Minggu, 21 Juli 2013

Legislasi, Legalitas, Legitimasi

Legislasi, Legalitas, Legitimasi
Ignas Kleden ;   Ketua Komunitas Indonesia untuk Demokrasi
KOMPAS, 16 Juli 2013


Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan telah menimbulkan berbagai pertanyaan tentang dasar pertimbangan, urgensi, tujuan, dan dampaknya. Pembahasan di sini didasarkan pada draf RUU 2 Juli 2013. Dalam Pasal 40 Ayat 1 dinyatakan, ”Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan pemberdayaan Ormas untuk meningkatkan kinerja dan menjaga keberlangsungan hidup Ormas”.
Dengan teknik penelitian analisis konten akan segera terlihat bahwa tujuan yang mulia itu tidak tecermin dalam seluruh naskah RUU Ormas. Tentang pemberdayaan ormas hanya tersedia tiga pasal (40, 41, 42) yang berisikan 12 ayat.
Adapun dengan pemberdayaan ormas dimaksudkan (1) fasilitasi kebijakan berupa peraturan perundang-undangan yang mendukung pemberdayaan ormas; (2) penguatan kelembagaan; dan (3) peningkatan SDM. Penguatan kelembagaan bukanlah hal baru karena setiap ormas yang serius selalu punya program pengembangan kelembagaan dan kapasitas. Juga, pengembangan SDM selalu dilaksanakan, melalui programhuman resource development.
Dengan demikian, pasal-pasal tentang pemberdayaan ini serba sumir dan tidak memberi keterangan tambahan yang dapat menolong praktik ormas dan memberdayakan kinerja ormas.
Sebaliknya, bab tentang sanksi untuk ormas sangat luas dan rinci. Bab ini terdiri dari 23 pasal (Pasal 60-Pasal 82), berisi 59 ayat yang isinya berputar sekitar bentuk sanksi administratif untuk ormas dan penjabaran pelaksanaan sanksi tersebut. Ada empat bentuk sanksi administratif, yaitu (1) peringatan tertulis; (2) penghentian bantuan atau hibah; dan/atau (3) penghentian sementara kegiatan; dan/atau (4) pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.
Saksi mendidik
Sungguh mengherankan bahwa dalam RUU yang bertujuan memberdayakan kinerja ormas dan menjamin keberlangsungan hidupnya tak ada sama sekali bentuk sanksi yang mendidik dan memberdayakan, selain sanksi yang menghukum.
Kecenderungan menghukum ini menjadi lebih nyata dalam Pasal 65 Ayat 1 dan Ayat 2. Ayat 1 mengatakan, ”Dalam hal penjatuhan sanksi penghentian sementara kegiatan terhadap Ormas lingkup nasional, Pemerintah wajib meminta pertimbangan hukum dari Mahkamah Agung”. Seterusnya Ayat 2: ”Apabila dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari Mahkamah Agung tidak memberikan pertimbangan hukum, Pemerintah berwewenang menjatuhkan sanksi sementara penghentian kegiatan”.
Kita bertanya, mengapa hanya 14 hari dan bukan 30 atau 60 hari karena ini menyangkut kerja dan keberlangsungan hidup ormas yang konon menjadi tujuan RUU ini? Selanjutnya, aneh benar bahwa jika MA dalam jangka waktu 14 hari tidak memberi pertimbangan, maka pemerintah berwewenang menjatuhkan sanksi. Mengapa ayat ini demikian permisif dalam menjatuhkan sanksi?
Mengapa belum sempatnya MA memberikan pertimbangan harus berakibat dipercepatnya jatuhnya sanksi pada sebuah ormas? Mengapa MA tak diminta kembali pertimbangannya atau diberi peringatan untuk menanggapi permintaan pemerintah dan diberi waktu lebih banyak?
Sukar bagi kita memahami mengapa RUU ini disusun dengan semangat yang amat memberatkan ormas, jauh dari tujuan memberdayakan. Apakah jumlah ormas yang cukup besar, yaitu 139.957 (mendekati 140.000), membuat pemerintah khawatir dan membuat DPR tak nyaman? Mengapa pertumbuhan ormas tak diapresiasi sebagai hidupnya kreativitas sosial-politik kelompok-kelompok masyarakat dalam mengatur dirinya dan turut mengembangkan kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan anggota masyarakatnya?
RUU ini juga mewajibkan ormas untuk transparan dan akuntabel dalam keuangan. Kita akan menaruh respek kepada DPR yang menyusun RUU ini kalau lembaga yang terhormat itu memberi teladan dalam transparansi dan akuntabilitas. Ambil contoh studi banding yang dilakukan anggota DPR ke sejumlah negara. Perjalanan, akomodasi, konsumsi, dan biaya lain untuk studi banding ini jelas menggunakan dana publik yang tidak sedikit.
Akuntabilitas tercapai kalau ada transparansi berupa laporan mengenai keuangan yang digunakan, dan laporan hasil studi banding yang telah dilakukan, dan yang kemudian diumumkan dalam bentuk yang bisa diakses oleh publik. Kalau setelah studi banding selesai, seorang anggota Dewan tak bisa memberikan dua laporan itu, maka dia, demi kehormatan dan martabatnya sebagai anggota Dewan, harus mengembalikan biaya studi banding, misalnya melalui pemotongan gaji sebanyak dana studi banding yang telah digunakannya. Apakah ini pernah dilakukan?
Patut diakui, akuntabilitas dan transparansi masih menjadi masalah juga untuk sejumlah ormas. Namun, perbaikan tidak bisa dilakukan hanya dengan sanksi administratif, tetapi dengan motivasi dan monitoring untuk melakukan audit keuangan dan audit program oleh sebuah lembaga auditor independen yang punya reputasi yang baik.
Transparansi dana bantuan asing
Masih dalam kaitan dengan transparansi dan akuntabilitas, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi beberapa waktu lalu mengatakan bahwa kejelasan dana dari bantuan asing untuk ormas sangat penting karena ”kalau tidak jelas, bisa saja dana itu dipakai untuk kepentingan teroris, pencucian uang, dan misi-misi lain yang merugikan bangsa kita” (Kompas, 4/7/2013). Pernyataan itu mungkin perlu dibuat oleh seorang menteri dalam tugasnya, tetapi jauh dari proporsi yang wajar dan lebih menunjukkan ketidaktahuan seorang pejabat tinggi negara tentang ekonomi-politik nasional.
Menurut risalah Profil Utang Pemerintah Pusat (Pinjaman dan Surat Berharga Negara), edisi Juni 2013, yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan, seluruh utang pemerintah pusat sampai Mei 2013 adalah Rp 2.036,54 triliun. Dari besaran utang itu, komponen pinjaman luar negeri adalah Rp 573,43 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral, pinjaman multilateral, pinjaman komersial, suppliers, dan lain-lain. Komponen lainnya adalah Surat Berharga Negara (SBN) Rp 1.461,28 triliun yang dijual kepada investor domestik dan investor asing.
Kalau besarnya pinjaman luar negeri dan utang pemerintah pusat ini dibandingkan dengan besarnya dana asing yang diterima oleh ormas-ormas di Indonesia, maka kekhawatiran Gamawan Fauzi sungguh berlebihan karena terlihat bahwa kalau dibandingkan, dana asing untuk ormas hanyalah duit receh. Pertanyaan yang sangat wajar adalah mengapa tidak dipikirkan dan disusun suatu RUU untuk mengawasi lebih ketat penggunaan utang pemerintah dan pinjaman luar negeri yang demikian gigantis ukurannya, yang menjadi tanggungan semua warga negara Indonesia di masa sekarang dan di masa depan? Apakah diawasi dengan sungguh-sungguh agar dana sebesar itu tidak disalahgunakan melalui korupsi dan pemanfaatan bagi tujuan politik para politisi? Mengapa amat cemas tentang dana asing dalam jumlah kecil yang diberikan kepada ormas-ormas di Indonesia?
Cermin sikap naif
Tentulah tidak boleh diasumsikan bahwa baik DPR maupun pemerintah ingin menghilangkan peran ormas dalam urusan publik, dan seakan-akan menyerahkan seluruh urusan publik ke tangan pemerintah saja. Akan tetapi, seandainya ada pemikiran seperti itu, maka itu hanya cerminan sikap naif dalam melihat
pembangunan. Di dunia kita dewasa ini kerja sama antara pemerintah
(G to G collaboration) tidak lebih penting daripada kerja sama antarmasyarakat sipil internasional (People to People collaboration).
Sudah terbukti bahwa berbagai isu besar dalam pembangunan tidak akan terpikirkan tanpa peran masyarakat sipil internasional melalui gerakan sosial. Masalah-masalah seperti lingkungan hidup, perubahan iklim, HAM, kesetaraan jender, hak kaum minoritas dan hak kaum difabel tak akan menjadi penting dalam kebijakan publik tanpa militansi ormas-ormas dalam masyarakat sipil di berbagai belahan dunia. Ini tak berarti negara tak punya peranan dalam mengidentifikasi masalah-masalah tersebut, tetapi memang banyak sekali persoalan berada beyond the horizon of the state atau berada di luar kerangka persepsi dan kerangka kepentingan lembaga-lembaga negara, yang harus memusatkan perhatian pada masalah yang jadi tanggung jawab mereka.
Apa pun soalnya, RUU Ormas bisa menjadi kasus yang mengharuskan kita membicarakan kembali masalah legislasi yang menjadi hak dan sekaligus tugas DPR. Apakah ada ketentuan tentang berapa jumlah minimum UU yang harus dihasilkan oleh DPR dalam masa tugas mereka? Seterusnya, apakah ada kriteria yang memungkinkan kita menilai dan mengukur sejauh mana sebuah RUU menjawab kebutuhan dan masalah yang ada dalam negara dan masyarakat Indonesia pada suatu masa? Dengan kata lain, sebelum dibuat UU lain, sangat perlu disusun UU tentang pembuatan undang-undang, yaitu legislasi tentang legislasi.
Sebuah UU menjadi sah kalau mendapatkan persetujuan dari suara terbanyak anggota Dewan dalam fraksi. Namun, persetujuan anggota Dewan barulah menjamin legalitas UU. Apakah UU itu akan dipatuhi atau tidak masih tergantung pada kelayakan UU itu untuk diterima dan diakui masyarakat, dan menentukan legitimasinya. Sebuah UU yang mempunyai legalitas tetapi tanpa legitimasi yang kuat akan mendorong masyarakat untuk mencari kelemahan dalam pasal-pasalnya untuk menghindar secara legal dari tuntutan UU. Sebaliknya, UU dengan legitimasi yang kuat akan mengundang kepatuhan masyarakat untuk memenuhi tuntutannya karena adanya sense of belonging terhadap produk hukum yang merepresentasikan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Dalam hal inilah anggota DPR yang terhormat sebaiknya berhati-hati, apakah mereka hanya mempermainkan legalitas dalam pembuatan UU atau mempertimbangkan berbagai alasan UU yang disusun mendapat legitimasi yang cukup. Karena, dalam proses legislasi legalitas bisa dimainkan, tetapi legitimasi tak pernah tunduk kepada manipulasi secanggih apa pun. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar