|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Shin (57) bergegas mengemasi
barang-barangnya. Kapal Motor Tidar sudah tiba di Pelabuhan Yos Sudarso, Ambon,
Maluku, dan akan segera berangkat ke Banda dan Tual. Tidak mudah bagi perempuan setengah
baya ini untuk bisa naik ke kapal itu. Sambil membawa barang-barang, dia harus
berdesak-desakan dengan penumpang lainnya agar bisa mendapatkan secuil ruang di
kapal yang bakal penuh sesak itu.
Perjalanan dengan kapal di Maluku
jangan dibayangkan seperti naik kapal pesiar yang serba bersih, nyaman, aman,
dan teratur. Semua bayangan itu masih sedikit tersisa di kamar kelas I. Adapun
untuk kelas-kelas di bawah itu penumpang harus bisa berdamai dengan kondisi
yang ada.
”Jika saja ada pesawat terbang yang
bisa mengangkut kami, kami lebih memilih pesawat terbang. Namun, di sini jarang
ada pesawat terbang,” kata Shin.
Kapal merupakan pilihan
satu-satunya infrastruktur transportasi yang bisa diandalkan di Indonesia
timur. Pesawat terbang memang tersedia, tetapi jadwalnya sangat tidak
pasti karena bergantung pada kondisi cuaca. Kondisi ini tentu saja menyulitkan
masyarakat dan pengembangan pariwisata yang sebenarnya menjadi potensi yang
sangat besar bagi kawasan ini.
Persoalan infrastruktur tidak hanya
menjadi persoalan di kawasan Indonesia timur. Secara keseluruhan, infrastruktur
menjadi persoalan besar yang menghambat pertumbuhan Indonesia.
Dalam indeks daya saing global yang
dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia, Indonesia menempati posisi ke-78 dari 144
negara di bidang ketahanan infrastruktur. Rendahnya ketahanan infrastruktur
Indonesia membuat pertumbuhan Indonesia tidak bisa maksimal.
Jika infrastruktur di Indonesia
baik, diperkirakan pertumbuhan Indonesia bisa mencapai 9-10 persen. Saat ini
karena keterbatasan infrastruktur, pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 6,0
hingga 6,5 persen.
Bank Dunia juga mencatat
pertumbuhan Indonesia akan terhambat jika pemerintah tidak memberikan fokus
yang mendalam pada persoalan infrastruktur.
Tekanan infrastruktur itu
sebenarnya sudah terasa pada tahun 2012. Pertumbuhan produk domestik bruto pada
tahun 2012 menurun dibandingkan dengan tahun 2011. Jika pertumbuhan tahun 2011
mencapai 6,5 persen, pada tahun 2012 hanya 6,2 persen.
Dalam evaluasi triwulan I-2013,
Bank Dunia menyoroti lima hal yang bisa menjadi sumber tekanan terhadap
pertumbuhan. Kelima sumber itu adalah perlambatan pertumbuhan investasi,
kemungkinan implikasi dari perlambatan penjualan riil dan pertumbuhan PDB
nominal, tren-tren pada neraca eksternal, berlanjutnya beban subsidi bahan
bakar minyak, serta melambatnya laju penurunan kemiskinan.
Stefan Koeberle, Country Director Bank Dunia untuk
Indonesia, mengatakan, ”Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan yang sesuai
terhadap tekanan itu. Kebijakan yang tepat adalah investasi infrastruktur
publik dan penekanan kepada daya saing perdagangan, serta reformasi subsidi
BBM.”
Daya
saing rendah
Saat ini daya saing produk
Indonesia tidak terlalu baik. Hal ini karena ongkos produksi di Indonesia lebih
tinggi daripada produk negara lain. Tingginya ongkos produksi ini dipengaruhi
biaya logistik yang cukup tinggi. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa
mengatakan, biaya logistik produk Indonesia mencapai 14 persen dari biaya
produksi, sedangkan di negara lain ongkos produksi di bawah 10 persen.
Bahkan,
di Singapura hanya sekitar 5 persen.
Tingginya biaya logistik ini karena
infrastruktur yang belum memadai. Indonesia sebagai negara kepulauan ongkos
angkutan lautnya lebih mahal ketimbang ongkos angkutan darat. Hal ini karena
infrastruktur pelabuhan dan sarana di Indonesia timur belum bagus. Industri
tidak dikembangkan di Indonesia timur sehingga setiap barang harus dipasok dari
kawasan barat. Dan setiap barang yang dikirim ke Indonesia timur akan dibebani
biaya lebih mahal karena kapal akan kembali dalam kondisi kosong.
Di pelabuhan, kapal juga tidak bisa
langsung bongkar muat karena keterbatasan dermaga. Infrastruktur yang tidak
memadai ini berimbas pada ongkos logistik yang tinggi.
Biaya pengiriman barang di
Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, menuju Makassar, Sulawesi
Selatan, tercatat Rp 4,5 juta-Rp 7 juta per peti kemas ukuran 20 kaki (TEU).
Adapun biaya pengiriman Surabaya-Sorong (Papua) tercatat Rp 13 juta-Rp 17 juta
per TEU. Bandingkan dengan biaya pengiriman dari Surabaya ke Malaysia yang
hanya 350 dollar AS (sekitar Rp 3,5 juta) per TEU atau biaya pengiriman Surabaya-Beijing
(China) sekitar 400 dollar AS (sekitar Rp 4 juta) per TEU.
Ini baru biaya angkut, belum
termasuk biaya bongkar muat di pelabuhan. Dwelling time (lama waktu bongkar muat) di Pelabuhan Tanjung
Priok masih sekitar enam hari. Saat ini sedang diupayakan untuk dipercepat
lagi, tetapi masih belum secepat dwelling time di negara-negara ASEAN
lainnya.
Biaya angkut yang mahal dan lamanya
proses bongkar muat di pelabuhan membuat biaya logistik melalui laut jauh lebih
mahal daripada melalui darat. Akibatnya, hampir 80 persen kegiatan logistik
memilih melalui darat. Hal ini tentu saja akan membuat beban di darat sangat
berat.
Banyak jalan yang rusak karena
selalu dilintasi truk-truk yang bermuatan berlebihan. Hujan yang banyak turun
di wilayah Indonesia juga mempercepat proses rusaknya jalan. Jalan rusak ini
tentu saja berkontribusi pada ongkos logistik yang tinggi.
Rendahnya infrastruktur di
Indonesia tidak hanya dalam segi jumlah, tetapi juga dari segi kualitas. Banyak
pejabat negara ditahan karena korupsi dalam pembangunan infrastruktur. Anggaran
infrastruktur dikorupsi sehingga infrastruktur dibangun dengan kualitas
seadanya dan rawan rusak.
Kurangnya infrastruktur itu tidak
hanya pada infrastruktur darat seperti jalan dan jembatan, tetapi juga
infrastruktur ringan seperti pendidikan dan kesehatan. Saat ini pemerintah
telah membuat program pendidikan sembilan tahun dan mengejar pendidikan usia
dini. Di bidang kesehatan telah diselenggarakan pula jaminan kesehatan
masyarakat.
Meski demikian, angka kematian ibu
dan bayi masih cukup tinggi. Kementerian Kesehatan mencatat, angka kematian ibu
dan bayi mencapai 228 dari 100.000 kelahiran di awal tahun ini. Dengan angka
ini, organisasi Save the Children
menempatkan Indonesia di posisi 106 dari 130 negara-negara berkembang, di bawah
China dan Vietnam, tetapi di atas Filipina dan Timor Leste.
Tingginya angka kematian ibu dan
bayi tersebut bukan karena layanan kesehatan yang buruk, melainkan akses untuk
mencapai layanan kesehatan yang masih buruk. Sekali lagi ini masalah
infrastruktur.
Pekan lalu, pemerintah akhirnya
memutuskan untuk menaikkan harga BBM yang artinya mengurangi subsidi BBM. Anggaran yang selama ini
dikucurkan untuk subsidi BBM nantinya dikucurkan langsung ke sasaran yang
tepat, yakni masyarakat miskin. Selama ini subsidi BBM dinikmati oleh
masyarakat kelas menengah perkotaan.
Kementerian Pekerjaan Umum yang
mendapat tugas pertama untuk mengucurkan subsidi kepada masyarakat miskin.
Anggaran sebesar Rp 6 triliun dikucurkan untuk pembangunan infrastruktur dasar
permukiman di kawasan miskin. Selain itu, akan dibangun pula infrastruktur
untuk air bersih di kampung nelayan miskin serta infrastruktur air baku untuk
irigasi dan embung bagi masyarakat miskin dan daerah tertinggal.
Apa yang dilakukan pemerintah
agaknya sudah pada jalurnya. Namun, masih harus ditinggikan lagi kecepatannya.
Anggaran infrastruktur harus di atas 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara. Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) juga harus ditepati anggaran dan jadwal pembangunannya di
enam koridor. Demikian juga dengan pembangunan infrastruktur dasar harus lebih
luas lagi karena masih banyak kawasan miskin di pelosok yang belum terjamah
pembangunan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar