|
KOMPAS,
28 Juni 2013
Lelah. Kata ini menjadi jawaban
sebagian warga jika ditanya perasaan mereka tentang sejumlah kasus di Poso
belakangan ini. Di tengah upaya menata kembali hidup pascakonflik horizontal
sepanjang 1999-2000 dan berbagai teror serta peristiwa kekerasan tahun-tahun
setelahnya, kini warga kembali diliputi kekhawatiran.
Kalau ditanya perasaan, tentu saja
kami lelah dengan keadaan seperti ini terus-menerus. Kami ingin hidup tenang
dan berusaha dengan tenang. Jika begini terus, kasihan warga, kasihan juga
daerah ini, jadi sulit berkembang,” kata Fery, warga Jalan Pulau Sumatera,
Poso, Sulawesi Tengah.
Rangkaian peristiwa kekerasan
sepanjang 2011 hingga tahun ini membuat sebagian warga seolah hidup tak tenang.
Poso seperti daerah yang menyimpan bara konflik yang entah kapan akan berakhir.
Tak
pernah usai
Setidaknya sejak 2011 gejolak di
Poso seolah tak pernah usai. Kondisi ini dimulai dari penembakan di Bank BCA
Cabang Palu yang menewaskan dua anggota polisi pada Mei 2011. Walau peristiwa
terjadi di Poso, pelaku yang disebut polisi adalah warga Poso. Operasi pun
dilakukan di wilayah ini, yang berujung polisi menembak mati dua tersangka dan
menahan dua lainnya. Saat itu, polisi mengatakan masih mengejar sejumlah orang,
di antaranya Santoso.
Belum lagi pengejaran ini tuntas,
serangkaian kasus kekerasan terjadi pada 2012. Mulai dari penembakan misterius
yang menewaskan seorang warga di Desa Sepe dan melukai seorang lainnya di Desa
Masani sampai ledakan bom di garasi rumah seorang warga di
Kelurahan Kawua.
Saat polisi masih sibuk menyelidiki
kasus itu, kekerasan lagi-lagi terjadi. Dua anggota Polres Poso diculik dan
dianiaya hingga tewas pada 8 Oktober dan mayatnya ditemukan sepekan kemudian,
terkubur di hutan Gunung Biru, Tamanjeka. Polisi kemudian menggelar operasi dan
mengejar sejumlah orang.
Dalam operasi ini, polisi menembak
mati Jippo di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir, karena diduga terkait
sejumlah kasus kekerasan. Operasi berlanjut dengan penangkapan sejumlah orang
yang diduga terkait kelompok garis keras. Namun, di tengah operasi tersebut,
sebuah bom meledak di Kecamatan Poso Kota, disusul serangkaian teror bom.
Pada awal November, polisi kembali
menembak mati seorang tersangka bernama Kholid, warga Kelurahan Kayamanya. Hal
ini memicu kemarahan warga. Ribuan warga menyerang Mapolres Poso dan membuat
wilayah Poso Kota lumpuh sejak pagi hingga menjelang malam.
Kekerasan seolah tak mau berhenti.
Desember 2012, empat anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah tewas ditembak saat
melintas di jalan trans-Sulawesi, Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara.
Peristiwa ini dibalas polisi dengan menangkap dan menganiaya 14 warga Kalora,
yang akhirnya dilepas karena tidak terbukti terlibat dalam kasus itu.
Polisi kemudian melansir 24 buron
yang disebut terkait sejumlah kasus kekerasan dan anggota kelompok garis keras.
Namun, belum lagi buron ini tertangkap dan sejumlah kasus terungkap, polisi
dikejutkan dengan kasus bom bunuh diri di Mapolres Poso, Senin (3/6).
Berselang sepekan, aparat Densus 88
menembak mati Nudin, warga Kelurahan Gebang Rejo. Ia diduga terlibat dalam
jaringan Santoso, yang selama ini disebut bertanggung jawab atas serangkaian
peristiwa kekerasan di Poso.
Kembali warga menyerang Mapolres
Poso dan membuat sebagian Kecamatan Poso Kota lumpuh sejak Senin sore hingga
Selasa pagi pekan itu.
Kini, polisi terus mengejar pelaku
dan kelompok garis keras. Polisi menduga kelompok ini, termasuk sejumlah buron,
bersembunyi di Gunung Koroncopu, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Dalam penyisiran
di wilayah ini, polisi menemukan sejumlah barang bukti yang lazim digunakan
dalam perang atau latihan perang, seperti bom rakitan berbagai jenis, senjata
api organik dan rakitan, ratusan amunisi berbagai kaliber, peralatan navigasi,
dan alat komunikasi.
”Temuan barang-barang itu adalah
bukti keberadaan kelompok garis keras tersebut, yang terus merencanakan
serangkaian aksi teror. Poso sudah dijadikan basis perekrutan, pelatihan,
sekaligus persembunyian. Mereka mendatangkan senjata dan juga merakit,” ujar
Kapolres Poso Ajun Komisaris Besar Susnadi.
Operasi demi operasi yang dilakukan
untuk menumpas gerakan kelompok garis keras nyatanya tak juga tuntas hingga
kini. Yang ada, muncul kesan, terjadi aksi saling balas antara polisi dan
kelompok garis keras. Masyarakat kian diliputi kekhawatiran atas peristiwa
kekerasan demi kekerasan yang terjadi di depan mata.
Sejumlah tokoh masyarakat dan agama
di Poso kini balik bertanya, masihkah relevan pendekatan keamanan yang
dilakukan selama ini? Yus Mangun, salah seorang tokoh masyarakat yang dulu
penggiat deklarasi damai, meminta aparat ditarik.
”Selanjutnya, undang semua tokoh
agama, masyarakat, pemerintah, dan aparat, mulai dari daerah hingga pusat,
untuk duduk bersama mencari solusi atau formula yang tepat untuk menyelesaikan
gejolak di Poso. Jika pendekatan keamanan tidak bisa menuntaskan masalah,
saatnya mencari penyelesaian dengan pendekatan lain. Jangan sampai persoalan
ini kian membesar dan merembet ke mana-mana dan akhirnya semakin sulit
ditangani,” ungkapnya.
Hal serupa dikemukakan M Adnan
Arsal, salah seorang tokoh agama yang juga pernah menjadi deklarator Perdamaian
Malino saat penyelesaian konflik. Adnan berharap pemerintah mau mengundang
semua pihak untuk berdialog dan mencari solusi damai yang berkesinambungan.
Sudah
lelah
”Warga di Poso sudah lelah dengan berbagai konflik berdarah-darah
seperti yang terjadi pada 13-14 tahun lalu. Warga ingin hidup damai
berdampingan dengan semua etnis dan pemeluk keyakinan yang berbeda-beda. Damai
akan membuat kehidupan warga Poso menjadi lebih baik. Kami sudah muak dan lelah
dengan gejolak di Poso,” kata Adnan
mewakili warga setempat.
Harapan damai juga datang dari
warga dan tokoh agama di Tentena, sekitar 60 kilometer dari Poso Kota. ”Perdamaian di Poso adalah milik semua warga
Poso, entah itu Muslim ataupun Kristen. Kami ingin bahu-membahu mewujudkan
damai tanpa membeda-bedakan suku, ras, atau agama. Sebaiknya semua pihak di
Poso, baik itu tokoh agama, masyarakat, maupun pejabat di pemerintahan daerah
atau pusat, duduk bersama mencari solusi. Para pengambil kebijakan, baik di
daerah maupun pusat, hendaknya mendengar suara dan keinginan warga Poso. Kami
sudah lelah dengan segala konflik yang pernah ada di bumi Poso,” tutur
Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Yuberlian Padele.
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar