|
KORAN
SINDO, 01 Juli 2013
Integrasi ekonomi global merupakan keniscayaan sebagai policy-coordination untuk menciptakan
stabilitas ekonomi demi mendorong pertumbuhan global yang lebih berkualitas.
Ekonomi yang semakin terintegrasi membuat lalu lintas perdagangan dan investasi lebih mudah dan lancar. Namun di sisi lain, risiko ketergantungan (interdependent risk) dan risiko ketidakpastian (uncertainty risk) ekonomi domestik terhadap ekonomi kawasan dan global semakin tinggi. Krisis di wilayah lain akan cepat tertransmisi ke negara lain baik melalui perdagangan, kunjungan turis, investasi langsung maupun investasi pasar modal. Siapa pun pemimpin dunia akan berhadapan dengan paradoks integrasi ekonomi.
Bagi calon presiden Indonesia 2014–2019, hal ini perlu menjadi perhatian khusus ketika menyusun roadmap rencana pembangunan yang akan menjadi materi kampanye tahun depan. Kemajuan ekonomi Indonesia pascareformasi membuat dunia melihat Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi global. Tergabungnya Indonesia dalam G-20 dan saat ini akan menjadi ketua APEC, semakin menegaskan arti penting Indonesia kepada dunia. Investasi baik fisik maupun di pasar modal akan deras masuk ke Indonesia.
Ini membuat ekonomi Indonesia menjadi semakin terintegrasi dalam sistem perekonomian dunia. Guncangan (shock) yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat, China, Jepang, Timur Tengah, dan kawasan lain akan langsung memengaruhi kinerja perdagangan, investasi, nilai tukar, IHSG, serta target pencapaian pembangunan ekonomi dan kesejahteraan lainnya. Integrasi ekonomi global berjalan dengan cepat dan sering kali menghasilkan hal-hal di luar kendali pengambil kebijakan (policy maker).
Hal ini ditandai tiga hal. Pertama, laju dan skala integrasi ekonomi saat ini bergerak begitu cepat dan unpredictable. Kedua, pergeseran kekuatan ekonomi dan geopolitik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sebagian Eropa ke kawasan Asia, yang ditandai dengan munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Korea Selatan, dan Indonesia. Kawasan Asia menjelma menjadi kawasan yang dinamis dan penting bagi pola perdagangan, investasi, dan pengembangan teknologi dunia.
Lebih dari separuh pertumbuhan dunia saat ini dikontribusikan oleh Asia. Ketiga, fenomena pasar modal (capital market). Mobilisasi modal saat ini semakin cepat dengan kehadiran pasar modal sebagai media transaksi dan pertukaran informasi. Kompleksitas dalam dunia pasar modal telah mengubah konfigurasi alur modal dan membedakannya dengan pola investasi asing 100 tahun lalu.
Para pemilik modal global dapat melakukan investasi dan mengelola portofolio investasinya di seluruh belahan dunia pada hitungan detik (real time) dengan bantuan technology advancement. Yang tak kalah menarik, dinamika pasar modal telah berubah menjadi indikator ekonomi global yang dijadikan salah satu rujukan utama dalam memotret berbagai perubahan ekonomi dunia.
Kompleksitas dan dinamika pasar modal menjadikan integrasi ekonomi global, khususnya di sektor keuangan menjadi highly sensitive. Efek transmisi yang terjadi pada satu ekonomi negara akan berdampak langsung pada ekonomi negara lainnya melalui media pasar modal, pasar uang, dan aktivitas perdagangan. Akibatnya sentimen perubahan di pasar modal dan pasar uang juga semakin tinggi.
Vulnerabilitas ekonomi domestik melalui efek transmisi di pasar modal dan pasar uang akan berdampak pada kebijakan fiskal dan moneter suatu negara. Hal ini juga terjadi akhirakhir ini ketika Indonesia harus memitigasi dampak kebijakan yang ditempuh negara lain. Misalkan saja, akibat pengumuman The Fed terkait percepatan tapering off (penghentian) quantitative easing (QE) dari rencana awal mid 2015 menjadi awal 2014, IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Kamis (20/6), anjlok 176,66 poin (3,68%) ke level 4.629,99.
Meskipun pada penutupan perdagangan Jumat (28/6), IHSG ditutup menguat 143,15 poin menjadi 4.818, bayang-bayang ketidakpastian dan sentimen global akan berdampak langsung terhadap kinerja ekonomi nasional. Tekanan terhadap IHSG dalam beberapa hari terakhir ini juga telah mendorong rupiah terdepresiasi. Nilai mata uang rupiah menyentuh di atas Rp10.000 per dolar AS pada penutupan 10 Juni 2013.
Kendati demikian, kesehatan dan fundamental perekonomian domestik masih relatif kuat. Ini berbeda dengan kondisi 2008 di mana harga minyak dan komoditas cenderung tinggi, inflasi tinggi, likuiditas pasar modal kecil, capital inflow lebih rendah, serta cadangan devisa relatif kecil, sehingga membatasi ruang gerak operasi moneter. Begitu juga arus masuk modal asing (capital inflow) di pasar modal Indonesia masih cukup besar, sehingga mampu meredam capital outflow.
Cadangan devisa Indonesia sangat memadai untuk pelaksanaan operasi moneter jika diperlukan. Data per 31 Mei 2013, cadangan devisa Indonesia sebesar USD105 miliar dibandingkan USD52 miliar di 2008. Upaya mitigasi tengah dilakukan dalam bentuk bauran kebijakan (moneter dan fiskal) untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko dari tapering off QE di Amerika Serikat.
Misalnya suku bunga acuan BI dinaikkan menjadi 6%, memperkuat nilai tukar rupiah dengan operasi moneter, dual intervention ke pasar valas dan pasar uang, pendalaman pasar rupiah dan valas dengan instrumen-instrumen seperti lelang surat berharga negara melalui pasar sekunder, meninjaukebijakan makro prudential termasuk pertumbuhan kredit sektor-sektor tertentu dan memperkuat koordinasi untuk menjaga stabilitas makro serta memitigasi ekspektasi inflasi. Dapat dipastikan, ekonomi Indonesia ke depan, 2014– 2019, akan semakin terintegrasi dengan sistem ekonomi global.
Pelaku pasar, perusahaan multinasional, dan pelaku ekonomi domestik tidak hanya menjadikan indikator ekonomi nasional sebagai acuan dan dasar keputusan investasi. Indikator dan sentimen regional serta global juga menjadi faktor pembentuk penting dalam pengambilan keputusan strategis mereka. Kesigapan dalam ”policy-responses” untuk antisipasi dan mitigasi menjadi faktor penting untuk membuat ekonomi Indonesia tetap resilient dan berdaya saing.
Konsekuensi dari terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia adalah pengambil kebijakan tidak dapat mengesampingkan apa yang terjadi di negara dan kawasan lain. Sering kali kebijakan yang akan ditempuh merupakan respons dari kebijakan yang ditempuh negara lain. Misalnya ketika saat ini Jepang melakukan kebijakan depresiasi yen, hal ini membuat banyak negara berkembang mencari cara untuk meningkatkan nilai ekspor bagi produk yang memiliki ”kemiripan” dengan yang dihasilkan Jepang di pasar internasional.
Pada masa-masa mendatang, koordinasi dan kecepatan untuk antisipasi-responsif kebijakan pangan, energi, investasi, perdagangan, tenaga kerja, moneter, dan fiskal perlu terus dilakukan dalam intensitas yang jauh lebih tinggi. ●
Ekonomi yang semakin terintegrasi membuat lalu lintas perdagangan dan investasi lebih mudah dan lancar. Namun di sisi lain, risiko ketergantungan (interdependent risk) dan risiko ketidakpastian (uncertainty risk) ekonomi domestik terhadap ekonomi kawasan dan global semakin tinggi. Krisis di wilayah lain akan cepat tertransmisi ke negara lain baik melalui perdagangan, kunjungan turis, investasi langsung maupun investasi pasar modal. Siapa pun pemimpin dunia akan berhadapan dengan paradoks integrasi ekonomi.
Bagi calon presiden Indonesia 2014–2019, hal ini perlu menjadi perhatian khusus ketika menyusun roadmap rencana pembangunan yang akan menjadi materi kampanye tahun depan. Kemajuan ekonomi Indonesia pascareformasi membuat dunia melihat Indonesia sebagai salah satu kekuatan ekonomi global. Tergabungnya Indonesia dalam G-20 dan saat ini akan menjadi ketua APEC, semakin menegaskan arti penting Indonesia kepada dunia. Investasi baik fisik maupun di pasar modal akan deras masuk ke Indonesia.
Ini membuat ekonomi Indonesia menjadi semakin terintegrasi dalam sistem perekonomian dunia. Guncangan (shock) yang terjadi di Eropa, Amerika Serikat, China, Jepang, Timur Tengah, dan kawasan lain akan langsung memengaruhi kinerja perdagangan, investasi, nilai tukar, IHSG, serta target pencapaian pembangunan ekonomi dan kesejahteraan lainnya. Integrasi ekonomi global berjalan dengan cepat dan sering kali menghasilkan hal-hal di luar kendali pengambil kebijakan (policy maker).
Hal ini ditandai tiga hal. Pertama, laju dan skala integrasi ekonomi saat ini bergerak begitu cepat dan unpredictable. Kedua, pergeseran kekuatan ekonomi dan geopolitik dari negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan sebagian Eropa ke kawasan Asia, yang ditandai dengan munculnya kekuatan ekonomi baru seperti China, India, Korea Selatan, dan Indonesia. Kawasan Asia menjelma menjadi kawasan yang dinamis dan penting bagi pola perdagangan, investasi, dan pengembangan teknologi dunia.
Lebih dari separuh pertumbuhan dunia saat ini dikontribusikan oleh Asia. Ketiga, fenomena pasar modal (capital market). Mobilisasi modal saat ini semakin cepat dengan kehadiran pasar modal sebagai media transaksi dan pertukaran informasi. Kompleksitas dalam dunia pasar modal telah mengubah konfigurasi alur modal dan membedakannya dengan pola investasi asing 100 tahun lalu.
Para pemilik modal global dapat melakukan investasi dan mengelola portofolio investasinya di seluruh belahan dunia pada hitungan detik (real time) dengan bantuan technology advancement. Yang tak kalah menarik, dinamika pasar modal telah berubah menjadi indikator ekonomi global yang dijadikan salah satu rujukan utama dalam memotret berbagai perubahan ekonomi dunia.
Kompleksitas dan dinamika pasar modal menjadikan integrasi ekonomi global, khususnya di sektor keuangan menjadi highly sensitive. Efek transmisi yang terjadi pada satu ekonomi negara akan berdampak langsung pada ekonomi negara lainnya melalui media pasar modal, pasar uang, dan aktivitas perdagangan. Akibatnya sentimen perubahan di pasar modal dan pasar uang juga semakin tinggi.
Vulnerabilitas ekonomi domestik melalui efek transmisi di pasar modal dan pasar uang akan berdampak pada kebijakan fiskal dan moneter suatu negara. Hal ini juga terjadi akhirakhir ini ketika Indonesia harus memitigasi dampak kebijakan yang ditempuh negara lain. Misalkan saja, akibat pengumuman The Fed terkait percepatan tapering off (penghentian) quantitative easing (QE) dari rencana awal mid 2015 menjadi awal 2014, IHSG di Bursa Efek Indonesia (BEI), pada Kamis (20/6), anjlok 176,66 poin (3,68%) ke level 4.629,99.
Meskipun pada penutupan perdagangan Jumat (28/6), IHSG ditutup menguat 143,15 poin menjadi 4.818, bayang-bayang ketidakpastian dan sentimen global akan berdampak langsung terhadap kinerja ekonomi nasional. Tekanan terhadap IHSG dalam beberapa hari terakhir ini juga telah mendorong rupiah terdepresiasi. Nilai mata uang rupiah menyentuh di atas Rp10.000 per dolar AS pada penutupan 10 Juni 2013.
Kendati demikian, kesehatan dan fundamental perekonomian domestik masih relatif kuat. Ini berbeda dengan kondisi 2008 di mana harga minyak dan komoditas cenderung tinggi, inflasi tinggi, likuiditas pasar modal kecil, capital inflow lebih rendah, serta cadangan devisa relatif kecil, sehingga membatasi ruang gerak operasi moneter. Begitu juga arus masuk modal asing (capital inflow) di pasar modal Indonesia masih cukup besar, sehingga mampu meredam capital outflow.
Cadangan devisa Indonesia sangat memadai untuk pelaksanaan operasi moneter jika diperlukan. Data per 31 Mei 2013, cadangan devisa Indonesia sebesar USD105 miliar dibandingkan USD52 miliar di 2008. Upaya mitigasi tengah dilakukan dalam bentuk bauran kebijakan (moneter dan fiskal) untuk mengantisipasi dan memitigasi risiko dari tapering off QE di Amerika Serikat.
Misalnya suku bunga acuan BI dinaikkan menjadi 6%, memperkuat nilai tukar rupiah dengan operasi moneter, dual intervention ke pasar valas dan pasar uang, pendalaman pasar rupiah dan valas dengan instrumen-instrumen seperti lelang surat berharga negara melalui pasar sekunder, meninjaukebijakan makro prudential termasuk pertumbuhan kredit sektor-sektor tertentu dan memperkuat koordinasi untuk menjaga stabilitas makro serta memitigasi ekspektasi inflasi. Dapat dipastikan, ekonomi Indonesia ke depan, 2014– 2019, akan semakin terintegrasi dengan sistem ekonomi global.
Pelaku pasar, perusahaan multinasional, dan pelaku ekonomi domestik tidak hanya menjadikan indikator ekonomi nasional sebagai acuan dan dasar keputusan investasi. Indikator dan sentimen regional serta global juga menjadi faktor pembentuk penting dalam pengambilan keputusan strategis mereka. Kesigapan dalam ”policy-responses” untuk antisipasi dan mitigasi menjadi faktor penting untuk membuat ekonomi Indonesia tetap resilient dan berdaya saing.
Konsekuensi dari terintegrasinya ekonomi Indonesia dengan ekonomi dunia adalah pengambil kebijakan tidak dapat mengesampingkan apa yang terjadi di negara dan kawasan lain. Sering kali kebijakan yang akan ditempuh merupakan respons dari kebijakan yang ditempuh negara lain. Misalnya ketika saat ini Jepang melakukan kebijakan depresiasi yen, hal ini membuat banyak negara berkembang mencari cara untuk meningkatkan nilai ekspor bagi produk yang memiliki ”kemiripan” dengan yang dihasilkan Jepang di pasar internasional.
Pada masa-masa mendatang, koordinasi dan kecepatan untuk antisipasi-responsif kebijakan pangan, energi, investasi, perdagangan, tenaga kerja, moneter, dan fiskal perlu terus dilakukan dalam intensitas yang jauh lebih tinggi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar