|
KORAN
SINDO, 01 Juli 2013
Salah satu program kinerja USAID yang besar tantangannya
adalah program pendampingan pembentukan Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi (PPID) di kabupaten kota.
Setelah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dinyatakan efektif berlaku dua tahun kemudian (2010) mestinya setiap Badan Publik yang berhubungan dengan penyelenggaraan Negara sudah membuat PPID. Melalui lembaga ini semua hal yang menyangkut kerja pemerintahan dihimpun, diklasifikasikan, didokumentasikan, disimpan, dan dipublikasikan. Bahkan UU tersebut memberi amanah agar semua informasi dan dokumentasi tersebut dapat diakses oleh publik kecuali yang masuk klasifikasi ”dikecualikan”.
Melalui pintu masuk PPID inilah diharapkan dapat mendorong kinerja pemerintahan yang disadarkan pada semangat keterbukaan (transparasi), akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila informasi sudah terbuka untuk publik, dengan sendirinya keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan meningkat. Dapat dipastikan tingkat kepuasan masyarakat juga membesar karena masyarakat merasa menjadi bagian dari Negara, tidak lagi hanya sekadar sebagai objek kekuasaan.
Namun kenyataannya, hingga Mei 2013, di Jawa Timur terdapat 8 daerah Kabupaten/ kota yang belum membentuk PPID, yakni Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Pamekasan. Dari beberapa kali Lokakarya dan Pendampingan yang saya ikuti di beberapa daerah tersebut, ada kegamangan (khawatir yang berlebihan) bila sistem transparansi informasi benar-benar jalan: Pertama, akan menumbuhkan kekritisan masyarakat sehingga menjadi merepotkan birokrasi.
Komponen masyarakat (seperti LSM, Ormas, kelompok kritis, dan lain-lain) seolah mendapat jalan menjadi ”hantu” yang menakutkan bagi kerja pemerintahan. Pertanyaannya adalah kalau memang tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan, mengapa mesti takut buka bukaan? Justru saat ini momen yang baik untuk ”bertaubat” memilih jalan yang benar. Kedua, PPID dianggap hanya menjadi beban kerja tambahan sementara tidak ada insentif apa-apa.
Sebetulnya, secara fungsional lembagalembaga di struktur pemerintahan sudah menjalankannya. Pekerjaan menghimpun informasi, menggolek, menyajikan, melaporkan, dan sejenisnya itu sudah dilaksanakan. Di rumah sakit misalnya, penghimpunan dan pelaporan dokumen dilaksanakan untuk memenuhi akreditasi Rumah Sakit. Di perguruan tinggi, jauh hari sudah disibukkan untuk mengurus akreditasi BAN PT dan memenuhi sistem pelaporan ESBED Dikti.
Masalahnya, laporan-laporan tersebut belum diklasifikasikan berdasarkan jenis informasinya yang oleh UU 14/ 2008 menjadi informasi setiap saat, informasi serta-merta, informasi berkala, dan informasi yang dikecualikan. Justru dalam sistem transparansi informasi ini Badan Publik memiliki rumah khusus yang legal untuk menyembunyikannya (tidak mengumumkan) melalui rumah ”dikecualikan” tersebut. Ketiga, ada kekhawatiran bila PPID terbentuk kerja birokrat dalam bayang-bayang ancaman punishment penjara.
Joko Tetuko, Ketua Komisi Informasi Jatim menyatakan bahwa pasal-pasal ancaman tersebut adalah racun, yang mengacaukan optimisme keterbukaan informasi publik. Bila ditelaah, ancaman hukuman hanyalah karena dengan sengaja menghilangkan atau merusak dokumentasi publik, kemudian membuat dokumentasi publik yang menyesatkan. Hal semacam ini sesungguhnya tak ada UU 14/2008 pun masuk dalam delik pidana.
Undang-Undang KIP justru mengaturnya agar kelak persoalannya tidak menjadi liar atau anarkis. Keempat, dari beberapa lokakarya dan pendampingan, saya justru menemukan gejala aneh di internal pemerintahan kota dan kabupaten, yakni bahwa di lapisan menengah ke bawah (eselon IV, SKPD, UPTD) sudah siap dan antusias menjalankan fungsi PPID, justru di tingkat pengambil keputusan yang nampaknya masih gamang (bisa juga galau).
Hal tersebut makin mengindikasikan ada sesuatu yang hendak disembunyikan rapat-rapat sehingga bila PPID ini jalan akan terkuaklah sesuatu yang disembunyikan itu, kemudian akan mengancam kepentingannya. Kegamangan tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi bila memahami bahwa membangun transparansi informasi publik tidaklah bisa dicapai secara mendadak.
Kelakbilapengembangan institusi (institution building) sudah selesai, masih dibutuhkan kerja capacity building (pelatihan dan pembelajaran) guna mengoptimalkan sistem informasi dan publikasi, dibutuhkan sinergi dari pemerintah dengan elemen- elemenmasyarakat, dan perbaikan-perbaikan yang terus-menerus secara teknis maupun sosial budaya. Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang enggan untuk berubah? ●
Setelah UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dinyatakan efektif berlaku dua tahun kemudian (2010) mestinya setiap Badan Publik yang berhubungan dengan penyelenggaraan Negara sudah membuat PPID. Melalui lembaga ini semua hal yang menyangkut kerja pemerintahan dihimpun, diklasifikasikan, didokumentasikan, disimpan, dan dipublikasikan. Bahkan UU tersebut memberi amanah agar semua informasi dan dokumentasi tersebut dapat diakses oleh publik kecuali yang masuk klasifikasi ”dikecualikan”.
Melalui pintu masuk PPID inilah diharapkan dapat mendorong kinerja pemerintahan yang disadarkan pada semangat keterbukaan (transparasi), akuntabel (dapat dipertanggungjawabkan). Bila informasi sudah terbuka untuk publik, dengan sendirinya keikutsertaan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan akan meningkat. Dapat dipastikan tingkat kepuasan masyarakat juga membesar karena masyarakat merasa menjadi bagian dari Negara, tidak lagi hanya sekadar sebagai objek kekuasaan.
Namun kenyataannya, hingga Mei 2013, di Jawa Timur terdapat 8 daerah Kabupaten/ kota yang belum membentuk PPID, yakni Kabupaten Nganjuk, Kota Kediri, Kabupaten Lumajang, Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Jember, Kabupaten Bondowoso, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Pamekasan. Dari beberapa kali Lokakarya dan Pendampingan yang saya ikuti di beberapa daerah tersebut, ada kegamangan (khawatir yang berlebihan) bila sistem transparansi informasi benar-benar jalan: Pertama, akan menumbuhkan kekritisan masyarakat sehingga menjadi merepotkan birokrasi.
Komponen masyarakat (seperti LSM, Ormas, kelompok kritis, dan lain-lain) seolah mendapat jalan menjadi ”hantu” yang menakutkan bagi kerja pemerintahan. Pertanyaannya adalah kalau memang tidak ada penyelewengan dan penyalahgunaan, mengapa mesti takut buka bukaan? Justru saat ini momen yang baik untuk ”bertaubat” memilih jalan yang benar. Kedua, PPID dianggap hanya menjadi beban kerja tambahan sementara tidak ada insentif apa-apa.
Sebetulnya, secara fungsional lembagalembaga di struktur pemerintahan sudah menjalankannya. Pekerjaan menghimpun informasi, menggolek, menyajikan, melaporkan, dan sejenisnya itu sudah dilaksanakan. Di rumah sakit misalnya, penghimpunan dan pelaporan dokumen dilaksanakan untuk memenuhi akreditasi Rumah Sakit. Di perguruan tinggi, jauh hari sudah disibukkan untuk mengurus akreditasi BAN PT dan memenuhi sistem pelaporan ESBED Dikti.
Masalahnya, laporan-laporan tersebut belum diklasifikasikan berdasarkan jenis informasinya yang oleh UU 14/ 2008 menjadi informasi setiap saat, informasi serta-merta, informasi berkala, dan informasi yang dikecualikan. Justru dalam sistem transparansi informasi ini Badan Publik memiliki rumah khusus yang legal untuk menyembunyikannya (tidak mengumumkan) melalui rumah ”dikecualikan” tersebut. Ketiga, ada kekhawatiran bila PPID terbentuk kerja birokrat dalam bayang-bayang ancaman punishment penjara.
Joko Tetuko, Ketua Komisi Informasi Jatim menyatakan bahwa pasal-pasal ancaman tersebut adalah racun, yang mengacaukan optimisme keterbukaan informasi publik. Bila ditelaah, ancaman hukuman hanyalah karena dengan sengaja menghilangkan atau merusak dokumentasi publik, kemudian membuat dokumentasi publik yang menyesatkan. Hal semacam ini sesungguhnya tak ada UU 14/2008 pun masuk dalam delik pidana.
Undang-Undang KIP justru mengaturnya agar kelak persoalannya tidak menjadi liar atau anarkis. Keempat, dari beberapa lokakarya dan pendampingan, saya justru menemukan gejala aneh di internal pemerintahan kota dan kabupaten, yakni bahwa di lapisan menengah ke bawah (eselon IV, SKPD, UPTD) sudah siap dan antusias menjalankan fungsi PPID, justru di tingkat pengambil keputusan yang nampaknya masih gamang (bisa juga galau).
Hal tersebut makin mengindikasikan ada sesuatu yang hendak disembunyikan rapat-rapat sehingga bila PPID ini jalan akan terkuaklah sesuatu yang disembunyikan itu, kemudian akan mengancam kepentingannya. Kegamangan tersebut sebetulnya tidak perlu terjadi bila memahami bahwa membangun transparansi informasi publik tidaklah bisa dicapai secara mendadak.
Kelakbilapengembangan institusi (institution building) sudah selesai, masih dibutuhkan kerja capacity building (pelatihan dan pembelajaran) guna mengoptimalkan sistem informasi dan publikasi, dibutuhkan sinergi dari pemerintah dengan elemen- elemenmasyarakat, dan perbaikan-perbaikan yang terus-menerus secara teknis maupun sosial budaya. Pertanyaannya, siapa sesungguhnya yang enggan untuk berubah? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar