|
JAWA POS, 02 Mei 2013
Ujian nasional masih membuat deg-degan ketika kita mengingat Hari
Pendidikan Nasional, hari ini. Terlepas dari pro-kontra ujian nasional, yang
jelas kini masih banyak hal yang menjadi titik kegelisahan dalam mengembangkan
pendidikan nasional kita. Pertama, sudahkah pendidikan nasional, terutama di
tingkat dasar dan menengah, mampu menanamkan karakter: disiplin, jujur, dan
kreatif? Ujian nasional masih didominasi mata pelajaran eksak.
Sebaliknya, pendidikan agama dan Pancasila -misalnya- masih terbatas pada pendidikan ''tentang'' agama serta Pancasila dan belum membawa siswa kepada religiusitas yang sejati. Korupsi dan ketidakjujuran adalah biang keladi kerusakan bangsa dan ironisnya hal itu disumbang kaum berpendidikan. Mestinya pelajaran ''sekuler'' lainnya seperti fisika, kimia, dan matematika juga dapat menjadi ''media'' untuk menanamkan karakter tersebut.
Kedua, sudahkah di dunia persekolahan pada umumnya murid merasa sedang mencari sesuatu yang hakiki? Pendidikan hanya sebatas dipahami sebagai peristiwa pengajaran. Itu pun hanya yang paling dangkal. Kebanyakan guru masih bermental mengajar, sehingga jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid gelisah, sehingga mereka tertantang untuk lebih rajin belajar agar kelak lebih dahsyat dari gurunya.
Akhirnya, pendidikan dituding sebagian orang masih mereduksi kreativitas dan daya juang siswa karena dibatasi pagar-pagar birokrasi, sedangkan di daerah kadang pendidikan berada dalam bayang-bayang politik karena berkuasanya kepala daerah.
Mengapa hal itu saya tekankan? Sederhana saja, usia SD, SMP, dan SMA adalah usia yang paling ''kritis'' untuk ''ditanami'' religiusitas. Kehancuran dan kemunduran negeri ini bermuara dari kealpaan para pemimpin yang benar-benar menempatkan hatinya kepada Tuhan.
Dengan demikian, anak usia remaja tersebut mesti menjadi bidang garapan yang serius untuk disiapkan menjadi pemimpin yang paham. Tidak saja paham betul tentang negara, ilmu pengetahuan, dan teknologi, namun juga paham dan tahu ''dari mana asal saya ini'', ''untuk apa hidup ini'', ''mau ke mana setelah mati'', dan seterusnya. Singkatnya, pelajaran di sekolah -apa pun namanya- harus sanggup menanamkan tiga hal sekaligus. Yakni, keterampilan hidup, nilai-nilai hidup dan pandangan hidup, serta religiusitas.
Ilmu dan teknologi hanya know how atau keterampilan teknis dan itu belum punya tujuan, baru sebuah potensi. Adalah amat membahayakan jika menyerahkan kekuasaan yang besar ini kepada yang tidak mengetahui cara menerapkannya. Know how adalah kalimat belum selesai dan belum merupakan sebuah kebudayaan. Sains tidak dapat melahirkan ide untuk hidup. Koestler dalam Act of Creation menyatakan, ''untuk memperoleh kenikmatan dari seni penemuan (ilmiah) sebagaimana seni lainnya, para (maha)siswa harus menghayati proses kreatif''.
Ketiga, sudahkah pemerintah mempersiapkan guru yang komplet? Guru yang tidak saja ahli di bidang mata pelajaran fak-nya, namun juga guru yang sanggup menjadi mediator kebudayaan (unggul) bangsa.
Berubahnya IKIP menjadi universitas menyisakan permasalahan. Yakni, absennya dosen para calon guru yang ngeloni penelitian dan pengembangan ''ilmu guru'', ''ilmu keguruan'', dan ''ilmu kependidikan''. Kalau dunia persekolahan hanya diartikan dunia transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya, hal itu tidak bermasalah. Namun, jika guru diharapkan juga sebagai agen kebudayaan, kebijakan tersebut harus dijernihkan.
Guru sebagai agen kebudayaan hanya dapat dihasilkan dari lembaga yang benar-benar digarap serius. Guru sebagai agen kebudayaan hanya dapat diwujudkan jika guru tersebut memiliki kemampuan untuk menggunakan mata pelajaran yang dia kuasai sebagai ''medium'' untuk menanamkan (setidaknya) tiga hal sekaligus. Yakni, nilai-nilai hidup, pandangan hidup, dan keterampilan hidup.
Sudahkah lembaga-lembaga penghasil guru sibuk meneliti dan mengembangkan ilmu kependidikan khas (kebudayaan) Indonesia, khususnya yang dapat menjawab bukan saja tantangan lokal, nasional, bahkan global?
Apakah ilmu-ilmu yang (dulu) disebut ilmu pedagogis, didaktik, metodik, dan seterusnya masih ditekuni lembaga penghasil guru? Padahal, ilmu-ilmu itu -terlepas dari apa pun namanya kini- amat penting diteliti dan terus dikembangkan. Ilmu pedagogis adalah ilmu cara membesarkan dan mengasuh anak, ilmu didaktik adalah ilmu tentang hal ihwal membuat persiapan mengajar, dan ilmu metodik adalah ilmu tentang hal ihwal cara mengajarkan ilmu-ilmu tertentu seperti kesenian, menyanyi, menggambar, atau pekerjaan tangan.
Baru soal ilmu pedagogis saja, apakah saat ini para guru menguasainya dengan baik? Kalau ya, mengapa sekarang persentase anak-anak sekolah yang (misalnya) tawuran, menyontek, tidak disiplin, dan sebagainya justru semakin menonjol? Tentu banyak persoalan yang menyebabkannya. Namun, setidaknya dari pertanyaan ini, harus ada cetak biru yang jelas soal cara mengembangkan ilmu kependidikan ini.
Guru sebagai agen kebudayaan juga hanya dapat diwujudkan jika para calon guru diajari pula hal-hal tentang pengetahuan umum yang memadai. Kebudayaan adalah persoalan yang mahakompleks. Guru fisika atau IPA juga mesti paham soal-soal humaniora. Demikian pula sebaliknya.
Guru sebagai agen kebudayaan juga harus banyak dibekali mata pelajaran geografi, kewilayahan, serta bahasa asing. Bagaimana mungkin bangsa yang besar ini, yang terdiri atas ribuan pulau, adat, bahasa, dan suku, tidak dipahami para guru mata pelajaran apa saja?
Bagaimana mungkin para guru akan menjadi agen kebudayaan jika mereka juga tidak menguasai ilmu kependidikan yang khas pula? Sampai seberapa jauh para dosen universitas eks IKIP sanggup mengembangkan psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, dan semacamnya, selain administrasi pendidikan dan kurikulum? ●
Sebaliknya, pendidikan agama dan Pancasila -misalnya- masih terbatas pada pendidikan ''tentang'' agama serta Pancasila dan belum membawa siswa kepada religiusitas yang sejati. Korupsi dan ketidakjujuran adalah biang keladi kerusakan bangsa dan ironisnya hal itu disumbang kaum berpendidikan. Mestinya pelajaran ''sekuler'' lainnya seperti fisika, kimia, dan matematika juga dapat menjadi ''media'' untuk menanamkan karakter tersebut.
Kedua, sudahkah di dunia persekolahan pada umumnya murid merasa sedang mencari sesuatu yang hakiki? Pendidikan hanya sebatas dipahami sebagai peristiwa pengajaran. Itu pun hanya yang paling dangkal. Kebanyakan guru masih bermental mengajar, sehingga jarang tampil sebagai fasilitator atau motivator, apalagi sebagai penggugah atau penantang yang membuat murid gelisah, sehingga mereka tertantang untuk lebih rajin belajar agar kelak lebih dahsyat dari gurunya.
Akhirnya, pendidikan dituding sebagian orang masih mereduksi kreativitas dan daya juang siswa karena dibatasi pagar-pagar birokrasi, sedangkan di daerah kadang pendidikan berada dalam bayang-bayang politik karena berkuasanya kepala daerah.
Mengapa hal itu saya tekankan? Sederhana saja, usia SD, SMP, dan SMA adalah usia yang paling ''kritis'' untuk ''ditanami'' religiusitas. Kehancuran dan kemunduran negeri ini bermuara dari kealpaan para pemimpin yang benar-benar menempatkan hatinya kepada Tuhan.
Dengan demikian, anak usia remaja tersebut mesti menjadi bidang garapan yang serius untuk disiapkan menjadi pemimpin yang paham. Tidak saja paham betul tentang negara, ilmu pengetahuan, dan teknologi, namun juga paham dan tahu ''dari mana asal saya ini'', ''untuk apa hidup ini'', ''mau ke mana setelah mati'', dan seterusnya. Singkatnya, pelajaran di sekolah -apa pun namanya- harus sanggup menanamkan tiga hal sekaligus. Yakni, keterampilan hidup, nilai-nilai hidup dan pandangan hidup, serta religiusitas.
Ilmu dan teknologi hanya know how atau keterampilan teknis dan itu belum punya tujuan, baru sebuah potensi. Adalah amat membahayakan jika menyerahkan kekuasaan yang besar ini kepada yang tidak mengetahui cara menerapkannya. Know how adalah kalimat belum selesai dan belum merupakan sebuah kebudayaan. Sains tidak dapat melahirkan ide untuk hidup. Koestler dalam Act of Creation menyatakan, ''untuk memperoleh kenikmatan dari seni penemuan (ilmiah) sebagaimana seni lainnya, para (maha)siswa harus menghayati proses kreatif''.
Ketiga, sudahkah pemerintah mempersiapkan guru yang komplet? Guru yang tidak saja ahli di bidang mata pelajaran fak-nya, namun juga guru yang sanggup menjadi mediator kebudayaan (unggul) bangsa.
Berubahnya IKIP menjadi universitas menyisakan permasalahan. Yakni, absennya dosen para calon guru yang ngeloni penelitian dan pengembangan ''ilmu guru'', ''ilmu keguruan'', dan ''ilmu kependidikan''. Kalau dunia persekolahan hanya diartikan dunia transfer ilmu pengetahuan dan teknologi, tampaknya, hal itu tidak bermasalah. Namun, jika guru diharapkan juga sebagai agen kebudayaan, kebijakan tersebut harus dijernihkan.
Guru sebagai agen kebudayaan hanya dapat dihasilkan dari lembaga yang benar-benar digarap serius. Guru sebagai agen kebudayaan hanya dapat diwujudkan jika guru tersebut memiliki kemampuan untuk menggunakan mata pelajaran yang dia kuasai sebagai ''medium'' untuk menanamkan (setidaknya) tiga hal sekaligus. Yakni, nilai-nilai hidup, pandangan hidup, dan keterampilan hidup.
Sudahkah lembaga-lembaga penghasil guru sibuk meneliti dan mengembangkan ilmu kependidikan khas (kebudayaan) Indonesia, khususnya yang dapat menjawab bukan saja tantangan lokal, nasional, bahkan global?
Apakah ilmu-ilmu yang (dulu) disebut ilmu pedagogis, didaktik, metodik, dan seterusnya masih ditekuni lembaga penghasil guru? Padahal, ilmu-ilmu itu -terlepas dari apa pun namanya kini- amat penting diteliti dan terus dikembangkan. Ilmu pedagogis adalah ilmu cara membesarkan dan mengasuh anak, ilmu didaktik adalah ilmu tentang hal ihwal membuat persiapan mengajar, dan ilmu metodik adalah ilmu tentang hal ihwal cara mengajarkan ilmu-ilmu tertentu seperti kesenian, menyanyi, menggambar, atau pekerjaan tangan.
Baru soal ilmu pedagogis saja, apakah saat ini para guru menguasainya dengan baik? Kalau ya, mengapa sekarang persentase anak-anak sekolah yang (misalnya) tawuran, menyontek, tidak disiplin, dan sebagainya justru semakin menonjol? Tentu banyak persoalan yang menyebabkannya. Namun, setidaknya dari pertanyaan ini, harus ada cetak biru yang jelas soal cara mengembangkan ilmu kependidikan ini.
Guru sebagai agen kebudayaan juga hanya dapat diwujudkan jika para calon guru diajari pula hal-hal tentang pengetahuan umum yang memadai. Kebudayaan adalah persoalan yang mahakompleks. Guru fisika atau IPA juga mesti paham soal-soal humaniora. Demikian pula sebaliknya.
Guru sebagai agen kebudayaan juga harus banyak dibekali mata pelajaran geografi, kewilayahan, serta bahasa asing. Bagaimana mungkin bangsa yang besar ini, yang terdiri atas ribuan pulau, adat, bahasa, dan suku, tidak dipahami para guru mata pelajaran apa saja?
Bagaimana mungkin para guru akan menjadi agen kebudayaan jika mereka juga tidak menguasai ilmu kependidikan yang khas pula? Sampai seberapa jauh para dosen universitas eks IKIP sanggup mengembangkan psikologi pendidikan, sosiologi pendidikan, antropologi pendidikan, dan semacamnya, selain administrasi pendidikan dan kurikulum? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar