Kamis, 04 Juli 2013

Hutan Adat dalam Putusan MK

Hutan Adat dalam Putusan MK
Helmi ;   Doktor Hukum Lingkungan; Pengajar di Universitas Jambi
KOMPAS, 04 Juli 2013


Hakim konstitusi pada 16 Mei 2013 mengabulkan sebagian gugatan uji materi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara, Masyarakat Adat Kenegerian Kuntu Kepri, dan Masyarakat Adat Kesepuhan Cisitu Banten terhadap ketentuan mengenai hutan adat dalam UU No 41/1999 tentang Kehutanan.

Ini kemenangan besar atas perjuangan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara dan beberapa masyarakat hukum di Indonesia dalam belasan tahun. Berdasarkan putusan itu, hutan adat tak lagi jadi bagian hutan negara, tetapi hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat.

Walaupun putusan ini tak berlaku surut, pengakuan atas tafsir konstitusi ini memberikan landasan bagi masyarakat hukum adat mengembalikan hak mereka atas hutan adat.

Klaim atas hutan adat

Setelah putusan ini, klaim atas hutan adat akan kian kuat terhadap kawasan hutan negara. Pertama, seluruh taman nasional yang notabene merupakan hutan negara akan jadi obyek sengketa masyarakat hukum adat dengan masyarakat hukum adat lainnya dan pemerintah sebagai pemangku kewenangan. Kedua, kawasan konsesi perusahaan pemegang izin usaha bidang kehutanan dan pertambangan yang selama ini menjadi obyek konflik dengan masyarakat hukum adat.

Kedua kutub klaim di atas, yakni taman nasional dan kawasan konsesi izin, bermula pada produk hukum yang selama ini dipandang tak berpihak pada kepentingan masyarakat hukum adat saat menjadikan suatu kawasan sebagai taman nasional. Bahkan, sering tak dianggap ketika investor menawarkan modal membuka usaha kehutanan dan pertambangan di Indonesia. Akibatnya, kawasan hutan adat yang merupakan hutan hak secara hukum sudah tak ada lagi.

Namun, berbekal putusan MK ini, letusan intensitas konflik antara masyarakat hukum adat dengan pemerintah/pemda dan pemegang izin akan makin tinggi. Negara bisa bubar jika pemerintah dan pemda tak segera melakukan langkah hukum menindaklanjuti putusan MK. Tak bisa dibayangkan ketika masyarakat hukum adat serta-merta menganggap seluruh kawasan hutan negara dan konsesi perusahaan merupakan kawasan hutan adat.

Perusahaan tentu tidak tinggal diam. Pengamanan legal dilakukan, bahkan dengan cara kekerasan sekalipun. Di pihak lain, semangat juang masyarakat kian berkobar mempertahankan hak yang sebagian besar dilatari warisan dan religius magis.

Mengantisipasi peningkatan konflik, beberapa tindakan dapat dilakukan pemerintah dan pemda. Pertama, identifikasi seluruh kawasan hutan negara berdasarkan UU No 41/1999 setelah putusan MK, yakni hutan yang tak dibebani hak dan tak termasuk hutan adat. Untuk beroleh data dan informasi akurat seimbang, identifikasi harus melibatkan masyarakat dan perusahaan.

Hasil identifikasi dijadikan sebagai upaya penataan kehutanan sebab selama ini data kawasan hutan di Indonesia yang resmi dijadikan pedoman adalah kawasan hasil padu serasi antara Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Tata Guna Hutan Kesepakatan tahun 1992. Padu serasi saat itu dilakukan sebagai implikasi berlakunya UU No 24/1992 tentang Penataan Ruang terhadap UU No 5/1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan. Padahal, kedua UU ini telah dicabut.

Langkah strategis kedua: pemetaan kawasan konflik yang selama ini oleh masyarakat dianggap kawasan hutan adat atau wilayah kelola adat. Adalah fakta, konflik kehutanan terjadi sepihak. Pemerintah dan perusahaan menganggap suatu kawasan bukan konflik karena merupakan hutan negara atau kawasan konsesi izin. Sementara klaim masyarakat berdasarkan bukti historis, aspek legal, dan situasi sosial ekonomi: keberadaan masyarakat adat, perkembangan desa, dan migrasi penduduk.

Berhadap-hadapan

Situasi ini menyebabkan masyarakat hukum adat dengan pengusaha dan pemerintah berhadap-hadapan. Penyelesaian melalui pengadilan yang diandalkan pemerintah dan perusahaan justru menjadikan konflik membesar. Masyarakat senantiasa di pihak yang lemah ketika berhadapan dengan hukum tertulis yang dijadikan alas hak perusahaan dan dasar hukum bagi pemerintah menyatakan suatu kawasan merupakan hutan negara.

Ketiga, kebijaksanaan pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat. Pemisahan konsepsi hutan adat dari hutan negara berimplikasi pada keberadaan masyarakat hukum adat sebab jadi prasyarat pengelolaan hutan adat itu sendiri. Saat ini yang tersisa adalah komunitas tertentu yang terdiri atas beberapa desa. Tak ada lagi wilayah masyarakat hukum adat yang secara hukum masih utuh seperti sebelum 1979. Padahal, pertimbangan hakim pada putusan MK ini, jika keberadaan masyarakat hukum adat tidak ”hidup” lagi, hak pengelolaan juga kembali ke negara. Artinya, status hutan adat menjadi hutan negara.

Konstruksi dan fakta hukum ini menimbulkan kerancuan. Di satu sisi, pengakuan hutan adat terpisah dari hutan negara. Di sisi lain, keberadaan masyarakat hukum adat sulit dibuktikan jika harus kembali seperti sebelum 1979. Diperlukan kebijaksanaan pemerintah dalam hal pengakuan masyarakat hukum adat.
Komunitas adat yang terdiri atas beberapa desa saat ini sudah bisa dianggap sebagai masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup: masih bergantung pada hutan adat, memiliki kelembagaan adat seperti peradilan adat, dan memiliki wilayah adat yang meliputi beberapa desa yang ada.

Keempat, pembentukan Peraturan Pemerintah tentang Hutan Adat dan Masyarakat Hukum Adat. Pada 2002 sudah ada rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Hutan Adat, tapi sampai kini RPP itu belum disahkan Presiden. Momentum ini tepat sebagai bentuk konsistensi pemerintah melaksanakan putusan MK.


Bagaimanapun, kawasan hutan adat harus ditetapkan pemerintah. Artinya, putusan MK ini tak serta-merta menjadikan masyarakat hukum adat bisa menyatakan suatu kawasan sebagai hutan adat. Pengukuhan terhadap masyarakat hukum adat dan hutan adat tetap harus dilakukan pemerintah untuk melindungi hutan adat dan masyarakat hukum adat itu sendiri. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar