Selasa, 09 Juli 2013

Mengelola “Takdir” Gempa Abadi

Mengelola “Takdir” Gempa Abadi
Amien Widodo  ;    Ketua Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim
 ITS Surabaya
JAWA POS, 08 Juli 2013



GEMPA kembali mengejutkan masyarakat Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah, Nanggroe Aceh Darussalam, pada 2 Juli 2013 pukul 14.30. Gempa berkekuatan 6,2 skala Richter itu terjadi di daratan tengah Pulau Sumatera pada kedalaman 10 km. Gempa berada dan bersumber pada zona sesar Sumatera. Data sementara tercatat 35 orang tewas, 8 hilang, dan 275 luka-luka. Bencana itu mengakibatkan 4.292 rumah, 83 bangunan fasilitas umum, banyak infrastruktur rusak, dan juga menimbulkan longsor. Bangunan-bangunan itu terkesan tidak disiapkan menghadapi gempa sebesar tersebut.

Itu merupakan rangkaian gempa yang sudah berlangsung ratusan tahun. Kawasan patahan Sumatera memang aktif bergerak; di sisi bagian timur laut bergerak ke arah tenggara, sedangkan sisi yang lain bergerak ke barat laut. Patahan Sumatera memiliki 19 segmen di sepanjang Pulau Sumatera dengan panjang 1.900 km. Sejak 1892 hingga sekarang, telah terjadi 23 kali lebih gempa dengan skala di atas 6 SR di sana. Misalnya, gempa dan tsunami Aceh 2004, Nias 2005, dan gempa Padang 2009. 

Gempa memang salah satu fenomena alam yang datang tiba-tiba, tidak dapat diprediksi, tidak bisa dihindari, dan tidak bisa dijinakkan. Para ahli kebumian selalu mengingatkan bahwa secara geologis, Indonesia merupakan kawasan geotektonik aktif karena ditumbuk oleh tiga lempeng tektonik penimbul gempa hampir di seluruh wilayah tanah air kita. 

Penempatan satelit di angkasa dan teknologi GPS memungkinkan kita mengetahui kecepatan bergeraknya lempeng tektonik, yaitu 2-10 cm per tahun. Pada setiap pertemuan lempeng, akan timbul gempa, baik di permukaan maupun pada kedalaman tertentu. Karena lempeng aktif dan terus bergerak, gempa pun akan berulang dan terus berulang di kawasan yang sama. 

Kalau kita plot lokasi dan distribusi gempa di Indonesia, hampir seluruh wilayah Indonesia tertutup oleh gempa. Itulah kenyataan yang harus kita terima dan harus diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia. Lokasi gempa dengan skala terbesar dan waktu ulang yang pernah terjadi merupakan data penting untuk berbagai upaya mendesain bangunan dan mengurangi risiko bencana gempa di masa yang akan datang.

Gempa Tidak Membunuh 

Kadang-kadang dalam hati ini bertanya, mengapa gempa lagi dan korban lagi? Apa yang dilakukan pemerintah, atau lembaga penelitian, atau perguruan tinggi, atau masyarakat menyikapi masalah ini? Apakah masyarakat tidak tahu dan tidak pernah diberi tahu bahwa mereka bermukim di kawasan rawan gempa merusak? 

Kita tengok sikap antisipatif negara lain yang rawan gempa. Pemerintah dan ilmuwan Jepang menganggap gempa adalah masalah serius bangsa. Karena itu, harus dicari pemecahannya. Dengan begitu, saat terjadi gempa lagi, korban manusia bisa dikurangi. Mereka melakukan mitigasi struktural dengan rekayasa bangunan dan fondasi tahan gempa. Mereka membuat sistem peringatan dini. Mereka juga melatih masyarakatnya, mulai TK hingga manula. Mereka sangat meng­hargai nyawa rakyatnya. Banyak pelajaran yang bisa ditiru dari langkah pemerintah, imuwan, dan kesadaran masyarakat Jepang tersebut.

Gempa tidak membunuh, tapi ketidaktahuan bisa membuat kita terbunuh.  Ketidaktahuan mengakibatkan akal tidak berjalan normal sehingga saat terjadi gempa malah panik dan bingung. Seperti yang pernah terjadi saat gempa di Sumbermanjing Wetan, Kabupaten Malang, seorang bapak mau mengevakuasi anaknya, tapi yang terbawa dan digendong keluar adalah bantal guling, sedangkan anaknya tertinggal di rumah. Demikian juga, saat terjadi air laut tiba-tiba surut dan terlihat ikan besar menggelepar-gelepar, nelayan Aceh Besar berebut menuju ke pantai mengambil ikan sehingga korban tsunami 2004 sangat banyak. Kejadian tersebut terulang lagi saat terjadi tsunami di Pangandaran 2007. 

Ketidaktahuan juga mengakibatkan percaya kepada rumor, bukan ilmu. Misalnya, rumor tsunami lima jam setelah gempa Jogja sehingga terjadi histeria massa dan chaos yang luar biasa. Banyak masyarakat Jogja seperti tidak pernah diberi tahu bahwa mereka bermukim di kawasan rawan gempa. Sudah sepantasnya masyarakat Indonesia umumnya, dan masyarakat Sumatera khususnya, menempatkan ''takdir'' gempa sebagai bagian dari kehidupan mereka. Agar bisa segera menjadi bagian kehidupan mereka, pengurangan risiko bencana gempa harus dijadikan salah satu program prioritas dalam perencanaan pembangunan dengan segala dana dan sumber daya yang dimiliki untuk mendukung itu. Tanpa perencanaan yang matang, ikhtiar pembangunan kita bisa sia-sia oleh gempa sesaat. 

Perkenalkan ke segenap kalangan langkah-langkah mitigasi, memperkenalkan tentang gempa dan cara-cara penyelamatan. Kemudian, melakukan penilaian kerentanan bangunan dan infrastruktur yang ada di wilayah rawan gempa untuk diperbaiki atau diperkuat. Harapan lebih jauh terbangun budaya keselamatan sehingga terbangun masyarakat antisipatif dan tangguh menghadapi berbagai bencana. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar