|
JAWA
POS, 06 Juli 2013
MINUMAN keras (miras)
memang memberikan efek bagi peminumnya untuk merasa percaya diri, bertenaga,
dan bersemangat. Namun, kenikmatan itu sesungguhnya akan berujung pada aneka
kesengsaraan. Syukurlah, ada kabar baik menjelang Ramadan terkait dengan
ikhtiar perang terhadap miras. Berkat pengajuan judicial
review Front
Pembela Islam (FPI), Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3/1997 telah dicabut
dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Mahkamah Agung (MA) sejak 4 Juli, dua
hari lalu.
Selain narkoba, korban miras memang kian berjatuhan dan peredarannya kian marak hingga ke pelosok. Ketersediaan miras kini dapat ditemui dengan mudah di sejumlah minimarket meski produk tersebut dinyatakan memiliki kadar alkohol kurang dari 5 persen dan masuk kategori A. Padahal, jelas semua kategori miras tidak diperbolehkan dijual bebas.
Keppres Nomor 3/1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol berlaku sejak diteken Presiden Soeharto pada 31 Januari 1997. Di dalam keppres itu ada pasal yang memberikan ruang bagi peredaran miras. Keppres tersebut membolehkan miras kategori B dan C yang kandungan alhoholnya lebih dari 5 persen dapat beredar di hotel, restoran, bar, dan tempat tertentu.
Hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi legitimasi peraturan daerah (perda) yang lebih tegas dalam memberantas miras. Alasan FPI mengajukan gugatan bermula dari kebijakan Kemendagri yang "menegur" perda-perda antimiras di beberapa wilayah karena dianggap bertentangan dengan keppres itu. Kini daerah punya keleluasaan menertibkan miras dengan perda demi melindungi masyarakat.
Lalu, mengapa miras selalu mendapatkan tempat di hati penggemarnya meski terbukti banyak menimbulkan dampak negatif di bidang sosial, psikologi, maupun kesehatan? Lalu, bagaimana dengan miras yang memiliki kandungan alkohol rendah atau kurang dari 5 persen v/v sebagaimana yang banyak dijual bebas, apakah tidak berbahaya?
Kandungan alkohol dalam miras memberikan efek farmakologi yang mendepresi pusat hambatan di sistem saraf pusat sehingga menimbulkan efek stimulasi. Para peminumnya akan merasakan kepercayaan diri yang meningkat, lebih bertenaga, dan lebih bersemangat. Fakta itu pada gilirannya menimbulkan perasaan nikmat bagi yang meminumnya, selain keberadaan alkohol yang menimbulkan rasa ketergantungan itu tersendiri.
Mereka yang pernah coba-coba akhirnya menjadi ketagihan dan sulit meninggalkan. Mereka yang mencoba berhenti akhirnya harus mengalami gejala putus alkohol yang tidak mengenakkan seperti gemetar, mual, lemah, gelisah, dan berkeringat. Gejala-gejala itu barulah akan segera hilang setelah mereka meminumnya lagi.
Nikmat Membawa Sengsara
Terkait dengan pemahaman masyarakat bahwa miras dengan kandungan alkohol kurang dari 5 persen itu tidak berbahaya, itu tidak benar. Coba disimak! Dengan asumsi 1 gelas setara dengan 220 ml, 1 gelas miras berarti mengandung 11 ml alkohol. Jumlah itu sebenarnya sama dengan miras berkadar alkohol 10 persen v/v sebanyak setengah gelas.
Yang perlu diperhatikan di sini bukan sekadar konsentrasi alkoholnya, tetapi juga jumlah volume yang diminum. Walaupun konsentrasinya kecil, jika minumnya banyak, dampaknya akan sama saja dengan miras berakohol tinggi dalam jumlah kecil.
Lalu, bagaimana kalau minum miras dengan konsentrasi rendah dalam jumlah sedikit? Ya, perlu diketahui bahwa alkohol memiliki efek toleransi. Bila pada awalnya dengan satu gelas sudah dapat menimbulkan efek farmakologis, jumlah satu gelas itu tidak akan menjadi terasa cukup lagi setelah efek toleransi muncul. Itulah yang akan mendorong orang yang sudah mencicipi alkohol untuk minum lebih banyak lagi. Pecandunya seperti kian "haus" alkohol.
Selain efek farmakologis yang tampaknya "nikmat" bagi yang mengonsumsi, sesungguhnya ujung dari minuman itu adalah bahaya bagi kesehatan. Pertama, alkohol mengakibatkan gangguan konsentrasi dan menghilangkan sikap mawas diri. Karena itulah, muncul larangan mengemudi setelah minum alkohol.
Kedua, terdapat efek samping yang muncul, yaitu berkurangnya kualitas tidur dan terjadi rangsangan terhadap sekresi asam lambung. Ketiga, bagi ibu-ibu yang sedang hamil, alkohol bisa menimbulkan efek teratogenik yang dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan cacat (IQ rendah, mikrosefali, dan pertumbuhan lambat).
Keempat, alkohol dapat mengakibatkan kerusakan hati. Istilah klinisnya adalah perlemakan hati (fatty liver). Alkohol yang dapat mengakibatkan triasilgliserol itu berakumulasi di hati. Perlemakan hati yang ekstensif dapat dianggap sebagai suatu keadaan patologik. Jika akumulasi lipid di hati berlangsung kronis, sel hati akan mengalami fibrosis yang kemudian dapat berlanjut menjadi gangguan faal hati dan bahkan sirosis. Apa itu sirosis? Kalau orang tua kita dulu pernah cerita tentang santet, gejala sirosis sebenarnya mirip dengan orang yang kena santet. Perut membesar, muntah darah, dan buang air besar (BAB)-nya seperti lumpur. Kalau sampai terjadi seperti itu, penanganan secara klinis sudah sulit sekali untuk dilakukan.
Kelima, alkohol dapat menghambat metabolisme beberapa obat. Misalnya, barbiturat dan obat-obat lain yang bersaing untuk enzim yang bergantung pada sitokrom P450. Hal itulah yang menjelaskan mengapa ketika alkohol diminum bersama dengan obat atau bahan yang lain (miras oplosan) sering mengakibatkan keracunan.
Jelas, korban miras oplosan tidak hanya berada di perkotaan, tetapi sudah merambah ke daerah dan pedesaan. Untuk itu, layak kalau daerah diberi keleluasaan memeranginya lewat perda. Apalagi, yang sangat memprihatinkan ialah sebagian besar korban miras adalah para pemuda harapan bangsa. Yang lebih menyedihkan lagi, yang biasanya dijadikan tersangka adalah penyedia miras oplosan. Tapi, pabrik miras dan distributornya malah dilindungi hukum. Ironis, bukan? ●
Selain narkoba, korban miras memang kian berjatuhan dan peredarannya kian marak hingga ke pelosok. Ketersediaan miras kini dapat ditemui dengan mudah di sejumlah minimarket meski produk tersebut dinyatakan memiliki kadar alkohol kurang dari 5 persen dan masuk kategori A. Padahal, jelas semua kategori miras tidak diperbolehkan dijual bebas.
Keppres Nomor 3/1997 tentang Pengendalian Minuman Beralkohol berlaku sejak diteken Presiden Soeharto pada 31 Januari 1997. Di dalam keppres itu ada pasal yang memberikan ruang bagi peredaran miras. Keppres tersebut membolehkan miras kategori B dan C yang kandungan alhoholnya lebih dari 5 persen dapat beredar di hotel, restoran, bar, dan tempat tertentu.
Hal tersebut tentu menjadi ancaman bagi legitimasi peraturan daerah (perda) yang lebih tegas dalam memberantas miras. Alasan FPI mengajukan gugatan bermula dari kebijakan Kemendagri yang "menegur" perda-perda antimiras di beberapa wilayah karena dianggap bertentangan dengan keppres itu. Kini daerah punya keleluasaan menertibkan miras dengan perda demi melindungi masyarakat.
Lalu, mengapa miras selalu mendapatkan tempat di hati penggemarnya meski terbukti banyak menimbulkan dampak negatif di bidang sosial, psikologi, maupun kesehatan? Lalu, bagaimana dengan miras yang memiliki kandungan alkohol rendah atau kurang dari 5 persen v/v sebagaimana yang banyak dijual bebas, apakah tidak berbahaya?
Kandungan alkohol dalam miras memberikan efek farmakologi yang mendepresi pusat hambatan di sistem saraf pusat sehingga menimbulkan efek stimulasi. Para peminumnya akan merasakan kepercayaan diri yang meningkat, lebih bertenaga, dan lebih bersemangat. Fakta itu pada gilirannya menimbulkan perasaan nikmat bagi yang meminumnya, selain keberadaan alkohol yang menimbulkan rasa ketergantungan itu tersendiri.
Mereka yang pernah coba-coba akhirnya menjadi ketagihan dan sulit meninggalkan. Mereka yang mencoba berhenti akhirnya harus mengalami gejala putus alkohol yang tidak mengenakkan seperti gemetar, mual, lemah, gelisah, dan berkeringat. Gejala-gejala itu barulah akan segera hilang setelah mereka meminumnya lagi.
Nikmat Membawa Sengsara
Terkait dengan pemahaman masyarakat bahwa miras dengan kandungan alkohol kurang dari 5 persen itu tidak berbahaya, itu tidak benar. Coba disimak! Dengan asumsi 1 gelas setara dengan 220 ml, 1 gelas miras berarti mengandung 11 ml alkohol. Jumlah itu sebenarnya sama dengan miras berkadar alkohol 10 persen v/v sebanyak setengah gelas.
Yang perlu diperhatikan di sini bukan sekadar konsentrasi alkoholnya, tetapi juga jumlah volume yang diminum. Walaupun konsentrasinya kecil, jika minumnya banyak, dampaknya akan sama saja dengan miras berakohol tinggi dalam jumlah kecil.
Lalu, bagaimana kalau minum miras dengan konsentrasi rendah dalam jumlah sedikit? Ya, perlu diketahui bahwa alkohol memiliki efek toleransi. Bila pada awalnya dengan satu gelas sudah dapat menimbulkan efek farmakologis, jumlah satu gelas itu tidak akan menjadi terasa cukup lagi setelah efek toleransi muncul. Itulah yang akan mendorong orang yang sudah mencicipi alkohol untuk minum lebih banyak lagi. Pecandunya seperti kian "haus" alkohol.
Selain efek farmakologis yang tampaknya "nikmat" bagi yang mengonsumsi, sesungguhnya ujung dari minuman itu adalah bahaya bagi kesehatan. Pertama, alkohol mengakibatkan gangguan konsentrasi dan menghilangkan sikap mawas diri. Karena itulah, muncul larangan mengemudi setelah minum alkohol.
Kedua, terdapat efek samping yang muncul, yaitu berkurangnya kualitas tidur dan terjadi rangsangan terhadap sekresi asam lambung. Ketiga, bagi ibu-ibu yang sedang hamil, alkohol bisa menimbulkan efek teratogenik yang dapat mengakibatkan anak yang dilahirkan cacat (IQ rendah, mikrosefali, dan pertumbuhan lambat).
Keempat, alkohol dapat mengakibatkan kerusakan hati. Istilah klinisnya adalah perlemakan hati (fatty liver). Alkohol yang dapat mengakibatkan triasilgliserol itu berakumulasi di hati. Perlemakan hati yang ekstensif dapat dianggap sebagai suatu keadaan patologik. Jika akumulasi lipid di hati berlangsung kronis, sel hati akan mengalami fibrosis yang kemudian dapat berlanjut menjadi gangguan faal hati dan bahkan sirosis. Apa itu sirosis? Kalau orang tua kita dulu pernah cerita tentang santet, gejala sirosis sebenarnya mirip dengan orang yang kena santet. Perut membesar, muntah darah, dan buang air besar (BAB)-nya seperti lumpur. Kalau sampai terjadi seperti itu, penanganan secara klinis sudah sulit sekali untuk dilakukan.
Kelima, alkohol dapat menghambat metabolisme beberapa obat. Misalnya, barbiturat dan obat-obat lain yang bersaing untuk enzim yang bergantung pada sitokrom P450. Hal itulah yang menjelaskan mengapa ketika alkohol diminum bersama dengan obat atau bahan yang lain (miras oplosan) sering mengakibatkan keracunan.
Jelas, korban miras oplosan tidak hanya berada di perkotaan, tetapi sudah merambah ke daerah dan pedesaan. Untuk itu, layak kalau daerah diberi keleluasaan memeranginya lewat perda. Apalagi, yang sangat memprihatinkan ialah sebagian besar korban miras adalah para pemuda harapan bangsa. Yang lebih menyedihkan lagi, yang biasanya dijadikan tersangka adalah penyedia miras oplosan. Tapi, pabrik miras dan distributornya malah dilindungi hukum. Ironis, bukan? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar