|
REPUBLIKA, 27 Mei 2013
Neraca
pembayaran Indonesia (NPI) memang bukan segalanya. Karena, NPI hanyalah suatu
catatan yang menampilkan arus uang (devisa) yang keluar masuk Indonesia. Dana
yang keluar dari Indonesia (yang di catat sebagai transaksi debit pada NPI),
tidak juga dapat diartikan bahwa perekonomian kita sedang dalam kondisi buruk.
Dana
keluar dari Indonesia bisa beragam interpretasinya. Dana keluar untuk impor,
misalnya, bisa menunjukkan tingginya kemampuan daya beli masyarakat kita. Dari
perspektif ini, meski terjadi "pemburukan" pada catatan NPI (karena
banyak dana keluar dari Indonesia), maknanya bisa positif, yaitu telah terjadi
perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Demikian juga sebaliknya, bila terjadi arus dana masuk, juga tidak bisa dimaknai seba gai sesuatu yang pasti positif bagi perekonomian kita. Perlu dilihat lebih jauh, apa penyebab masuknya dana-dana tersebut. Dana masuk yang berasal dari ekspor, tentunya sesuatu yang positif. Namun, apakah kita cukup bangga bila di balik tingginya angka ekspor ternyata diperoleh dengan menjual barang-barang tanpa olahan (sumber daya alam)? Demikian pula, bila terjadi arus modal masuk ke Indonesia, juga perlu dilihat, apakah merupakan investasi portofolio (hot money) atau investasi langsung (direct investment)? Pencermatan ini penting karena kedua jenis modal ini memiliki implikasi yang berbeda.
Demikian juga sebaliknya, bila terjadi arus dana masuk, juga tidak bisa dimaknai seba gai sesuatu yang pasti positif bagi perekonomian kita. Perlu dilihat lebih jauh, apa penyebab masuknya dana-dana tersebut. Dana masuk yang berasal dari ekspor, tentunya sesuatu yang positif. Namun, apakah kita cukup bangga bila di balik tingginya angka ekspor ternyata diperoleh dengan menjual barang-barang tanpa olahan (sumber daya alam)? Demikian pula, bila terjadi arus modal masuk ke Indonesia, juga perlu dilihat, apakah merupakan investasi portofolio (hot money) atau investasi langsung (direct investment)? Pencermatan ini penting karena kedua jenis modal ini memiliki implikasi yang berbeda.
Karena itu, memang dibutuhkan pemahaman yang komprehensif
untuk dapat memahami setiap perubahan angka dalam NPI. Meski tidak
menggambarkan secara utuh perekonomian Indonesia, NPI tetap menjadi alat yang
cukup efektif untuk membaca tanda-tanda perekonomian. Apakah perekonomian kita
telah berada dalam jalur yang benar atau belum, hal ini antara lain dapat
dibaca dari setiap perubahan pada angka-angka dalam NPI.
Bank Indonesia (BI) pada pertengahan Mei lalu telah
memublikasikan kinerja NPI kuartal I 2013. Hasilnya, NPI kita mengalami defisit
6,6 miliar dolar AS akibat tekanan yang terjadi pada neraca transaksi berjalan
dan neraca modal. Pada 2011, NPI kita masih mengalami surplus 15,5 miliar
dolar. Pada 2012, surplus NPI tinggal 870 juta dolar. Dengan kata lain, kinerja
NPI kita memang trennya menurun. Pertanyaannya, apa sinyal yang kita peroleh
dari angka-angka dalam NPI ini bila dikaitkan dengan situasi perekonomian
Indonesia saat ini?
Perekonomian kita sesungguhnya berada dalam radar yang positif.
Perekonomian Indonesia masih tumbuh sekitar enam persen setiap tahunnya. Hanya,
harus diakui bahwa kontribusi terbesar dari pertumbuhan ekonomi tersebut
berasal dari sektor konsumsi. Sektor konsumsi, selain pangsanya terhadap PDB sangat
besar, pertumbuhannya juga cukup besar. Tahun lalu, sektor konsumsi memiliki
pangsa terhadap PDB sekitar 54,6 persen dan mengalami pertumbuhan sebesar 5,3
persen. Sehingga, kontribusi pertumbuhan sektor konsumsi terhadap pertumbuhan
PDB selama 2012 mencapai 2,9 persen.
Tingginya pertumbuhan sektor konsumsi itu menandakan daya
beli masyarakat yang meningkat. Tingginya daya beli ini biasanya akan dimanifestasikan
oleh masyarakat dalam bentuk peningkatan permintaan terhadap barang-barang
bernilai tinggi. Sehingga, tidak mengheran bila dalam beberapa tahun terakhir
ini sektor konstruksi, transportasi dan komunikasi, serta sektor jasa mengalami
pertumbuhan yang pesat.
Sektor investasi juga mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi. Sayangnya, pertumbuhan sektor investasi masih lebih rendah dari ekspektasi
yang diinginkan pemerintah. Pada 2012 lalu, sektor investasi tumbuh 9,8 persen
dan pangsanya terhadap PDB sebesar 33,2 persen sehingga kontribusi pertumbuhan
sektor investasi terhadap pertumbuhan ekonomi sebesar 2,4 persen. Sayangnya,
pertumbuhan yang tinggi, baik di sektor konsumsi maupun investasi ini, tidak
dapat dipenuhi oleh industri-industri di dalam negeri. Konsumsi tinggi menyebabkan
impor barang konsumsi juga tinggi. Pertumbuhan sektor investasi yang relatif
tinggi juga menyebabkan impor barang modal dan bahan baku mengalami
peningkatan.
Itulah mengapa, kita saksikan di dalam NPI, neraca perdagangan
kita pada 2012 lalu mengalami defisit untuk yang pertama kalinya sejak 1961. Dengan
kata lain, salah satu kesimpulan yang dapat kita ambil dari angka-angka dalam
NPI tersebut adalah struktur industri kita masih rapuh. Setelah sekian puluh
tahun Indonesia melakukan industrialisasi, ternyata belum mampu menghasilkan
industri yang dapat menyediakan barang modal dan ternyata industri kita
sebagian besar bahan bakunya masih impor. Inilah salah satu ironi dari negara
yang memiliki pertumbuhan ekonomi tinggi, tetapi lemah dalam struktur
industrinya.
Indonesia memiliki potensi tumbuh hingga tujuh persen setiap
tahunnya. Syaratnya, sesuai perhitungan BI, kita harus mampu meningkatkan
pertumbuhan investasi minimal 12 persen setiap tahunnya. Kita juga harus mampu
mengembalikan kejayaan sektor manufaktur seperti pada era sebelum krisis
1997/98. Termasuk, kita juga perlu memacu kinerja sektor pertanian yang
pertumbuhannya masih di bawah rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional.
Untuk mengejar pertumbuhan investasi minimal 12 persen dan
mengembalikan kejayaan sektor manufaktur dan pertanian tentunya dibutuhkan dana
besar, tidak hanya dari swasta tetapi juga dari pemerintah. Nah, di sinilah
ketidaktepatan alokasi yang terjadi pada subsidi APBN menemukan relevansinya.
Sebab, tingginya subsidi BBM menyebabkan alokasi belanja modal (investasi)
pemerintah menjadi semakin kecil. Termasuk pula alokasi belanja subsidi sektor
pertanian juga semakin menurun proporsinya.
Karena itu, sangat penting bagi pemerintah untuk menata
kembali alokasi anggaran yang tidak berimbang ini. Subsidi BBM yang terlalu
besar harus dialihkan untuk kegiatan investasi bagi perce patan pembangunan
ekonomi, seperti infrastruktur (termasuk infrastruktur migas), revitalisasi sektor
manufaktur, dan akselerasi pertumbuhan sektor pertanian. Melalui lang kah-langkah
strategis ini lah, kita memiliki harapan perekonomian kita akan mampu tumbuh
pada level yang mendekati potensinya dan mampu menurunkan tingkat kemiskinan
lebih cepat.
Kesimpulannya, sinyal dari NPI kita sesungguhnya memiliki
dimensi yang penting, khususnya bagi pemerintah. Kuncinya adalah benahi problem
struktural kita, mulai dari fiskal, sektoral, serta sistem keuangan. Sebab,
tanpa pembenahan struktural ini, rasanya sulit perekonomian kita mampu mencapai,
atau mendekati level potensialnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar