|
KOMPAS,
16 Juli 2013
Rancangan
Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan telah menimbulkan berbagai
pertanyaan tentang dasar pertimbangan, urgensi, tujuan, dan dampaknya.
Pembahasan di sini didasarkan pada draf RUU 2 Juli 2013. Dalam Pasal 40 Ayat 1
dinyatakan, ”Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Ormas
untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas”.
Dengan teknik
penelitian analisis konten akan segera terlihat bahwa tujuan yang mulia itu
tidak tecermin dalam seluruh naskah RUU Ormas. Tentang pemberdayaan ormas hanya
tersedia tiga pasal (40, 41, 42) yang berisikan 12 ayat.
Adapun dengan
pemberdayaan ormas dimaksudkan (1) fasilitasi kebijakan berupa peraturan
perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan ormas; (2) penguatan
kelembagaan; dan (3) peningkatan SDM. Penguatan kelembagaan bukanlah hal baru
karena setiap ormas yang serius selalu punya program pengembangan kelembagaan
dan kapasitas. Juga, pengembangan SDM selalu dilaksanakan, melalui programhuman
resource development.
Dengan
demikian, pasal-pasal tentang pemberdayaan ini serba sumir dan tidak memberi
keterangan tambahan yang dapat menolong praktik ormas dan memberdayakan kinerja
ormas.
Sebaliknya, bab
tentang sanksi untuk ormas sangat luas dan rinci. Bab ini terdiri dari 23 pasal
(Pasal 60-Pasal 82), berisi 59 ayat yang isinya berputar sekitar bentuk sanksi
administratif untuk ormas dan penjabaran pelaksanaan sanksi tersebut. Ada empat
bentuk sanksi administratif, yaitu (1) peringatan tertulis; (2) penghentian
bantuan atau hibah; dan/atau (3) penghentian sementara kegiatan; dan/atau (4)
pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Saksi mendidik
Sungguh
mengherankan bahwa dalam RUU yang bertujuan memberdayakan kinerja ormas dan
menjamin keberlangsungan hidupnya tak ada sama sekali bentuk sanksi yang mendidik
dan memberdayakan, selain sanksi yang menghukum.
Kecenderungan
menghukum ini menjadi lebih nyata dalam Pasal 65 Ayat 1 dan Ayat 2. Ayat 1
mengatakan, ”Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan
terhadap Ormas lingkup nasional, Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum
dari Mahkamah Agung”. Seterusnya Ayat 2: ”Apabila dalam jangka waktu paling
lama 14 (empat belas) hari Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum,
Pemerintah berwewenang menjatuhkan sanksi sementara penghentian kegiatan”.
Kita bertanya,
mengapa hanya 14 hari dan bukan 30 atau 60 hari karena ini menyangkut kerja dan
keberlangsungan hidup ormas yang konon menjadi tujuan RUU ini? Selanjutnya,
aneh benar bahwa jika MA dalam jangka waktu 14 hari tidak memberi pertimbangan,
maka pemerintah berwewenang menjatuhkan sanksi. Mengapa ayat ini demikian
permisif dalam menjatuhkan sanksi?
Mengapa belum
sempatnya MA memberikan pertimbangan harus berakibat dipercepatnya jatuhnya
sanksi pada sebuah ormas? Mengapa MA tak diminta kembali pertimbangannya atau
diberi peringatan untuk menanggapi permintaan pemerintah dan diberi waktu lebih
banyak?
Sukar bagi kita
memahami mengapa RUU ini disusun dengan semangat yang amat memberatkan ormas,
jauh dari tujuan memberdayakan. Apakah jumlah ormas yang cukup besar, yaitu
139.957 (mendekati 140.000), membuat pemerintah khawatir dan membuat DPR tak
nyaman? Mengapa pertumbuhan ormas tak diapresiasi sebagai hidupnya kreativitas
sosial-politik kelompok-kelompok masyarakat dalam mengatur dirinya dan turut
mengembangkan kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan anggota masyarakatnya?
RUU ini juga
mewajibkan ormas untuk transparan dan akuntabel dalam keuangan. Kita akan
menaruh respek kepada DPR yang menyusun RUU ini kalau lembaga yang terhormat
itu memberi teladan dalam transparansi dan akuntabilitas. Ambil contoh studi
banding yang dilakukan anggota DPR ke sejumlah negara. Perjalanan, akomodasi,
konsumsi, dan biaya lain untuk studi banding ini jelas menggunakan dana publik
yang tidak sedikit.
Akuntabilitas tercapai
kalau ada transparansi berupa laporan mengenai keuangan yang digunakan, dan
laporan hasil studi banding yang telah dilakukan, dan yang kemudian diumumkan
dalam bentuk yang bisa diakses oleh publik. Kalau setelah studi banding
selesai, seorang anggota Dewan tak bisa memberikan dua laporan itu, maka dia,
demi kehormatan dan martabatnya sebagai anggota Dewan, harus mengembalikan
biaya studi banding, misalnya melalui pemotongan gaji sebanyak dana studi
banding yang telah digunakannya. Apakah ini pernah dilakukan?
Patut diakui,
akuntabilitas dan transparansi masih menjadi masalah juga untuk sejumlah ormas.
Namun, perbaikan tidak bisa dilakukan hanya dengan sanksi administratif, tetapi
dengan motivasi dan monitoring untuk melakukan audit keuangan dan audit program
oleh sebuah lembaga auditor independen yang punya reputasi yang baik.
Transparansi dana
bantuan asing
Masih dalam
kaitan dengan transparansi dan akuntabilitas, Menteri Dalam Negeri Gamawan
Fauzi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kejelasan dana dari bantuan asing
untuk ormas sangat penting karena ”kalau tidak jelas, bisa saja dana itu
dipakai untuk kepentingan teroris, pencucian uang, dan misi-misi lain yang
merugikan bangsa kita” (Kompas, 4/7/2013). Pernyataan itu mungkin perlu dibuat
oleh seorang menteri dalam tugasnya, tetapi jauh dari proporsi yang wajar dan
lebih menunjukkan ketidaktahuan seorang pejabat tinggi negara tentang
ekonomi-politik nasional.
Menurut risalah
Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), edisi Juni
2013, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian
Keuangan, seluruh utang pemerintah pusat sampai Mei 2013 adalah Rp 2.036,54
triliun. Dari besaran utang itu, komponen pinjaman luar negeri adalah Rp 573,43
triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, pinjaman
komersial, suppliers, dan lain-lain. Komponen lainnya adalah Surat
Berharga Negara (SBN) Rp 1.461,28 triliun yang dijual kepada investor domestik
dan investor asing.
Kalau besarnya
pinjaman luar negeri dan utang pemerintah pusat ini dibandingkan dengan
besarnya dana asing yang diterima oleh ormas-ormas di Indonesia, maka
kekhawatiran Gamawan Fauzi sungguh berlebihan karena terlihat bahwa kalau
dibandingkan, dana asing untuk ormas hanyalah duit receh. Pertanyaan yang
sangat wajar adalah mengapa tidak dipikirkan dan disusun suatu RUU untuk
mengawasi lebih ketat penggunaan utang pemerintah dan pinjaman luar negeri yang
demikian gigantis ukurannya, yang menjadi tanggungan semua warga negara
Indonesia di masa sekarang dan di masa depan? Apakah diawasi dengan
sungguh-sungguh agar dana sebesar itu tidak disalahgunakan melalui korupsi dan
pemanfaatan bagi tujuan politik para politisi? Mengapa amat cemas tentang dana
asing dalam jumlah kecil yang diberikan kepada ormas-ormas di Indonesia?
Cermin sikap naif
Tentulah tidak
boleh diasumsikan bahwa baik DPR maupun pemerintah ingin menghilangkan peran
ormas dalam urusan publik, dan seakan-akan menyerahkan seluruh urusan publik ke
tangan pemerintah saja. Akan tetapi, seandainya ada pemikiran seperti itu, maka
itu hanya cerminan sikap naif dalam melihat
pembangunan. Di dunia kita dewasa ini kerja sama antara pemerintah
(G to G collaboration) tidak lebih penting daripada kerja sama antarmasyarakat sipil internasional (People to People collaboration).
pembangunan. Di dunia kita dewasa ini kerja sama antara pemerintah
(G to G collaboration) tidak lebih penting daripada kerja sama antarmasyarakat sipil internasional (People to People collaboration).
Sudah terbukti
bahwa berbagai isu besar dalam pembangunan tidak akan terpikirkan tanpa peran
masyarakat sipil internasional melalui gerakan sosial. Masalah-masalah seperti
lingkungan hidup, perubahan iklim, HAM, kesetaraan jender, hak kaum minoritas
dan hak kaum difabel tak akan menjadi penting dalam kebijakan publik tanpa
militansi ormas-ormas dalam masyarakat sipil di berbagai belahan dunia. Ini tak
berarti negara tak punya peranan dalam mengidentifikasi masalah-masalah tersebut,
tetapi memang banyak sekali persoalan berada beyond the horizon of the state atau berada di luar kerangka
persepsi dan kerangka kepentingan lembaga-lembaga negara, yang harus memusatkan
perhatian pada masalah yang jadi tanggung jawab mereka.
Apa pun
soalnya, RUU Ormas bisa menjadi kasus yang mengharuskan kita membicarakan
kembali masalah legislasi yang menjadi hak dan sekaligus tugas DPR. Apakah ada
ketentuan tentang berapa jumlah minimum UU yang harus dihasilkan oleh DPR dalam
masa tugas mereka? Seterusnya, apakah ada kriteria yang memungkinkan kita
menilai dan mengukur sejauh mana sebuah RUU menjawab kebutuhan dan masalah yang
ada dalam negara dan masyarakat Indonesia pada suatu masa? Dengan kata lain,
sebelum dibuat UU lain, sangat perlu disusun UU tentang pembuatan
undang-undang, yaitu legislasi tentang legislasi.
Sebuah UU
menjadi sah kalau mendapatkan persetujuan dari suara terbanyak anggota Dewan
dalam fraksi. Namun, persetujuan anggota Dewan barulah menjamin legalitas UU.
Apakah UU itu akan dipatuhi atau tidak masih tergantung pada kelayakan UU itu
untuk diterima dan diakui masyarakat, dan menentukan legitimasinya. Sebuah UU
yang mempunyai legalitas tetapi tanpa legitimasi yang kuat akan mendorong
masyarakat untuk mencari kelemahan dalam pasal-pasalnya untuk menghindar secara
legal dari tuntutan UU. Sebaliknya, UU dengan legitimasi yang kuat akan
mengundang kepatuhan masyarakat untuk memenuhi tuntutannya karena
adanya sense of belonging terhadap produk hukum yang
merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal
inilah anggota DPR yang terhormat sebaiknya berhati-hati, apakah mereka hanya
mempermainkan legalitas dalam pembuatan UU atau mempertimbangkan berbagai
alasan UU yang disusun mendapat legitimasi yang cukup. Karena, dalam proses
legislasi legalitas bisa dimainkan, tetapi legitimasi tak pernah tunduk kepada
manipulasi secanggih apa pun. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar