 diamandemen sampai empat kali. TNI dan Polri dipisahkan. Pemilu demokratis pun digelar. Meskipun banyak tokoh dan partai yang kecewa dengan hasil pemilu karena tak mendapat dukungan rakyat setinggi angannya, tak ada penolakan hasil yang keras, apalagi mengundang tentara turut campur. 

Semua mengakui, hasil pemilu tidak sempurna. Bahkan, yang terpilih bisa saja orang yang keliru secara integritas dan moral. Bad guys run faster, orang culas berlari lebih cepat, kata pimpinan LSM asing yang beroperasi di Indonesia. Tapi, tak ada alasan untuk menghentikan pemilu periodik. 

Siapa pun pemenang pemilu tak dibiarkan sewenang-wenang mengangkangi kekuasaan. Lahirlah berbagai lembaga anak kandung reformasi, seperti Mahkamah Konstitusi, berbagai Komisi Informasi Pusat, Komisi Penyiaran, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian Nasional, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Ombudsman RI, dan berbagai lembaga independen sebagai tempat mengadu publik. Agar pengisian personel lembaga-lembaga itu tidak cuma kehendak penguasa, dibuatlah mekanisme fit and proper test di DPR. 

Intinya, di tengah kebisingan aneka ketidaksabaran itu, sangat banyak orang pintar di Indonesia bekerja menuliskan dan membentuk aturan-aturan main demokrasi. Mereka bisa legislator, pejabat, akademikus, atau juga aktivis. Mereka melembagakan aspirasi-aspirasi reformasi. Tuntutan keterbukaan, akuntabilitas, dan transparansi, juga otonomi daerah, diwujudkan dalam aturan main formal dan kelembagaan. Mau tak mau, siapa pun pemimpinnya, ikut aturan main itu. 

Rakyat yang melek informasi dan berjejaring membuat suasana demokrasi kita seru dan hiruk pikuk. Publik juga mengembangkan refleks untuk menjaga roh reformasi yang tema pokoknya memberantas KKN. Betapa sering rakyat kita mengkritisi sekaligus membela KPK atau MK, misalnya. Di Mesir, kelompok yang kecewa hanya merongrong, tanpa berusaha melembagakan aturan main demokratis. Kekecewaan para pemrotes Mursi ini klop dengan kepentingan tentara. Apalagi, di awal kekuasaannya, Mursi berani memensiunkan Marsekal Tantawi yang berusia 77 tahun! (Jenderal Indonesia menaati UU, pensiun pada usia 58 tahun). Herannya, langkah berani ini tak mengesankan lawan Mursi. Yang terjadi malah tentara diundang beramai-ramai untuk menggulingkan Mursi. Musim semi Arab pun meranggas oleh kemarau kemarahan. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar