Selasa, 02 Juli 2013

Belanja Pemilu Rp 44,1 Triliun untuk Apa?

Belanja Pemilu Rp 44,1 Triliun untuk Apa?
Subur Tjahjono ;  Wartawan KOMPAS
KOMPAS, 28 Juni 2013


Bank Indonesia memperkirakan belanja persiapan pemilihan umum pada tahun 2013 dan pelaksanaannya pada 2014 turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, di sisi lain, sejumlah pihak juga menyoal makin mahalnya biaya politik yang tidak berdampak produktif dalam jangka panjang. Bagaimana memaknai belanja pemilu tersebut secara ekonomi politik?

Dalam berbagai kesempatan, sejumlah pejabat Bank Indonesia (BI) mengemukakan pentingnya peranan pengeluaran pemilihan umum (pemilu) terhadap pertumbuhan ekonomi tahun 2013 dan 2014. Sumbangan kegiatan pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi, yaitu pertumbuhan produk domestik bruto (PDB), dinilai sebagai hal positif dari sisi ekonomi.

Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Doddy Budi Waluyo, di Jakarta, Jumat (14/6), menjelaskan, khusus untuk tahun 2013 dan 2014, perekonomian domestik memang diperkirakan mendapat tambahan daya dorong dari kegiatan pemilu.

Pola tersebut, kata Dody, didasarkan pada pengalaman persiapan dan pelaksanaan Pemilu 2009. Berdasarkan data PDB Badan Pusat Statistik tahun 2008 dan 2009, estimasi BI menunjukkan bahwa belanja Pemilu 2009 sekitar Rp 40 triliun dengan kontribusi terhadap pertumbuhan PDB 2008 dan 2009, masing-masing sebesar 0,23 persen dan 0,26 persen.

”Kontribusi tersebut berperan cukup penting dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah krisis keuangan global yang sedang terjadi pada waktu itu,” tutur Doddy.

Dorong kegiatan usaha

Apabila kondisi keamanan kondusif, berbagai aktivitas terkait penyelenggaraan pemilu, mulai dari persiapan hingga pelaksanaannya, diperkirakan mendorong kegiatan usaha melalui permintaan terhadap barang manufaktur dan jasa swasta. Secara sektoral, belanja pemilu tersebut akan mendorong sektor industri pengolahan, khususnya subsektor makanan dan minuman dan sektor keuangan, real estat dan jasa, khususnya jasa periklanan.

Belanja tersebut adalah belanja yang digunakan untuk berbagai kegiatan pemilu, yaitu sosialisasi, iklan, dan aktivitas pemilu lainnya. Dalam komponen PDB, belanja tersebut diperhitungkan sebagai konsumsi swasta.
Pada tahun 2008, sebanyak 26 persen dari total belanja pemilu digunakan pada triwulan IV-2008. Sisanya dibelanjakan pada triwulan I dan II-2009. Dengan mengikuti pola yang sama, sekitar Rp 11,5 triliun akan dibelanjakan pada triwulan III dan IV-2013, sementara Rp 32,6 triliun akan dibelanjakan pada triwulan I dan II-2014.

Rentang belanja yang lebih panjang menyesuaikan dengan jadwal kegiatan pelaksanaan Pemilu 2014. ”Berdasarkan perhitungan BI, total belanja Pemilu 2014 akan mencapai Rp 44,1 triliun,” kata Doddy.
Dengan melihat pada pola belanja Pemilu 2009, diperkirakan dana sebesar Rp 11,5 triliun akan dibelanjakan pada tahun 2013. Belanja tersebut akan memberikan tambahan terhadap pertumbuhan ekonomi 2013 sebesar 0,13 persen. Pada tahun 2014, kegiatan pemilu diperkirakan membelanjakan dana Rp 32,6 triliun dengan dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 0,19 persen.

Perhitungan biaya tersebut mempertimbangkan informasi/survei dari berbagai lembaga, khususnya mengenai kebutuhan dana pemilu. Selain itu, dilakukan perbandingan dengan pelaksanaan Pemilu 2009. Dalam perbandingan tersebut, dilakukan penyesuaian perubahan dalam penyelenggaraan pemilu yang akan berpengaruh pada biaya yang dikeluarkan, seperti jumlah maksimum calon anggota legislatif (caleg) dari setiap partai, jumlah partai peserta pemilu, dan perkembangan lainnya yang relevan.

Dari sisi persentase, sebenarnya nilainya lebih kecil, yaitu 0,26 persen pada Pemilu 2009 dan 0,19 persen pada Pemilu 2014. Namun, dari sisi nilai belanja terjadi kenaikan belanja, pada Pemilu 2009 sebesar Rp 40 triliun menjadi Rp 44,1 triliun pada Pemilu 2014.

”Biaya pemilu tersebut terbagi, yaitu biaya penyelenggaraan dan biaya kandidat,” kata peneliti politik Centre for Strategic and International Sudies, J Kristiadi. Biaya penyelenggaraan adalah biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Untuk keperluan Pemilu 2009, KPU mengajukan anggaran Rp 8,2 triliun untuk tahun anggaran 2008 dan Rp 14,1 triliun untuk keperluan tahun 2009. Untuk tahun 2014, KPU mengajukan anggaran Rp 8 triliun, lebih rendah Rp 200 miliar dari pengajuan tahun 2009.

Biaya kandidat adalah biaya yang dikeluarkan oleh calon anggota legislatif serta dan calon presiden dan wakil presiden, termasuk biaya yang dikeluarkan partai politik pengusungnya. Berdasarkan data dana kampanye partai politik yang dilaporkan ke KPU pada Pemilu 2009, nilainya lebih dari Rp 810 miliar. Dana kampanye partai politik terbesar dengan nilai di atas Rp 100 miliar adalah Partai Gerindra sebesar Rp 308 miliar, Partai Demokrat Rp 243,8 miliar, dan Partai Golkar Rp 164,5 miliar.

Pada Pemilu 2009, pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto melaporkan dana kampanye sebesar Rp 20 miliar. Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono melaporkan dana kampanye Rp 20,3 miliar. Pasangan M Jusuf Kalla-Wiranto melaporkan dana kampanye Rp 10,25 miliar.

Biaya kampanye caleg bervariasi, mulai dari ratusan juta rupiah hingga mencapai Rp 20 miliar. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung Wibowo, misalnya, memaparkan, biaya kampanye yang dikeluarkan caleg untuk duduk sebagai legislator pada Pemilu 2009, yakni artis dan selebritas Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar. Aktivis partai politik Rp 600 juta hingga Rp 1,2 miliar. Purnawirawan TNI Rp 800 juta hingga Rp 1,8 miliar. Pengusaha Rp 1,8 miliar hingga Rp 6 miliar.

Namun, ada pengusaha yang mengeluarkan biaya hingga Rp 20 miliar. Pada Pemilu 2009 itu jumlah caleg 11.301 orang. Jika dirata-rata biaya Rp 2 miliar per orang, biaya caleg mencapai 22,602 triliun.
Berkaca dari Pemilu 2009 tersebut, jumlah yang dapat dihitung tersebut adalah Rp 31,412 triliun. Jumlah terbesar adalah belanja kampanye caleg sebesar Rp 22,602 triliun. Jumlah keseluruhan belanja pemilu itu lebih kecil dari perkiraan BI yang Rp 40 triliun.

Ekonom dari Universitas Brawijaya Malang, Ahmad Erani Yustika, juga menilai sebetulnya kontribusi pemilu terhadap pertumbuhan relatif tidak terlalu besar. Meskipun demikian, secara ekonomi politik, perlu dilihat bagaimana pengalokasian dana Rp 44,1 triliun tersebut.

”Apakah alokasinya benar-benar bermanfaat menjadi kegiatan yang produktif dan berjangka panjang atau untuk kegiatan konsumtif yang habis pakai,” kata Erani.


Erani dan Kristiadi sepakat bahwa belanja pemilu itu tidak berarti apa-apa jika hasil pemilu, yaitu para anggota legislatif beserta presiden dan wakil presiden, tidak memberi prospek dapat menyejahterakan rakyat. Jadi belanja atau biaya pemilu itu tidak ada manfaatnya untuk rakyat. Oleh karena itu, semua pihak perlu bersama-sama mendorong agar belanja pemilu tersebut dapat efisien dan menghasilkan pemimpin sesuai dengan harapan rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar