Minggu, 21 Juli 2013

Menyikapi Kenaikan BI Rate

Menyikapi Kenaikan BI Rate
Junanto Herdiawan ;   Kepala Divisi Ekonomi Moneter Kantor Perwakilan Bank Indonesia Wilayah IV Jawa Timur
JAWA POS, 16 Juli 2013



"TUGAS bank sentral adalah untuk khawatir." Demikian kata Alice Rivlin, mantan wakil ketua The Fed, bank sentral Amerika Serikat (AS).

Saat perekonomian dilanda resesi, bank sentral menjadi pihak yang khawatir akan melambatnya pertumbuhan. Sebaliknya, saat ekonomi tumbuh kencang, bank sentral khawatir akan memanasnya ekonomi dan tingginya inflasi. 

Kekhawatiran demi kekhawatiran. Itulah kredo yang dipegang dan menjadi bisnis bank sentral sepanjang zaman. 

Di Indonesia, kita melihat perekonomian tumbuh pesat dalam beberapa tahun terakhir. Indonesia menjadi satu di antara tiga negara di dunia, selain Tiongkok dan Filipina, yang masih mampu tumbuh di atas 6 persen per tahun sejak krisis global melanda. Di beberapa daerah, Jawa Timur misalnya, pertumbuhan ekonomi bahkan melampaui 7 persen per tahun.

Sebagai bank sentral, Bank Indonesia (BI) tentu berupaya menjaga berlanjutnya laju ekonomi tersebut. Namun, prioritas utama adalah menjaga keseimbangan perekonomian serta kestabilan di sistem keuangan. Kita menyadari bahwa pertumbuhan yang pesat menyimpan risiko apabila tidak didukung ketahanan yang seimbang. 

Hal yang perlu dicermati bukan semata masalah domestik seperti pertumbuhan ekonomi dan inflasi, namun juga keseimbangan eksternal kita. Saat ini perekonomian dunia masih cenderung lambat dan diwarnai ketidakpastian yang tinggi. Meski mulai menunjukkan indikasi positif, ekonomi AS diperkirakan belum dapat tumbuh signifikan. Hal tersebut dipertegas pernyataan Ketua The Fed Ben Bernanke bahwa kebijakan moneter akomodatif masih akan diteruskan.

Selain AS, permasalahan ekonomi Eropa juga belum menunjukkan perbaikan berarti. Sementara pertumbuhan ekonomi Tiongkok dan India tercatat lebih rendah daripada perkiraan pengamat.

Lesunya perekonomian dunia tersebut mengakibatkan turunnya proyeksi ekonomi dunia menjadi 3,2 persen dari perkiraan semula yang sebesar 3,4 persen untuk 2013. Secara bersamaan, harga komoditas dunia juga cenderung turun. Indeks harga komoditas ekspor Indonesia (IHEx) sepanjang triwulan II 2013 mencatat pertumbuhan negatif sebesar 10,3 persen.

Apa dampak perlambatan ekonomi dunia tersebut bagi Indonesia? Hal yang paling terasa adalah menurunnya kinerja neraca pembayaran Indonesia (NPI). Prospek dunia yang melambat menjadikan ekspor kita menurun. Selama Mei 2013, tercatat penurunan ekspor Indonesia sebesar 3,2 persen. Akibatnya, NPI pada Mei 2013 mencatat defisit sebesar USD 693 juta.

Di sisi transaksi modal dan finansial, kita juga melihat munculnya tekanan. Investor asing melakukan reposisi portofolio aset rupiahnya di Indonesia. Aksi jual investor tersebut, yang terutama dilakukan di bursa saham, menimbulkan tekanan pada nilai tukar. Rupiah sepanjang triwulan II 2013 tercatat melemah sebesar 2,09 persen dengan volatilitas yang meningkat.

Melihat kondisi tersebut, BI berupaya menjaga kestabilan nilai tukar rupiah agar tidak terlalu menimbulkan gejolak pada ekonomi. Dapat kita lihat, posisi cadangan devisa pada akhir Juni turun menjadi USD 98,1 miliar. Meski berkurang, level tersebut masih setara dengan 5,4 bulan impor atau cukup aman dalam mendukung ketahanan kita serta masih sesuai dengan standar internasional hitungan JR Metrics dari IMF.

Di sisi domestik, tumbuhnya perekonomian Indonesia dalam beberapa tahun terakhir didorong tingginya konsumsi. Namun, permasalahan di sisi eksternal sebelumnya telah menyebabkan ketidakseimbangan pada kemampuan ekonomi domestik untuk terus tumbuh. Akibatnya, sektor perekonomian yang tetap terlihat tumbuh pesat didominasi sektor-sektor tertentu yang tidak memberi nilai tambah pada ekspor, sektor properti misalnya.

Selain itu, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) pada Juni 2013 akan memberi tekanan pada kenaikan harga-harga atau inflasi, baik di kelompok harga barang ataupun makanan. Inflasi diperkirakan naik secara temporer hingga Agustus 2013 dan diharapkan kembali pada pola normal setelah September 2013.

Menyikapi risiko dan ketidakseimbangan ekonomi tersebut, BI mengantisipasi dengan beberapa kebijakan. Di sisi suku bunga, BI menaikkan BI rate sebesar 50 bp menjadi 6,5 persen bulan ini, setelah Juni lalu menaikkan BI rate sebesar 25 bp. Sementara untuk menjaga kestabilan di pasar properti, BI menyempurnakan ketentuan loan to value ratio (LTV) terkait dengan kredit pemilikan rumah (KPR) dan kredit pemilikan apartemen (KPA) untuk tipe tertentu.

Pertanyaannya kemudian, apa dampak kebijakan tersebut bagi ekonomi, dan tentunya, apakah ada kemungkinan BI rate naik lagi?

Kenaikan BI rate dipahami dapat berdampak pada tertahannya pertumbuhan ekonomi. Untuk itu, BI juga merevisi pertumbuhan ekonomi 2013 menjadi 5,8 persen-6,2 persen dari perkiraan sebelumnya 6,2 persen-6,8 persen. Kita tentu mengharapkan perbankan nasional tidak serta-merta menaikkan suku bunganya secara berlebihan. Beberapa bank terlihat sudah mengantisipasi kenaikan suku bunga dengan menaikkan terlebih dahulu bunganya secara terukur dan efisien sehingga tidak menyebabkan tekanan berat pada pertumbuhan kredit.

Dalam kondisi perekonomian yang penuh tantangan, baik dari sisi eksternal maupun internal, prioritas kebijakan untuk menjaga kestabilan sangatlah diperlukan. Kita semua paham bahwa kebijakan moneter bukanlah panacea atau satu-satunya obat mujarab. Koordinasi dengan kebijakan fiskal dan sektor riil menjadi kunci dalam menghadapi tantangan ke depan. Tanpa itu semua, kebijakan moneter akan berjalan sendiri dan tidak efektif. 

Tahun depan akan menjadi tahun puncak politik. Perhatian sebagian besar pengelola ekonomi negeri mungkin akan tersita di sana. Dalam kondisi seperti itu, kiranya perlu tetap ada pihak-pihak yang berfungsi penuh dalam mengelola ekonomi.  ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar