|
KORAN
SINDO, 06 Juli 2013
Ada kalanya media massa
memberitakan sesuatu secara tidak tepat sehingga menimbulkan opini tertentu
yang bukan dimaksudkan oleh narasumbernya.
Penyebabnya bisa karena salah tangkap, bisa juga karena sengaja untuk menggiringnya ke opini tertentu. Ini sering kali menimpa saya meski lebih banyak yang tak saya pedulikan. Sebab, semakin akan diluruskan, kerap kali semakin berbelok ke mana-mana. Beberapa waktu lalu, misalnya, dalam seminar di HUT Koran Jakarta saya mengatakan bahwa ada kemajuan-kemajuan di negara kita jika dilihat dari kacamata internasional. Makroekonomi kita diakui kemajuannya, indeks persepsi demokrasi membaik, pelanggaran HAM berat tidak ada lagi yang menggemparkan. Akan tetapi, di dalam negeri, kita bisa mengajukan kritikan.
Meski pelanggaran HAM berat yang bersifat vertikal sudah tidak ada, pelanggaran HAM antarwarga negara secara horizontal semakin masif. Begitu pun penegakan hukum tetap lemah baik dalam arti penyelesaian perkara di pengadilan maupun dalam pelaksanaan peraturan pada birokrasi pemerintahan sehari-hari. Birokrasi kita masih tetap korup, banyak aturan di birokrasi kita yang bukan dipakai untuk melayani, tetapi digunakan untuk mengambil keuntungan oleh para birokratnya.
Setiap pemerintahan sejak awal zaman Reformasi, yakni sejak zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai zaman SBY, gagal membenahi birokrasi. Tapi ada media yang menulis berita dari materi seminar saya itu dengan judul, ”Pemerintahan SBY Gagal Mengelola Pemerintahan”. Berita seperti itu sangat tendensius menyerang SBY karena dua hal.
Pertama, menyebut bahwa yang gagal memperbaiki birokrasi adalah pemerintahan SBY, padahal saya menyebut semua pemerintahan sejak zaman Reformasi. Lebih parah lagi perkataan ”gagal membenahi birokrasi” diganti dengan ”gagal mengelola pemerintahan”. Kedua, berita itu membuang sama sekali penjelasan saya tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai Indonesia jika dilihat dari dunia internasional. Kesan yang timbul, saya melempar sensasi politik untuk menyerang SBY.
Yang terbaru adalah pemberitaan tentang konvensi Partai Demokrat yang dikaitkan dengan pernyataan saya juga. Ada judul berita ”Mahfud Mulai Ragu Ikut Konvensi Demokrat”, ada juga judul ”Mahfud Curigai Konvensi Partai Demokrat”. Judul-judul berita itu tak menggambarkan fakta dan maksud keterangan saya yang dihadang secara doorstop di luar pintu Hotel Arya Duta.
Tak benar saya ”mulai” ragu ikut konvensi Partai Demokrat, sebab sejak awal saya tak pernah menyatakan mantap ikut konvensi itu. Yang saya katakan saat itu adalah saya belum memutuskan ”ikut” atau ”tidak ikut”, tergantung pada bagaimana aturannya kelak. Kalau saya mau ikut, misalnya, harus mendaftar ke mana dan membawa persyaratan apa? Kalau saya mau ikut, apa hak dan kewajiban antara saya dan partai? Bagaimana kalau seorang sudah menang konvensi capres, tapi berdasarkan hasil pemilu kelak partai tak bisa leluasa mengajukan capres sendiri?
Itu semua belum jelas aturannya sehingga belum bisa disikapi secara final. Itulah sebabnya saya katakan, kita tunggu dulu bagaimana aturan yang akan dikeluarkan Partai Demokrat. Tapi ada media yang menulis ”Mahfud Mulai Ragu”, padahal bukan ”mulai”, melainkan sejak awal belum pernah mantap. Tak benar juga kalau dikatakan saya mencurigai Partai Demokrat.
Saya hanya mengatakan bahwa saya mendapat saran dari beberapa teman untuk tak ikut konvensi Partai Demokrat karena beberapa alasan. Misalnya beredarnya isu bahwa sebenarnya Partai Demokrat sudah punya calon yang akan dimenangkan sehingga konvensi itu hanya formalitas untuk memberi panggung bagi seseorang. Kalau memang begitu, untuk apa ikut konvensi? Tapi saya katakan juga bahwa banyak teman yang mendorong saya untuk mengikuti konvensi itu karena Partai Demokrat pasti takkan main-main dengan konvensi itu.
Jadi yang saya lontarkan adalah perhitungan-perhitungan politik yang wajar dan bukan kecurigaan. Bagi saya sendiri konvensi atau primary election itu merupakan ide cemerlang yang harus diapresiasi karena memberi jalan keluar bagi sumbatan politik yang sering dimunculkan dari Pasal 6A UUD 1945. Dengan konvensi itu orang yang tak punya partai bisa ikut berkontestasi dalam pilpres, tetapi tetap melalui parpol sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Itu ide cerdas yang bagus bukan hanya bagi Partai Demokrat, tetapi juga bagi perkembangan demokrasi di masa depan. Ada baiknya untuk masa sesudah tahun 2014, UU Pilpres mewajibkan parpol menyelenggarakan primary election secara objektif untuk menjaring calon presiden dari aspirasi rakyat. Kembali ke isu semula, kerap kali pers mengambil berita dari saya secara tak sesuai dengan fakta dan tujuan substansinya.
Tapi saya sendiri merasa tak perlu mengklarifikasi secara terusmenerus. Saya biarkan sejauh tak diperkarakan ke pengadilan opini atau ranah hukum. Saya tidak mempunyai hak dan merasa harus membiarkan serta tak boleh mengintervensi pers untuk membangun opini sendiri. Mungkin pers ingin menyampaikan ”kritik kepada SBY”, tapi menggunakan potongan- potongan atau pemelesetan pernyataan dari narasumber yang kemudian lepas dari konteksnya. Itu tanggung jawab pers sendiri. Tulisan ini pun bukan klarifikasi atau komplain saya kepada pers, melainkan sekadar refleksi. ●
Penyebabnya bisa karena salah tangkap, bisa juga karena sengaja untuk menggiringnya ke opini tertentu. Ini sering kali menimpa saya meski lebih banyak yang tak saya pedulikan. Sebab, semakin akan diluruskan, kerap kali semakin berbelok ke mana-mana. Beberapa waktu lalu, misalnya, dalam seminar di HUT Koran Jakarta saya mengatakan bahwa ada kemajuan-kemajuan di negara kita jika dilihat dari kacamata internasional. Makroekonomi kita diakui kemajuannya, indeks persepsi demokrasi membaik, pelanggaran HAM berat tidak ada lagi yang menggemparkan. Akan tetapi, di dalam negeri, kita bisa mengajukan kritikan.
Meski pelanggaran HAM berat yang bersifat vertikal sudah tidak ada, pelanggaran HAM antarwarga negara secara horizontal semakin masif. Begitu pun penegakan hukum tetap lemah baik dalam arti penyelesaian perkara di pengadilan maupun dalam pelaksanaan peraturan pada birokrasi pemerintahan sehari-hari. Birokrasi kita masih tetap korup, banyak aturan di birokrasi kita yang bukan dipakai untuk melayani, tetapi digunakan untuk mengambil keuntungan oleh para birokratnya.
Setiap pemerintahan sejak awal zaman Reformasi, yakni sejak zaman Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati sampai zaman SBY, gagal membenahi birokrasi. Tapi ada media yang menulis berita dari materi seminar saya itu dengan judul, ”Pemerintahan SBY Gagal Mengelola Pemerintahan”. Berita seperti itu sangat tendensius menyerang SBY karena dua hal.
Pertama, menyebut bahwa yang gagal memperbaiki birokrasi adalah pemerintahan SBY, padahal saya menyebut semua pemerintahan sejak zaman Reformasi. Lebih parah lagi perkataan ”gagal membenahi birokrasi” diganti dengan ”gagal mengelola pemerintahan”. Kedua, berita itu membuang sama sekali penjelasan saya tentang kemajuan-kemajuan yang dicapai Indonesia jika dilihat dari dunia internasional. Kesan yang timbul, saya melempar sensasi politik untuk menyerang SBY.
Yang terbaru adalah pemberitaan tentang konvensi Partai Demokrat yang dikaitkan dengan pernyataan saya juga. Ada judul berita ”Mahfud Mulai Ragu Ikut Konvensi Demokrat”, ada juga judul ”Mahfud Curigai Konvensi Partai Demokrat”. Judul-judul berita itu tak menggambarkan fakta dan maksud keterangan saya yang dihadang secara doorstop di luar pintu Hotel Arya Duta.
Tak benar saya ”mulai” ragu ikut konvensi Partai Demokrat, sebab sejak awal saya tak pernah menyatakan mantap ikut konvensi itu. Yang saya katakan saat itu adalah saya belum memutuskan ”ikut” atau ”tidak ikut”, tergantung pada bagaimana aturannya kelak. Kalau saya mau ikut, misalnya, harus mendaftar ke mana dan membawa persyaratan apa? Kalau saya mau ikut, apa hak dan kewajiban antara saya dan partai? Bagaimana kalau seorang sudah menang konvensi capres, tapi berdasarkan hasil pemilu kelak partai tak bisa leluasa mengajukan capres sendiri?
Itu semua belum jelas aturannya sehingga belum bisa disikapi secara final. Itulah sebabnya saya katakan, kita tunggu dulu bagaimana aturan yang akan dikeluarkan Partai Demokrat. Tapi ada media yang menulis ”Mahfud Mulai Ragu”, padahal bukan ”mulai”, melainkan sejak awal belum pernah mantap. Tak benar juga kalau dikatakan saya mencurigai Partai Demokrat.
Saya hanya mengatakan bahwa saya mendapat saran dari beberapa teman untuk tak ikut konvensi Partai Demokrat karena beberapa alasan. Misalnya beredarnya isu bahwa sebenarnya Partai Demokrat sudah punya calon yang akan dimenangkan sehingga konvensi itu hanya formalitas untuk memberi panggung bagi seseorang. Kalau memang begitu, untuk apa ikut konvensi? Tapi saya katakan juga bahwa banyak teman yang mendorong saya untuk mengikuti konvensi itu karena Partai Demokrat pasti takkan main-main dengan konvensi itu.
Jadi yang saya lontarkan adalah perhitungan-perhitungan politik yang wajar dan bukan kecurigaan. Bagi saya sendiri konvensi atau primary election itu merupakan ide cemerlang yang harus diapresiasi karena memberi jalan keluar bagi sumbatan politik yang sering dimunculkan dari Pasal 6A UUD 1945. Dengan konvensi itu orang yang tak punya partai bisa ikut berkontestasi dalam pilpres, tetapi tetap melalui parpol sesuai dengan ketentuan UUD 1945.
Itu ide cerdas yang bagus bukan hanya bagi Partai Demokrat, tetapi juga bagi perkembangan demokrasi di masa depan. Ada baiknya untuk masa sesudah tahun 2014, UU Pilpres mewajibkan parpol menyelenggarakan primary election secara objektif untuk menjaring calon presiden dari aspirasi rakyat. Kembali ke isu semula, kerap kali pers mengambil berita dari saya secara tak sesuai dengan fakta dan tujuan substansinya.
Tapi saya sendiri merasa tak perlu mengklarifikasi secara terusmenerus. Saya biarkan sejauh tak diperkarakan ke pengadilan opini atau ranah hukum. Saya tidak mempunyai hak dan merasa harus membiarkan serta tak boleh mengintervensi pers untuk membangun opini sendiri. Mungkin pers ingin menyampaikan ”kritik kepada SBY”, tapi menggunakan potongan- potongan atau pemelesetan pernyataan dari narasumber yang kemudian lepas dari konteksnya. Itu tanggung jawab pers sendiri. Tulisan ini pun bukan klarifikasi atau komplain saya kepada pers, melainkan sekadar refleksi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar