|
MEDIA
INDONESIA, 19 Juni 2013
`There is no greater evil than anarchy' - Sophocles
(497-406 BC), Ancient Greek Romance.
TAK ada
setan besar selain anarkisme, kata Sophocles, filsuf Yunani Kuno. Anarkisme
menghiasi selama rencana penaikan harga BBM, yang ditumpahkan lewat pelbagai
aksi demonstrasi massa. Anarkisme seakan menjadi sebuah kelaziman, entah
dilakukan aktivis mahasiswa atau aparat kepolisian. Keduanya menjadikan
anarkisme sebagai muara karena kekalutan menghadapi kebijakan yang diciptakan
rezim, yakni penaikan harga BBM yang rencananya akan diberlakukan pekan depan.
Pertanyaan itu menyulut jawaban
mendasar, apa sebenarnya penyebab orang melakukan demonstrasi? Erich Fromm
(1992) dalam Escape From Freedom
secara eksplisit menyebut bahwa salah satunya bermula dari ketidaksepakatan sebagai
antitesis dari mutual understanding. Demonstrasi merupakan perwujudan karena
adanya ketidaksepakatan dengan sekelompok atau sebagian kecil masyarakat yang
menuntut hak-haknya dari rezim melalui cara menyuarakan aspirasinya di muka
umum.
Memang demonstrasi merupakan
bagian dari tradisi demokrasi. Demokrasi tanpa demonstrasi sama halnya seperti
air laut tanpa rasa asin. Ia merupakan perwujudan bahwa kekuasaan sebenarnya
berada pada kedaulatan rakyat, bukan di tangan penguasa itu sendiri.
Ia juga menyimbolkan bahwa sebuah
kekuasaan tidaklah untouchable dan
tiranis, tetapi dapat disentuh karena adanya ketidaksepakatan sebagai akibat
kebijakan yang tidak bisa diterima masyarakat secara masif. Itulah sebabnya,
dalam aphorisma fox populi fox dei (suara rakyat suara Tuhan) sebagai jargon
demokrasi, kekuasaan sebetulnya tidak lebih dari seorang pengabdi rakyat.
Namun, dalam demokrasi semestinya
juga ada fatsun dalam arti kesantunan. Penguasa dipilih rakyatnya karena dia
memang memiliki kualifi kasi untuk menjadi penguasa. Dalam pemilihan penguasa,
sebagian masyarakat pendukung penguasa yang kalah tentu menerima kekalahannya,
dan sebagian masyarakat lagi yang memenangkan kandidatnya tidak lantas menjadi
arogan dan merasa superior. Begitu pula kaum oposisi pemerintahan yang bertugas
memantau kekuasaan jika sewaktu-waktu ada penyimpangan, tugasnya adalah menegur
dan menyuarakan kebenaran yang ia miliki.
Demikian juga ketika rakyat
melakukan aksi-aksi demonstrasi, hendaknya memegang prinsip kefatsunan.
Suarakanlah pendapat secara demokratis. Demonstrasi, sesuai artinya, yaitu
mengungkapkan/memperagakan (dalam pengertian mendemonstrasikan) suatu
kepentingan dalam ungkapanungkapan yang bertujuan menyindir suatu kebijakan
yang tidak disepakati dengan harapan aspirasi para demonstran bisa didengar.
Atas dalih apa pun, anarkisme
baik yang dilakukan si pemrotes maupun aparat keamanan, tidaklah dibenarkan
karena selain melanggar aturan juga merugikan orang lain. Anarkisme harus
dihadapi dengan aturan hukum. Tugas aparat penegak hukum adalah melakukan
langkah preventif seminimal mungkin atas adanya gejala anarkisme. Sedikit saja
ada gejala anarkisme, penegak hukum sudah sepantasnya bertindak, bukannya
melibatkan diri dalam anarkisme itu sendiri. Itu penting untuk melindungi
aturan hukum atau konstitusi yang berlaku sehingga tidak dilecehkan karena
adanya anarkisme yang mengatasnamakan demokrasi.
Jika mau berkaca, misalnya, saat
sebagian warga Amerika Serikat melakukan aksi-aksi demonstrasi karena tidak sepakat
dengan kebijakan perang Irak yang dilakukan mantan Presiden George Bush, mereka
melakukan long march damai. Tangan-tangan
mereka saling berpegangan sehingga membentuk jajaran tali manusia yang panjang.
Di sisi lain, poster-poster
bergambar mantan Presiden Bush bertuliskan ‘Wanted:
Dead or Alive’ dijejerkan para demonstran. Sebagian lagi dari mereka
berteriak-teriak, ada juga yang berorasi menyuarakan ketidaksepakatan perang. Atau
aksi pelemparan sepatu terhadap poster dan foto-foto George W Bush. Namun, itu
semua dilakukan secara teratur dengan cara-cara yang lebih diplomatik dan
pesannya sangat mengena.
Sebagai
negara besar yang menjunjung demokrasi, masyarakat AS rupanya memahami betul
tentang arti penting penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi. Salah satunya
diwujudkan melalui demonstrasi yang tidak anarkistis karena anarkisme
berlawanan dengan demokrasi. Dalam sejarah panjang, anarkisme tidaklah
menyelesaikan persoalan, bahkan menimbulkan persoalan baru.
Prinsipnya adalah tidak ada
masalah yang tidak bisa diselesaikan. Karena itulah, jika ada ketidaksepakatan,
untuk menemukan mutual understanding-nya adalah dengan cara dialog yang
didasari adanya penghormatan satu pihak kepada pihak lain. Bukannya dialog
dalam pengertian hanya untuk membenarkan pendapat sendiri. Itu justru memicu
pertengkaran baru.
Seperti itulah semestinya tradisi
demokrasi yang terimplementasi dalam masyarakat Indonesia. Demonstrasi
dilakukan secara teratur, tertib, damai, dan dialogis. Anarkisme bukanlah
budaya yang mencerminkan tradisi bangsa. Anarkisme bukanlah solusi untuk
memecah persoalan. Justru ia merendahkan budaya dan tradisi bangsa Indonesia.
Lakukanlah perjuangan supaya aspirasi kita didengar melalui cara-cara yang
efektif, cerdas, demokratis, dan yang lebih penting lagi adalah konstitusional.
Karena bersikap tidak anarkistis
adalah salah satu perwujudan dari penghormatan terhadap konstitusi. Sering kali
konstitusi seperti tidak memiliki arti dan makna manakala anarkisme
menyemburat. Konstitusi seakan-akan dilecehkan dan diinjak-injak ketika
anarkisme muncul ke permukaan.
Salah satu yang terasa hilang
dari tradisi bangsa ini adalah musyawarah untuk mencapai kemufakatan. Padahal,
dalam bermusyawarah terdapat sebuah dialog yang berguna untuk memecah
ketidaksepakatan dan kebekuan.
Demonstrasi yang dilakukan
semestinya bertujuan untuk menjalin adanya kemusyawarahan, yang biasanya
perwakilan dari demonstran menemui pihak-pihak yang memiliki wewenang sehingga
dengan demikian akan terjadi sebuah dialog. Dalam dialog itulah diharapkan
terdapat sebuah titik temu (common
platform) dari kedua pihak sehingga persoalan dapat diselesaikan dan
anarkisme bisa disingkirkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar