Selasa, 09 Juli 2013

Pemilik Warung pun Berpuasa

Pemilik Warung pun Berpuasa
Mohamad Sobary  ;    Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia, untuk Advokasi, Mediasi, dan Promosi
KORAN SINDO, 08 Juli 2013



Bismillah, kita menyiapkan diri menyambut kedatangan bulan suci Ramadan. Pada akhir bulan Ramadan tahun lalu, kita memohon dengan tangis kekhusyukan, yang tulus dari lubuk hati, agar Allah memperkenankan kita untuk bertemu lagi dengan Ramadan tahun depan. 

Pada tahun depan itu, artinya saat ini, kenyataan memperlihatkan, kita dipertemukanNya betul dengan bulan Ramadan itu. Lalu kita bersyukur. Kemudian berpuasa lagi. Berpuasa itu istimewa, tapi sekaligus tidak istimewa sama sekali. Dia istimewa karena ibadah yang satu ini khusus buat Allah, bukan buat kita sendiri. Karena itu, kita menganggap puasa sebagai “persembahan” kita pada Allah. Ini istimewa. Kalau orang biasa mendapat perintah dari Sinuwun Sudi Silalahi agar mempersembahkan sekuntum bunga bagi Presiden pada hari ulang tahunnya, orang biasa itu pasti menjadi istimewa mendadak. 

Terutama di mata media yang haus akan sensasi dan segenap keistimewaan. Lebih-lebih lagi kita diminta “mempersembahkan” puasa kepada Allah, Presiden Maha Presiden, Rajanya Para Maha Raja Diraja, yang bakal merajai hari kemudian ketika semua presiden, semua maharaja diraja, tidak ada lagi. Puasa bisa kita sebut biasabiasa saja dan di dalamnya tidak ada yang istimewa. Pertama, bukankah puasa itu hanya gambaran terkabulnya doa kita sendiri? Jadi bukankah kita sendiri yang memintanya? 

Di sini seolah Allah tidak menugaskannya pada kita karena kita sudah memintanya. Lagi pula, bukankah puasa itu sudah pula ditugaskan bagi umat manusia, jauh sebelum zaman Gusti Kanjeng Nabi Muhammad menjadi nabi dan rasulullah? Kalau tiap umat, dari setiap zaman berpuasa, kita tahu, berpuasa itu memang menjadi bagian dari kemanusiaan kita sendiri. Itu namanya tugas asasi setiap manusia. Maka marilah kita hayati secara seksama dengan keikhlasan seikhlasikhlasnya, bahwa—sekali lagi—berpuasa itu tugas kemanusiaan kita sendiri. Maka, apa urusannya kita meminta orang lain bersikap sopan kepada kita hanya karena kita sedang berpuasa? 

Allah akan memberikan balasan pada kita. Balasan itu akan kita nikmati sendiri. Apa urusannya orang lain kita suruh menghormati puasa kita? Selama ini cara yang kita harapkan agar mereka menghormati kita ialah tidak makan, minum, merokok, atau pekerjaan lain yang dianggap “mengganggu” kita. Dunia ini sudah lama terbentang, di dalamnya banyak sekali gangguan. 

Sejak dulu dunia sudahbegitu. Allahmemangmenugaskan kita di bumi yang begitu banyak godaannya itu. Ini pasti ada maknanya. Godaan membuat kita punya puasa lebih bermakna. Di sana perjuangan kita lebih terasa. Kalau kita berpuasa di dalam gua-gua yang sunyi sepi, yang tak ada godaan, puasa yang berlangsung tanpa godaan, mungkin akan terasa hampa, datar, dan capaian rohaniah kita mungkin lalu tak bermakna. 

Kalau begitu, mengapa kita tidak berdoa, memohon pada Allah, agar tugas berpuasa itu ditunda kelak, di surga saja, ketika komunitas di dalamnya terdiri atas semua orang yang berpuasa? Mengapa Allah menugaskan kita berpuasa sekarang? Pastilah—sekali lagi—semua ini ada maknanya. Allah menghendaki puasa di bumi yang panas, penuh sesak, penuh godaan ini. Ini tak usah ditawar. Bagi kita sendiri, berpuasa sebagai bagian dari kemanusiaan kita sendiri berarti bahwa apa pun yang terjadi, kita berpuasa. Di dunia sedang terjadi perang besar, satu bangsa melawan beberapa bangsa yang siap membunuh mereka, kita berpuasa. 

Bila kita sendiri terlibat di dalam pertempuran, kalau kuat, kita juga harus berpuasa terus. Di luar masjid ada bom—meskipun hal ini jarang terjadi— kita tetap berpuasa. Tetangga kita sedang berpesta pora, dan kita diundang, kita berpuasa. Kita memang datang menghormati tetangga itu, tapi puasa kita tetap jalan karena puasa memang—sekali lagi—merupakan bagian dari kemanusiaan kita sendiri. Maukah makna kemanusiaan kita dikurangi sebagian sehingga kemanusiaan kita tidak lengkap? 

Jawabnya, kita pasti tidak mau. Kalau bom meledak pun kita berpuasa, mengapa kita risau ketika kita melihat tukang soto lewat, tukang gado-gado lewat, tukang bakso lewat, atau warung-warung buka pada siang hari? Para pemilik warung dan pedagang- pedagang kecil seperti itu miskin dan hidup dalam kesulitan ekonomi. Mengapa kita tidak membuat suatu langkah agar mereka berkecukupan secara ekonomi? Mengapa kita yang kaya tak menolong mereka sama sekali? 

Bukankah kita, sesama muslimin dan muslimat, baku saudara satu sama lain? Mengapa kita tak mengayomi kehidupan ekonomi mereka? Mengapa kita malah melarang mereka membuka usaha, yang sangat kecil, sangat terbatas? Mereka membuka warung dan di siang hari berdagang semata karena agar nanti sore mereka juga bisa berbuka puasa. Kita tahu mereka itu juga kaum muslimin dan muslimat. Para pemilik warung dan pedagangpedagang kecil itu juga seperti kita: mereka pun berpuasa. 

Dalam agama, bila keadaan sangat mendesak, mencuri tak dianggap dosa. Ini bila benarbenar mendesak, darurat, demi menyambung hidup dan kehidupan yang bersangkutan. Pemilik warung dan para pedagang kecil itu orang-orang— muslimin dan muslimat—yang hidupnya terdesak permanen, dari tahun ke tahun, sepanjang masa, hidup terdesak. Negara, pemerintah, telah zalim terhadap mereka. Lalu karena keterdesakannya, para tokoh agama melarang mereka berusaha, buka warung di siang hari. 

Lantas siapa yang harus memberi mereka perlindungan, bila umara dan ulama sudah satu sikap, satu bahasa, menekan mereka? Kalau mereka ber-kecukupan seperti kita, saya yakin, niscaya mereka lebih suka tidur di masjid-masjid dari tengah hari sampai sore. Saya yakin mereka akan merasa lebih suka memanjakan diri di tempat-tempat nyaman, dan tak perlu kerja keras berdagang di siang hari. Mereka juga ngiler mendengar ajaran bahwa di dalam berpuasa, tidur pun dianggap ibadah. Mereka akan memilih “ibadah” dengan tidur macam itu, tapi mereka tak pernah memiliki kemewahan tersebut. 

Maka itu, mereka pun terpaksa membuka warung. Kita memberi makna, itu ibadah sejati. Mereka berpuasa dan bekerja keras agar bisa terus berpuasa. Mereka bukan setan penggoda. Mereka satu iman satu agama dengan kita dan mereka sedang mencoba menjadi orang iman sejati, yang bekerja dan bukan tidur pada siang hari. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar