|
REPUBLIKA, 27 Mei 2013
Berakhirnya
Perang Dingin yang direpresentasikan oleh bipolaritas kekuatan dunia, yaitu
Barat (Amerika) dan komunisme (Uni Soviet), tidak serta-merta mengakhiri konflik
di pelbagai belahan dunia. Bassam Tibi dalam karyanya, The Challenge of Fundamentalism (1998), mencatat bahwa pada era
globalisasi dewasa ini, `fragmentasi budaya' dan `difusi kekuatan' semakin
menguat dan melahirkan konflik-konflik internasional dan domestik.
Perang
antarnegara di Timur Tengah dan Asia Timur serta konflik antaretnik di wilayah
Afrika dan Asia Tenggara adalah beberapa di antaranya. Bila dulu, semasa Perang
Dingin, eskalasi konflik terjadi karena dipengaruhi perseteruan antardua negara
adikuasa, kini persoalannya menjadi lebih kompleks. Banyak faktor sosial,
ekonomi, dan politik di tingkat regional dan global yang memengaruhi konflik
horizontal-komunal di tingkat domestik.
Bipolaritas
antara Barat dan dunia Islam yang menjadi bagian dari narasi besar Samuel
Huntington dalam The Clash of
Civilization-nya, dianggap salah satu persoalan yang masih tersisa
pasca-Perang Dingin. Kontestasi antara `hegemoni Barat' dan `superioritas Islam'
setidaknya dilihat sebagai salah satu faktor yang masih melegitimasi tumbuhnya
konflik dan aksi-aksi kekerasan yang bersifat domestik dan global.
Dominasi
politik, ekonomi, dan budaya Barat selama beberapa dasawarsa terakhir berperan
besar dalam menumbuhkan resistensi dari dunia Islam. Intervensi Amerika
terhadap Irak dan keberpihakkannya terhadap Israel, umpamanya, setidaknya
mempertajam fragmentasi budaya dan ideologi radikal di tingkat domestik.
Masih
pasca-Perang Dingin, fragmentasi ideologi dan budaya di tingkat domestik
agaknya menjadi `tren' global. Konflik-konflik yang bersifat sektarian yang
boleh jadi dimotivasi oleh faktor ekonomi dan politik, misalnya, frekuensinya
semakin tinggi di beberapa negara di Afrika dan Asia Tenggara.
Konflik
di sebuah wilayah bahkan memiliki efek domino atau setidaknya menstimulasi
konflik di tempat-tempat yang lain. Di Myanmar, konflik yang berakhir pada
pembantaian dan pengusiran etnis Muslim Rohingya oleh kelompok Buddha di bagian
utara Negeri Rakhine adalah salah satu bentuk pengentalan `radikalisasi' akibat
fragmentasi budaya yang tidak terkelola.
Dalam
bentuk dan modus yang agak berbeda, masih banyak peristiwa konflik, baik
bersenjata maupun tidak, yang dapat kita telusuri di Thailand Selatan, Midanao-Filipina,
Afghanistan, dan beberapa negera di Timur Tengah. Tapi, naga-naganya,
konflik-konflik domestik yang terjadi kerap diwarnai oleh pelanggaran terhadap
hak-hak asasi manusia.
Pasalnya,
dalam situasi konflik, perbedaan antara pelaku konflik (combatant) dan warga masyarakat biasa kadang sulit untuk dibedakan. Masyarakat yang dalam
kategori non-combatant kerap menjadi
korban. Bahkan, dalam banyak kasus konfl ik domestik yang bersifat sektarian
(etnik dan agama), orang tua, anak-anak, dan perempuan pun bisa dan sering kali
menjadi korban.
Karena
itu, berbicara tentang perdamaian tidak bisa lepas dari wacana tentang resolusi
konflik dan hak asasi manusia. Diperlukan banyak aktor dalam masyarakat yang
secara kolektif aktif mengampanyekan pentingnya arti perdamaian dan memahami
mekanisme mengelola konflik agar tidak berujung pada tindakan kekerasan serta merumuskan
dan mendiseminasikan makna hak-hak asasi manusia.
Hal
seperti ini pula yang kiranya menginspirasi Hans Kung untuk menulis Global Responsibility (1991) ketika
menelaah pentingnya komunitas keagamaan merumuskan sebuah etika dunia baru
sebagai agenda untuk mewujudkan perdamaian dunia. Bahkan, Hans Kung
berkeyakinan bahwa perdamian dunia bisa diwujudkan bila ada perdamaian dalam
agama-agama.
Tentu
saja masih banyak agenda besar dan strategi baru yang harus dirumuskan untuk
mendiseminasi nilai-nilai perdamaian dan kemanusiaan, serta mengurangi dampak
konflik yang terjadi di pelbagai lini. Hal ini tidak hanya menjadi tanggung
jawab negara atau pemerintah sebagai lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengeluarkan
sebuah kebijakan politik yang berpihak pada perdamaian dan membela hak asasi
manusia, tetapi juga bagi aktor-aktor di luar panggung pemerintahan.
Bahkan,
saat ini diperlukan penanaman nilai-nilai perdamaian sejak dini dalam
lingkungan keluarga, sekolah, dan bertetangga. Dalam tingkatan mikro, kita
sudah terlalu sering menyaksikan tawuran antarkampung dan tawuran antarsekolah
di beberapa daerah, tidak hanya di Jakarta atau Yogyakarta, tetapi juga di
Sulawesi dan Papua.
Karena
itu, langkah-langkah kecil membangun jaringan di antara para pegiat perdamaian
menjadi penting. Hal itu dapat dimulai dengan mencetak kader-kader perdamaian
yang memiliki keterampilan untuk mengampanyekan dan menerjemahkan nilai-nilai
perdamaian melalui pelbagai media dan aktivitas kreatif. Setidaknya,
kader-kader perdamaian dapat berperan dalam mendiseminasi nilai-nilai
perdamaian agar memiliki efek domino dalam masyarakat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar