Minggu, 07 Juli 2013

Bharatayudha di Mesir

Bharatayudha di Mesir
Omar Abshour ;  Dosen Senior Studi Keamanan dan Politik Timur Tengah pada University Of Exeter, Pengarang Buku “The De-Radicalization of Jihadists: Transforming Armed Islamist Movements” dan “From Good Cop to Bad Cop: The Challenge of Security Sector Reform in Egypt”
KORAN TEMPO, 05 Juli 2013


Dengan merebaknya unjuk rasa protes di seantero Mesir pada 30 Juni-tepat setahun setelah rakyat Mesir memilih presiden sipil mereka yang pertama-suatu gerakan yang beragam dan tidak tersentralisasi telah menantang Muhammad Mursi sebagai presiden negeri itu. Ratusan ribu orang telah dikerahkan ke jalan-jalan raya. Banyak di antara mereka kemudian menyerbu dan membakar markas besar Al-Ikhwan al-Muslimun di Kairo. 
Pada akhir hari itu, Mursi diberi ultimatum. Pernyataan "revolusioner" pertama yang dikeluarkan Tamarod, gerakan akar rumput yang baru di Mesir, menuntut Mursi mundur dalam waktu dua hari atau menghadapi demonstrasi besar-besaran menuju istana kepresidenan. "Atas nama 22 juta warga Mesir, kami menyatakan Muhammad Mursi bukan lagi Presiden Mesir yang sah." Para pemrotes kemudian menyerukan kepada "lembaga-lembaga negara, angkatan bersenjata, polisi, dan lembaga kehakiman, agar memihak rakyat."
Angkatan bersenjata sudah mengeluarkan ultimatumnya sendiri kepada Morsi: layani tuntutan para pemrotes atau menghadapi penyelesaian cara militer untuk mengakhiri krisis. Sementara hari itu berakhir, juru bicara kepresidenan menyatakan bahwa Mursi tidak dikonsultasi sebelum dikeluarkannya pernyataan angkatan bersenjata itu. Puluhan ribu pendukung presiden serempak mengadakan demonstrasi di beberapa kota pada tengah malam itu juga.
Jadi apa yang bakal terjadi nanti? Dan dampak apa yang bakal dibawakan Tamarod dan intervensi militer terhadap proses demokratisasi di Mesir di saat yang genting dan berbahaya ini?
Jalan menuju krisis yang terjadi saat ini sudah bisa diprediksi. Mursi memenangi pemilihan presiden hanya dengan 51,7 persen suara, sementara 48,3 persen suara lainnya mencakup kekuatan-kekuatan yang sangat besar, termasuk tokoh-tokoh rezim Mubarak dan para pendukungnya. Oposisi terhadap Mursi mengeras setelah dibatalkannya deklarasi konstitusi November 2012. Dengan deklarasi ini, Mursi berusaha memperoleh kekuasaan yang menyeluruh-katanya untuk melindungi lembaga-lembaga baru yang terpilih dari hakim-hakim yang sudah terpolitisasi. 
Tidak adanya manfaat materi yang nyata bagi warga awam Mesir juga menambah kemarahan rakyat. Semua calon presiden telah membuat janji-janji yang liar; tapi tidak adanya pencapaian yang berarti, seperti diakhirinya kelangkaan gas dan listrik yang kronis di Mesir, ikut mendorong mobilisasi masif anti-Mursi. Tidak kompetennya pemerintah selama transisi politik harus dibayar mahal.
Tapi Mursi bukan sama sekali tanpa pencapaian atau pendukung. Agustus tahun lalu, ia menyeleksi pimpinan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata (SCAF). Di bidang ekonomi, laporan yang dikeluarkan Bank Sentral Mesir untuk periode Juli 2012 sampai Maret 2013 menunjukkan defisit neraca pembayaran turun dari US$ 11,2 miliar menjadi US$ 2,1 miliar berkat meningkatnya penerimaan dari sektor pariwisata dan penghapusan utang.
Manfaat dari pencapaian ini tidak menetes ke bawah dan dinikmati rakyat awam. Tidak ada strategi media dan komunikasi yang efektif untuk memanfaatkan pencapaian-pencapaian ini. Namun inti pendukung Mursi tetap pada komitmen mereka. Sementara itu, hanya beberapa ratus orang muncul mendukung Mubarak selama pergolakan yang menggulingkan presiden yang terpilih dengan curang itu, ratusan ribu rakyat Mesir berdemonstrasi selama dua pekan berturut-turut di lapangan Rabi'a al-'Adawiyya, dekat istana kepresidenan, untuk menunjukkan solidaritas mereka kepada Mursi.
Jika Mursi berhasil mempertahankan kedudukannya, ia harus bergantung pada militer untuk menjamin kelangsungan pemerintahannya. Ia juga butuh unjuk kekuatan yang masif dari para pendukungnya. Tapi ini akan berarti kembalinya militer ke pusaran politik-dan dengan demikian mengorbankan pencapaian-pencapaian yang sudah diperoleh Mursi dengan memperketat kontrol sipil Agustus tahun lalu. Dan ultimatum militer itu menunjukkan bahwa tentara sedang bergerak ke arah suatu kudeta.
Mobilisasi Al-Ikhwan al-Muslimun dan kelompok-kelompok Islamis lainnya yang mendukung Mursi juga riskan. Sesungguhnya langkah-langkah revolusioner yang mengarahkan kelompok-kelompok Islamis yang dulu bersenjata itu ke dalam politik pemilihan dan konstitusi bisa kembali berbalik arah dalam power struggle yang berlangsung saat ini.
Jika Mursi akhirnya dilengserkan, hal ini banyak bergantung pada bagaimana caranya ia dilengserkan. Ketergantungan pada mobilisasi di jalan-jalan raya serta intervensi militer untuk melengserkan seorang pemimpin terpilih yang mendapat dukungan di lapangan besar kemungkinan tidak akan menghasilkan sesuatu yang positif. Sebaliknya, pola ini-yang tampak di Spanyol pada 1936, Iran pada 1953, Cile pada 1973, Turki pada 1980, Sudan pada 1989, serta Aljazair dan Tajikistan pada 1992-biasanya berujung pada kediktatoran militer, perang saudara, atau kedua-duanya.
Tapi ada juga preseden adalah lengsernya Charles de Gaulle secara damai dari kedudukannya sebagai seorang presiden terpilih. Protes yang masif di Prancis pada 1968 berujung pada pemilihan dini parlemen yang dimenangi secara telak oleh para pendukung de Gaulle. Namun de Gaulle kemudian mengundurkan diri atas kemauannya sendiri karena suatu persoalan yang tidak penting.
Persoalannya dengan preseden ini adalah bahwa Mursi tidak memiliki latar belakang seperti yang dimiliki de Gaulle, dan transisi politik di Mesir yang kacau pada 2013 ini jauh daripada demokrasi yang terkonsolidasi di Prancis pada 1968. Para pendukung de Gaulle tidak mengalami pengejaran; beberapa tokoh oposisi Mesir telah mengemukakan bahwa Al-Ikhwan al-Muslimun akan berbuat demikian. Inilah yang meningkatkan taruhan survival politik, terutama mengingat tidak adanya sama sekali jaminan norma dan perilaku konstitusional yang kredibel.
Lagi pula, belum jelas siapa yang akan menggantikan Mursi. Sebagian dari oposisi berbicara mengenai "dewan (transisi) kepresidenan". Tapi ide itu pernah diajukan tapi gagal selama kekuasaan dipegang oleh SCAF (Februari 2011-Juni 2012) karena tidak adanya mobilisasi massa di belakang tokoh yang mempersatukan dan karena ego-sesungguhnya karena megalomania-dari para politikus yang terlibat.

Mursi hampir pasti tidak akan dilengserkan tanpa keterlibatan militer dan unsur-unsur keamanan. Dan para pemenangnya mungkin akan mencoba sekuat-kuatnya untuk mencegah kembalinya kekuatan-kekuatan Islamis, dengan implikasi timbulnya kembali siklus persaingan politik tanpa kekangan-dan mungkin fisik-di mana demokrasi digunakan sebagai topeng untuk memberi legitimasi menyingkirkan dan mungkin menghancurkan lawan-lawan politik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar