Selasa, 02 Juli 2013

Kami Sudah Lelah dengan Keadaan Ini…

Kami Sudah Lelah dengan Keadaan Ini…
Renny Sri Ayu dan Aris Prasetyo ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Lelah. Kata ini menjadi jawaban sebagian warga jika ditanya perasaan mereka tentang sejumlah kasus di Poso belakangan ini. Di tengah upaya menata kembali hidup pascakonflik horizontal sepanjang 1999-2000 dan berbagai teror serta peristiwa kekerasan tahun-tahun setelahnya, kini warga kembali diliputi kekhawatiran.

Kalau ditanya perasaan, tentu saja kami lelah dengan keadaan seperti ini terus-menerus. Kami ingin hidup tenang dan berusaha dengan tenang. Jika begini terus, kasihan warga, kasihan juga daerah ini, jadi sulit berkembang,” kata Fery, warga Jalan Pulau Sumatera, Poso, Sulawesi Tengah.

Rangkaian peristiwa kekerasan sepanjang 2011 hingga tahun ini membuat sebagian warga seolah hidup tak tenang. Poso seperti daerah yang menyimpan bara konflik yang entah kapan akan berakhir.

Tak pernah usai

Setidaknya sejak 2011 gejolak di Poso seolah tak pernah usai. Kondisi ini dimulai dari penembakan di Bank BCA Cabang Palu yang menewaskan dua anggota polisi pada Mei 2011. Walau peristiwa terjadi di Poso, pelaku yang disebut polisi adalah warga Poso. Operasi pun dilakukan di wilayah ini, yang berujung polisi menembak mati dua tersangka dan menahan dua lainnya. Saat itu, polisi mengatakan masih mengejar sejumlah orang, di antaranya Santoso.

Belum lagi pengejaran ini tuntas, serangkaian kasus kekerasan terjadi pada 2012. Mulai dari penembakan misterius yang menewaskan seorang warga di Desa Sepe dan melukai seorang lainnya di Desa Masani sampai ledakan bom di garasi rumah seorang warga di Kelurahan Kawua.

Saat polisi masih sibuk menyelidiki kasus itu, kekerasan lagi-lagi terjadi. Dua anggota Polres Poso diculik dan dianiaya hingga tewas pada 8 Oktober dan mayatnya ditemukan sepekan kemudian, terkubur di hutan Gunung Biru, Tamanjeka. Polisi kemudian menggelar operasi dan mengejar sejumlah orang.

Dalam operasi ini, polisi menembak mati Jippo di Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir, karena diduga terkait sejumlah kasus kekerasan. Operasi berlanjut dengan penangkapan sejumlah orang yang diduga terkait kelompok garis keras. Namun, di tengah operasi tersebut, sebuah bom meledak di Kecamatan Poso Kota, disusul serangkaian teror bom.

Pada awal November, polisi kembali menembak mati seorang tersangka bernama Kholid, warga Kelurahan Kayamanya. Hal ini memicu kemarahan warga. Ribuan warga menyerang Mapolres Poso dan membuat wilayah Poso Kota lumpuh sejak pagi hingga menjelang malam.

Kekerasan seolah tak mau berhenti. Desember 2012, empat anggota Brimob Polda Sulawesi Tengah tewas ditembak saat melintas di jalan trans-Sulawesi, Desa Kalora, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Peristiwa ini dibalas polisi dengan menangkap dan menganiaya 14 warga Kalora, yang akhirnya dilepas karena tidak terbukti terlibat dalam kasus itu.

Polisi kemudian melansir 24 buron yang disebut terkait sejumlah kasus kekerasan dan anggota kelompok garis keras. Namun, belum lagi buron ini tertangkap dan sejumlah kasus terungkap, polisi dikejutkan dengan kasus bom bunuh diri di Mapolres Poso, Senin (3/6).

Berselang sepekan, aparat Densus 88 menembak mati Nudin, warga Kelurahan Gebang Rejo. Ia diduga terlibat dalam jaringan Santoso, yang selama ini disebut bertanggung jawab atas serangkaian peristiwa kekerasan di Poso.

Kembali warga menyerang Mapolres Poso dan membuat sebagian Kecamatan Poso Kota lumpuh sejak Senin sore hingga Selasa pagi pekan itu.

Kini, polisi terus mengejar pelaku dan kelompok garis keras. Polisi menduga kelompok ini, termasuk sejumlah buron, bersembunyi di Gunung Koroncopu, Kecamatan Poso Pesisir Utara. Dalam penyisiran di wilayah ini, polisi menemukan sejumlah barang bukti yang lazim digunakan dalam perang atau latihan perang, seperti bom rakitan berbagai jenis, senjata api organik dan rakitan, ratusan amunisi berbagai kaliber, peralatan navigasi, dan alat komunikasi.

”Temuan barang-barang itu adalah bukti keberadaan kelompok garis keras tersebut, yang terus merencanakan serangkaian aksi teror. Poso sudah dijadikan basis perekrutan, pelatihan, sekaligus persembunyian. Mereka mendatangkan senjata dan juga merakit,” ujar Kapolres Poso Ajun Komisaris Besar Susnadi.

Operasi demi operasi yang dilakukan untuk menumpas gerakan kelompok garis keras nyatanya tak juga tuntas hingga kini. Yang ada, muncul kesan, terjadi aksi saling balas antara polisi dan kelompok garis keras. Masyarakat kian diliputi kekhawatiran atas peristiwa kekerasan demi kekerasan yang terjadi di depan mata.
Sejumlah tokoh masyarakat dan agama di Poso kini balik bertanya, masihkah relevan pendekatan keamanan yang dilakukan selama ini? Yus Mangun, salah seorang tokoh masyarakat yang dulu penggiat deklarasi damai, meminta aparat ditarik.

”Selanjutnya, undang semua tokoh agama, masyarakat, pemerintah, dan aparat, mulai dari daerah hingga pusat, untuk duduk bersama mencari solusi atau formula yang tepat untuk menyelesaikan gejolak di Poso. Jika pendekatan keamanan tidak bisa menuntaskan masalah, saatnya mencari penyelesaian dengan pendekatan lain. Jangan sampai persoalan ini kian membesar dan merembet ke mana-mana dan akhirnya semakin sulit ditangani,” ungkapnya.

Hal serupa dikemukakan M Adnan Arsal, salah seorang tokoh agama yang juga pernah menjadi deklarator Perdamaian Malino saat penyelesaian konflik. Adnan berharap pemerintah mau mengundang semua pihak untuk berdialog dan mencari solusi damai yang berkesinambungan.

Sudah lelah

”Warga di Poso sudah lelah dengan berbagai konflik berdarah-darah seperti yang terjadi pada 13-14 tahun lalu. Warga ingin hidup damai berdampingan dengan semua etnis dan pemeluk keyakinan yang berbeda-beda. Damai akan membuat kehidupan warga Poso menjadi lebih baik. Kami sudah muak dan lelah dengan gejolak di Poso,” kata Adnan mewakili warga setempat.


Harapan damai juga datang dari warga dan tokoh agama di Tentena, sekitar 60 kilometer dari Poso Kota. ”Perdamaian di Poso adalah milik semua warga Poso, entah itu Muslim ataupun Kristen. Kami ingin bahu-membahu mewujudkan damai tanpa membeda-bedakan suku, ras, atau agama. Sebaiknya semua pihak di Poso, baik itu tokoh agama, masyarakat, maupun pejabat di pemerintahan daerah atau pusat, duduk bersama mencari solusi. Para pengambil kebijakan, baik di daerah maupun pusat, hendaknya mendengar suara dan keinginan warga Poso. Kami sudah lelah dengan segala konflik yang pernah ada di bumi Poso,” tutur Ketua Umum Majelis Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah Yuberlian Padele. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar