Selasa, 02 Juli 2013

Omong Kosong Pengelola Republik

Omong Kosong Pengelola Republik
Hermas E Prabowo ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan mengamanatkan kemandirian pangan. Kemandirian pangan didefinisikan sebagai kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai tingkat perseorangan. Tentu dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal.

Yang dimaksud pangan dalam UU tersebut adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang dikonsumsi manusia. Termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan atau minuman.

Mengacu pada definisi pangan di atas, khusus untuk produk pertanian, jenis-jenis pangan antara lain beras, jagung, kedelai, daging sapi, gula, sayuran, buah-buahan, cabai, bawang merah, dan bawang putih.
Dalam konteks kemandirian pangan, komoditas seperti disebutkan di atas harus diproduksi di dalam negeri. Bahkan, bangsa/negara tidak sekadar memproduksi pangan yang cukup, tetapi menjamin pemenuhan kebutuhan sampai tingkat perseorangan.

Apa yang terjadi sekarang? Negara tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan warganya dari produksi dalam negeri. Impor pangan Indonesia terus meningkat, baik terkait nilai maupun volume.
Pada tahun 2008/2009, Indonesia sama sekali tidak mengimpor beras. Tiga empat tahun kemudian Indonesia mengimpor 1 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand.

Produksi kedelai pada tahun 1992 mencapai 1,9 juta ton, tetapi pada tahun 2013 hanya 800.000 ton. Setiap tahun Indonesia harus mengimpor 2 juta ton kedelai untuk bahan baku tahu-tempe dan industri berbasis kedelai.

Tahun lalu, impor jagung sebesar 3 juta ton. Tahun 2012, impor bawang putih 410.100 ton senilai 239,4 juta dollar AS. Impor bawang merah rata-rata 100.000 ton per tahun.

Impor susu 75 persen dari kebutuhan dalam negeri dan terus naik. Daging sapi impor 80.000 ton setara daging dan masih ada tambahan 20.000 ton lagi.

Buah-buahan juga masih banyak yang diimpor. Begitu pula sayuran, termasuk cabai. Gandum juga sepenuhnya impor.

Total impor pangan Indonesia pada tahun 2012 mencapai Rp 81,5 triliun dan akan terus meningkat seiring dengan pertambahan penduduk serta peningkatan pendapatan.

Indonesia memang masih mengimpor grand parent stock atau induk ayam pedaging dan petelur. Namun, setidaknya kebutuhan daging dan telur ayam mampu dipenuhi dari produksi dalam negeri. Bahkan, dalam kondisi tertentu, pasokan berlebih. Ada nilai tambah yang kita dapat di sana.

Dengan konsumsi pangan yang terus meningkat, baik sebagai dampak pertambahan jumlah penduduk maupun dampak positif adanya pertumbuhan kelas menengah-atas di Indonesia, kebutuhan Indonesia terhadap pangan impor terus meningkat.

Utopia kemandirian

Ada keinginan kuat dari para pemangku kepentingan dan kita untuk untuk memproduksi pangan yang cukup. Swasembada pangan terus disuarakan.

Menteri Pertanian Suswono menerapkan program swasembada dan swasembada berkelanjutan. Sasarannya adalah melanjutkan swasembada beras dan mendorong pencapaian swasembada daging sapi, kedelai, gula, dan daging ayam.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga mengamanatkan perlunya mencapai surplus produksi beras 10 juta ton pada tahun 2014 yang kemudian diundur menjadi tahun 2015. Hingga saat ini tidak satu pun dari target swasembada itu yang tercapai.

Ratusan triliun rupiah uang negara disalurkan. Anggaran peningkatan produksi pangan terus digelontorkan. Anggaran sektor pertanian dilipatgandakan.

Akan tetapi, apa yang terjadi sekarang? Alokasi dana meningkat, impor pangan juga meningkat. Wakil Presiden Boediono bahkan mengkritik ketidakefektifan penggunaan anggaran Kementerian Pertanian.
Itu baru anggaran di sektor pertanian. Belum anggaran pertanian secara keseluruhan di sektor-sektor lainnya yang tidak efektif penggunaannya dan bocor di sana-sini.

Alih-alih swasembada atau kemandirian pangan tercapai, harga pangan malah melonjak. Saat ini harga daging sapi bertengger di kisaran Rp 88.000 per kilogram (kg) dari sebelumnya di atas Rp 100.000 per kg. Jagung mencapai Rp 3.200 per kg dan gula sempat tembus Rp 13.000 per kg. Pemerintah pun harus turun tangan dan melakukan intervensi dengan dana yang tidak sedikit. Belum lagi cabai, bawang merah, serta bawang putih yang harganya melonjak dan menekan inflasi.

Persoalan fundamental

Masalah pangan merupakan persoalan mendasar. Saking pentingnya gejolak pada harga pangan akan langsung berdampak terhadap inflasi.

Karena masalah pangan merupakan persoalan mendasar, penyelesaiannya juga harus dengan cara yang mendasar juga.

Pemerintah bukannya tidak paham atau tidak tahu persoalan mendasar pangan nasional. Sudah sangat paham. Misalnya terkait lahan. Konversi lahan pertanian/ pangan terus terjadi setiap saat. Bahkan, alih konversi lahan mencapai 100.000 per tahun.

Hingga saat ini konversi lahan tidak ditangani serius. Akibatnya, lahan pertanian, khususnya sawah, terus menyusut. Pemerintah sangat bisa menghentikan konversi, tetapi tidak dilakukan. Pelanggaran aturan soal konversi dibiarkan. UU Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan tidak bisa diterapkan.

Untuk memenuhi kebutuhan pangan melalui peningkatan produksi, perlu tambahan lahan baru. Pemerintah sudah tahu itu. Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono bahkan menyuarakan pentingnya reforma agraria, tetapi tidak dijalankan.

Pemanfaatan lahan telantar tidak dilakukan meski pemerintah dengan kewenangannya sesungguhnya bisa melakukan. Revitalisasi industri gula dibiarkan terbengkalai. Aturan dibuat tumpang tindih dan dipersulit sendiri oleh pemerintah sehingga revitalisasi macet.

Untuk meningkatkan produksi daging sapi perlu pengembangan peternakan skala luas di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat. Itu juga tidak dilakukan sungguh-sungguh. Akibatnya, impor daging sapi terus naik, populasi sapi potong diprediksi merosot tajam. Pemerintah tidak pernah secara sungguh-sungguh menjadikan usaha ternak sapi sebagai sumber pendapatan masyarakat, tetapi sekadar tabungan.

Di NTT tersedia 1 juta hektar lahan pertanian yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya jagung hibrida. Masyarakat NTT ingin menanam jagung hibrida, tetapi pemerintah tidak mau mengembangkannya. Padahal dengan menanam jagung hibrida seluas 1 juta hektar, ada tambahan produksi jagung 8 juta ton per tahun. Industri pakan tidak perlu impor, pendapatan masyarakat NTT bisa melonjak. Namun, pemerintah tidak tertarik.

Peningkatan produksi kedelai juga terkendala lahan. Akan tetapi, pemerintah lagi-lagi tidak mau merealisasikan. Potensi peningkatan produksi pangan ada, berbagai peluang tersedia, tetapi pemerintah tidak pernah serius melakukannya.


Kemandirian pangan hanya omong kosong. Pangan hanya dijadikan proyek. Para penentu kebijakan dalam mewujudkan kemandirian pangan di Indonesia lebih diuntungkan dengan masuknya pangan impor dan proyek kemandirian pangan yang tanpa akhir. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar