|
TEMPO.CO,
16 Juli 2013
Pada Januari 2012, kapal pesiar mewah Costa Concordia
tenggelam di Pulau Giglio, Italia, akibat menabrak karang. Kapal itu terjungkat
sebelum pesta makan malam berakhir di lima restoran dan 13 klub malam yang
sedang mengawali geliatnya. Tidak seperti kapten kapal Titanic, Edward Smith,
yang karam pada 1912, memimpin proses evakuasi, Kapten Fransesco Schettino
justru meninggalkan kapal dan menyelamatkan diri lebih dulu, sementara ABK
berjuang mengevakuasi penumpang-penumpang yang terjebak di dek lambung.
Kapten Fransesco Schettino mengambil tindakan berbeda dengan Kapitan Abdul Rifai yang kapalnya, Tampomas II, terbakar dan rontok di Kepulauan Masalembo pada Januari 1981. Ia tunaikan bakti akhirnya sebagai kapitan; berjuang habis-habisan agar penumpang yang ada mendapatkan hak hidupnya, sementara ia sendiri menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal dan memilih bakti-pati. Ia menemui pati bersama terjungkatnya Tampomas II di dasar Laut Jawa.
Kapitan perahu
Kepemimpinan maritim ini, oleh antropolog asal Makassar, Mattulada, disebut kapitan perahu. Ignas Kleden mengelaborasi gagasan Mattulada ini dengan langsung memperhadapkannya secara vis a vis dengan sistem kepemimpinan dominan di Indonesia: feodalisme.
Ciri kepemimpinan kapitan perahu bisa dibentangkan. Seorang kapitan bukan pemimpin yang didrop. Ia tumbuh dan berkembang dari bawah. Jiwa kepemimpinan dipupuk sejak kecil. Bukan aji mumpung. Bukan karena bapaknya pemimpin besar otomatis ia juga bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, dalam nilai, yang dijunjung kepemimpinan kapitan adalah kompetensi; bahwa kamu harus kredibel dan kompeten, sebab kepemimpinanmu langsung diuji oleh kenyataan. Di laut, perubahan cuaca berlangsung cepat dan kadang tak terduga.
Pemimpin palsu atau drop-dropan langsung terlihat lemas, ambigu, dan kosong ketika berhadapan dengan situasi kritis di laut. Padahal, ketika berhadapan dengan badai, seorang kapitan yang memiliki kompetensi diharuskan mengambil keputusan cepat dan sigap pula memperbaiki kesalahan atas keputusan yang dibuat.
Seorang kapitan juga diikat etika pengorbanan. Ia orang paling akhir yang meninggalkan perahu dalam kondisi kritis. Artinya, kepemimpinan kapitan mendahulukan kepentingan perahu/negara dan penumpang/warganya ketimbang dirinya sendiri. Ia yang paling akhir sejahtera, setelah warga terlemahnya hidup layak. Ia orang yang paling akhir perutnya kenyang, setelah warganya makan semua. Kapitan perahu tidak mengenal garis darah sebagaimana sistem feodalisme yang paternalistik. Seorang kapitan adalah betul-betul ahli dan jenius dalam membawa perahu dan memimpin seluruh ABK. Dalam memilih ABK juga disesuaikan dengan kecakapan tugas, dan itu dilihat dari rekam jelajah.
Kepemimpinan kapitan perahu adalah meritokrasi dan bukan mediokrasi. Meritokrasi memberi karpet kesempatan kepada mereka yang dianggap layak dan punya prestasi serta kemampuan. Sebaliknya, mediokrasi adalah watak pragmatisme, medioker, puas dengan hal-hal yang bersifat ngambang ketimbang substansial.
Merangkul sebanyak mungkin orang untuk mengamankan kekuasaan yang sudah diraih adalah ciri mediokrasi, ketimbang membuat kebijakan-kebijakan publik yang bersandar pada kepantasan dan keadilan untuk orang banyak sebagaimana melekat pada gaya kepemimpinan meritokrasi. Dalam sukma politik meritokrasi, kekuasaan dipandang sebagai kendaraan untuk kesejahteraan.
Bukan geografis
Kepemimpinan kapitan perahu bukan soal geografis, bukan soal figur yang lahir dan besar di Jawa dan luar Jawa. Kepemimpinan kapitan adalah sistem, wacana, sifat, gaya, atau corak kepemimpinan.
Jokowi, untuk menyebut amsal, adalah sifat yang melekat pada kepemimpinan kapitan perahu itu. Ia pemimpin yang tak didrop dari atas, punya integritas, keahlian, pola komunikasi yang efisien, tegas sekaligus lembut dan ngemong, sigap dan cepat mengambil keputusan, menjunjung transparansi, dan memberi inspirasi serta teladan.
Sudah demikian lama kepemimpinan Indonesia bersandar pada feodalisme. Sudah lama kita tak punya pemimpin yang tahu bagaimana merebut hati rakyatnya; pemimpin yang tak berlomba memupuk kekayaan pribadi dan merampok uang negara buat keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya.
Sudah terlampau terbiasa pula kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang didrop oleh uang dan keturunan, sehingga nyaris kita lupa bagaimana cara memproduksi pemimpin yang lahir dari sistem kepemimpinan kapitan.
Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa kapitan; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan.
Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp 50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan, sebagaimana watak Kapten Fransesco Schettino pada kapal Costa Concordia.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan kapitan berbasis maritim di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan kapitan nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa. ●
Kapten Fransesco Schettino mengambil tindakan berbeda dengan Kapitan Abdul Rifai yang kapalnya, Tampomas II, terbakar dan rontok di Kepulauan Masalembo pada Januari 1981. Ia tunaikan bakti akhirnya sebagai kapitan; berjuang habis-habisan agar penumpang yang ada mendapatkan hak hidupnya, sementara ia sendiri menjadi orang terakhir yang meninggalkan kapal dan memilih bakti-pati. Ia menemui pati bersama terjungkatnya Tampomas II di dasar Laut Jawa.
Kapitan perahu
Kepemimpinan maritim ini, oleh antropolog asal Makassar, Mattulada, disebut kapitan perahu. Ignas Kleden mengelaborasi gagasan Mattulada ini dengan langsung memperhadapkannya secara vis a vis dengan sistem kepemimpinan dominan di Indonesia: feodalisme.
Ciri kepemimpinan kapitan perahu bisa dibentangkan. Seorang kapitan bukan pemimpin yang didrop. Ia tumbuh dan berkembang dari bawah. Jiwa kepemimpinan dipupuk sejak kecil. Bukan aji mumpung. Bukan karena bapaknya pemimpin besar otomatis ia juga bisa dengan mudah menjadi pemimpin. Sebab, dalam nilai, yang dijunjung kepemimpinan kapitan adalah kompetensi; bahwa kamu harus kredibel dan kompeten, sebab kepemimpinanmu langsung diuji oleh kenyataan. Di laut, perubahan cuaca berlangsung cepat dan kadang tak terduga.
Pemimpin palsu atau drop-dropan langsung terlihat lemas, ambigu, dan kosong ketika berhadapan dengan situasi kritis di laut. Padahal, ketika berhadapan dengan badai, seorang kapitan yang memiliki kompetensi diharuskan mengambil keputusan cepat dan sigap pula memperbaiki kesalahan atas keputusan yang dibuat.
Seorang kapitan juga diikat etika pengorbanan. Ia orang paling akhir yang meninggalkan perahu dalam kondisi kritis. Artinya, kepemimpinan kapitan mendahulukan kepentingan perahu/negara dan penumpang/warganya ketimbang dirinya sendiri. Ia yang paling akhir sejahtera, setelah warga terlemahnya hidup layak. Ia orang yang paling akhir perutnya kenyang, setelah warganya makan semua. Kapitan perahu tidak mengenal garis darah sebagaimana sistem feodalisme yang paternalistik. Seorang kapitan adalah betul-betul ahli dan jenius dalam membawa perahu dan memimpin seluruh ABK. Dalam memilih ABK juga disesuaikan dengan kecakapan tugas, dan itu dilihat dari rekam jelajah.
Kepemimpinan kapitan perahu adalah meritokrasi dan bukan mediokrasi. Meritokrasi memberi karpet kesempatan kepada mereka yang dianggap layak dan punya prestasi serta kemampuan. Sebaliknya, mediokrasi adalah watak pragmatisme, medioker, puas dengan hal-hal yang bersifat ngambang ketimbang substansial.
Merangkul sebanyak mungkin orang untuk mengamankan kekuasaan yang sudah diraih adalah ciri mediokrasi, ketimbang membuat kebijakan-kebijakan publik yang bersandar pada kepantasan dan keadilan untuk orang banyak sebagaimana melekat pada gaya kepemimpinan meritokrasi. Dalam sukma politik meritokrasi, kekuasaan dipandang sebagai kendaraan untuk kesejahteraan.
Bukan geografis
Kepemimpinan kapitan perahu bukan soal geografis, bukan soal figur yang lahir dan besar di Jawa dan luar Jawa. Kepemimpinan kapitan adalah sistem, wacana, sifat, gaya, atau corak kepemimpinan.
Jokowi, untuk menyebut amsal, adalah sifat yang melekat pada kepemimpinan kapitan perahu itu. Ia pemimpin yang tak didrop dari atas, punya integritas, keahlian, pola komunikasi yang efisien, tegas sekaligus lembut dan ngemong, sigap dan cepat mengambil keputusan, menjunjung transparansi, dan memberi inspirasi serta teladan.
Sudah demikian lama kepemimpinan Indonesia bersandar pada feodalisme. Sudah lama kita tak punya pemimpin yang tahu bagaimana merebut hati rakyatnya; pemimpin yang tak berlomba memupuk kekayaan pribadi dan merampok uang negara buat keluarga dan sahabat-sahabat dekatnya.
Sudah terlampau terbiasa pula kita mendapatkan pemimpin-pemimpin yang didrop oleh uang dan keturunan, sehingga nyaris kita lupa bagaimana cara memproduksi pemimpin yang lahir dari sistem kepemimpinan kapitan.
Partai politik semestinya menjadi candradimuka bagi lahirnya pemimpin-pemimpin politik yang berjiwa kapitan; dididik sedari awal dengan kecakapan politik, sergap mengambil keputusan, serta tahu mengambil posisi sebagai pemberi inspirasi dan teladan.
Pemilu yang dilangsungkan dari waktu ke waktu dengan biaya hampir Rp 50 triliun hanya berhenti pada kesibukan prosedur demokrasi. Terlihat menjunjung demokrasi, tapi pada dasarnya memperkuat sistem politik neo-feodalisme. Akibatnya, pemimpin yang lahir adalah raja. Tegas dan cepat merespons jika pribadinya diusik oleh sekelompok orang. Adapun kepentingan rakyat banyak dikemudiankan setelah soal-soal pribadi terselesaikan, sebagaimana watak Kapten Fransesco Schettino pada kapal Costa Concordia.
Karena memimpin bak raja, maka gerbong keluarga akan diikutsertakan walaupun sang pemimpin tahu kredibilitas dan kompetensi anggota keluarganya hanya mengandalkan “aji mumpung” dan bersembunyi di balik kilau pamor kuasanya semata. Lain tidak. Sistem feodal jauh dari meritokrasi dan sangat dekat dengan kleptokrasi yang lemah kontrol.
Kepemimpinan kapitan berbasis maritim di salah satu negara kepulauan terbesar di dunia sudah lama menjadi angan-angan sebagai alternatif kepemimpinan feodal berbasis daratan. Tapi, faktanya, kepemimpinan kapitan nyaris tak pernah dijadikan sandaran nilai dalam melahirkan seorang pemimpin bangsa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar