|
KOMPAS,
16 Juli 2013
Kode pidana (penal
code) merupakan kompilasi rumusan-rumusan perbuatan yang dinyatakan sebagai
perbuatan pidana disertai dengan pidana (hukuman) yang akan dijatuhkan apabila
perbuatan tersebut dilakukan.
Dalam sebuah
yurisdiksi, kode pidana itu mengompilasi semua atau hampir semua rumusan
pemidanaan yang berlaku di dalam yurisdiksi tersebut. Pada masa Napoleon
Bonaparte, Perancis mampu mengodifikasikan semua rumusan pemidanaan yang ada di
Perancis ke dalam sebuah kode pidana. Sampai kini, kode pidana itu selalu
di-update sesuai dengan perkembangan di Perancis sehingga rakyat Perancis
bisa mendapatkan seluruh atau hampir seluruh rumusan pemidanaan yang berlaku di
Perancis di dalam satu kode pidana tersebut.
Ini
menunjukkan, Napoleon adalah pemimpin yang visioner dan bukan elite politik
kelas capung. Negara-negara lain penganut sistem civil law umumnya
juga seperti itu.
Belantara pidana saat
ini
Sampai kini,
rumusan pemidanaan di Indonesia tersebar di dalam belantara undang-undang (UU).
Rumusan pemidanaan yang secara resmi berlaku di Indonesia tercantum di Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) (UU Nomor 1 Tahun 1946). Di samping itu,
terdapat ratusan pasal yang memuat rumusan pemidanaan yang tersebar di 156 UU
lainnya. Ini belum memasukkan pasal-pasal pemidanaan yang dirumuskan di dalam
ribuan peraturan daerah. Penyebaran pasal pemidanaan dalam belantara UU ini
telah diidentifikasi Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada
http://hukumpidana.bphn.go.id, tetapi belum bisa dikodifikasikan seluruhnya ke
dalam KUHP.
Penyebaran
rumusan pemidanaan di dalam ratusan UU tersebut menjadikan secara praktikal
tidak mungkin bagi rakyat Indonesia untuk dapat mengetahui secara keseluruhan
perbuatan-perbuatan pidana yang harus dihindari. Para penegak hukum pun akan
mengalami kesulitan untuk mengetahui keseluruhan pasal-pasal pemidanaan yang
harus ditegakkan. Bahkan, para legislator pun akan mengalami kesulitan
mengawasi pelaksanaan pasal-pasal pemidanaan tersebut. Lalu, kalau tidak akan
dapat ditegakkan dan tidak dapat mengawasi pelaksanaannya, kenapa pasal-pasal
pemidanaan tersebut dulu dibuat?
Sebenarnya,
menjadi sebuah kabar yang membanggakan bahwa Presiden telah menyampaikan RUU
KUHP kepada DPR untuk segera dibahas dan disetujui menjadi KUHP. Ini
membanggakan mengingat usaha untuk memperbarui KUHP sudah dilakukan puluhan
tahun, tetapi masih belum berhasil menghasilkan KUHP yang baru.
Namun, setelah
mempelajari isi RUU KUHP, ternyata akan menggantang asap jika rakyat Indonesia
berharap bahwa setelah ada KUHP yang baru, rumusan pemidanaan menjadi tidak
tersebar di belantara UU lagi. Hal ini karena RUU KUHP tak sepenuhnya
mengakomodasi pasal-pasal pemidanaan yang secara hukum masih berlaku dan
tersebar di 156 UU lain.
RUU KUHP juga
tidak secara akurat mencabut pasal-pasal tersebut. RUU KUHP yang menyatakan
”semua ketentuan pidana yang diatur dalam UU di luar UU ini dinyatakan tetap
berlaku sepanjang materinya tidak diatur dalam UU ini” menunjukkan bahwa
penyusun RUU KUHP tak mampu mengidentifikasi satu per satu pasal-pasal
pemidanaan yang tersebar dalam belantara UU yang lain. Akibatnya, diprediksi
bahwa setelah RUU KUHP ditetapkan menjadi UU KUHP, hukum pidana Indonesia akan
tetap masih tersebar di belantara UU yang akan memunculkan beragam multitafsir.
Selain itu,
tidak ditemukan ada studi yang bisa menunjukkan pasal-pasal KUHP yang selama
ini telah dapat ditegakkan secara efektif, pasal-pasal yang setengah efektif,
dan pasal-pasal yang tidak efektif. Demikian juga terhadap pasal-pasal
pemidanaan yang tersebar dalam ratusan UU lain itu. Lalu, apa gunanya merevisi
UU kalau kita tak mempelajari terlebih dahulu efektivitas pelaksanaan dan
penegakan dari UU yang akan direvisi.
Membangun kode pidana
Langkah-langkah
logis sebenarnya dengan mudah dapat dirumuskan untuk menghasilkan KUHP baru
yang benar-benar akan menjadi kode pidana Indonesia. Langkah-langkah tersebut,
pertama, mengompilasi semua pasal pemidanaan yang berlaku yang ada di dalam
KUHP dan yang tersebar di 156 UU lainnya, lalu mengodifikasikannya ke dalam RUU
KUHP.
Kedua,
merumuskan pasal-pasal di dalam RUU KUHP yang diperlukan untuk mencabut semua
pasal pemidanaan yang tersebar di 156 UU termaksud di atas. Pencabutan pasal
per pasal ini diperlukan agar setiap orang menjadi tahu secara akurat bahwa
suatu pasal pemidanaan sudah dicabut dan hal ini tidak dapat ditafsirkan lain.
Langkah ketiga,
melakukan harmonisasi, sinkronisasi, dan integrasi pasal-pasal yang sudah
dikodifikasikan dalam RUU KUHP.
Keempat,
dilanjutkan dengan memasukkan dan menambahkan pemikiran-pemikiran baru,
pemikiran berdasarkan hasil evaluasi efektivitas pelaksanaan pasal-pasal pidana
yang telah ada, kebutuhan-kebutuhan baru, dan sinkronisasi dengan hukum pidana
di dunia internasional.
Dengan
langkah-langkah di atas, Indonesia akan memiliki satu KUHP dengan semua pasal
pemidanaan sudah akan terkodifikasikan di dalam KUHP. Setidak-tidaknya,
sebagian besarnya terkodifikasi di dalam KUHP tersebut. Selanjutnya, setiap
kali DPR membuat UU baru yang di dalamnya terdapat pasal pemidanaan, pasal
pemidanaan itu harus dirumuskan sebagai amendemen yang menjadi sisipan pada
KUHP. Dengan demikian, ke depan, tidak muncul lagi pasal-pasal pemidanaan yang
dirumuskan di luar KUHP.
Dengan begitu,
seluruh rakyat Indonesia akan lebih mudah mengetahui keseluruhan perbuatan
pidana yang harus dihindari. Para penegak hukum akan lebih mudah mengetahui
hukum pidana yang harus ditegakkan dan para legislator tetap akan lebih mudah
mengawasi pelaksanaan hukum pidana yang telah mereka buat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar