|
KORAN
TEMPO, 02 Mei 2013
Di tengah kisruh ujian nasional (UN), Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan masih melanjutkan agenda Kurikulum 2013. Agenda
terbaru Kementerian ini tidak boleh terhenti, sekalipun publik sedang kalut
melihat pelaksanaan UN 2013 yang kacau itu. Pembaruan kurikulum tetap perlu
berlangsung.
Tanpa pembaruan yang sangat radikal, kisruh UN bakal
terulang. Dampak buruknya terdapat pada bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran
yang kehilangan makna bagi anak bangsa. Padahal, menurut agenda Kurikulum 2013,
usaha mencerdaskan kehidupan bangsa sekarang dilandasi paradigma bahasa
Indonesia menghela dan membawa ilmu pengetahuan.
Dengan paradigma baru ini, situasi bahasa Indonesia
diharapkan berubah. Wajah bahasa nasional ini tak lagi muram seperti yang
terlihat dalam malpraktek pendidikan di sekolah berstandar (bahasa)
internasional. Selain untuk pembenahan sistem pendidikan nasional, termasuk
sistem UN nantinya, Kurikulum 2013 akan bermaslahat untuk tindak lanjut atas
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-X/2012, tertanggal 8 Januari 2013, yang
melarang penggunaan bahasa asing sebagai bahasa pendidikan sekolah.
Bahasa Sebagai Teks
Kebijakan Kurikulum 2013 merupakan bentuk nyata kesungguhan
Kementerian Pendidikan untuk melaksanakan perintah konstitusi agar pendidikan
Indonesia berbasis bahasa sendiri. Untuk itu, sebagai bahasa penghela dan pembawa
ilmu pengetahuan, bahasa Indonesia sudah dirancang kehadirannya pada ruang
pembelajaran teks yang membuat bahasa nasional lebih ramah terhadap bahasa
daerah.
Pembelajaran teks mampu menerobos sekat-sekat kebahasaan,
termasuk batasan kebudayaan. Bahasa Indonesia diproses dalam pembelajaran di
kelas untuk menghasilkan penguasaan bahasa rujukan nasional. Di kelas I sekolah
dasar (SD), misalnya, anak diharapkan mampu bertutur kata "Alhamdulillah, tubuhku lengkap. Ada kepala, badan, dan kaki. Di
kepalaku ada rambut. Ada pula mata dan hidung". Begitu seterusnya
hingga teks deskripsi ini dibuat dan digunakan anak untuk memperoleh pengalaman
belajar mengenai anggota tubuh dan pancaindra.
Untuk mencari dan menemukan pengalaman belajar, melalui
pendekatan teks, konteks pelajaran dibangun lebih dulu dengan memanfaatkan
pengetahuan awal. Sebelum masuk sekolah, anak umumnya sudah tahu dalam bahasa
daerah benda-benda anggota tubuh yang secara nasional disebut "mata"
dan "hidung". Sebutan nasional seperti itu hadir bukan sebagai
pengganti nama benda dalam bahasa daerah.
Pembangunan konteks pelajaran itu berlangsung penuh dengan
pelestarian dan penghargaan atas kearifan budaya lokal. Di daerah Jawa, sekadar
untuk ilustrasi, sebutan netra masih terasa bernilai lebih santun daripada kata
"mata". Selain unsur kosakata yang beragam, ada unsur bunyi bahasa
yang amat khas bagi penutur daerah, seperti variasi bunyi /a/. Keanekaragaman
budaya berbahasa daerah dapat tertampung dalam pembelajaran bahasa Indonesia
yang seutuhnya berbasis teks.
Pembelajaran teks tidak lain bertujuan menghimpun modal
budaya (cultural capital). Dalam
teori, teks sering dinyatakan sebagai wujud genre
yang merefleksikan nilai-nilai atau norma-norma budaya di masyarakat. Wujud genre itu salah satunya berupa teks
deskripsi dengan fungsi sosial untuk menggambarkan benda atau yang dibendakan
tanpa generalisasi dengan benda sejenis lainnya.
Untuk mendeskripsikan alat pengindra "hidung",
tentu lebih mudah bagi anak daerah Jawa ketika kosakata irung dimanfaatkan dalam
teks. Kosakata daerah merupakan aset budaya yang tidak boleh hilang. Karena
itu, di SD kelas rendah (kelas I, II, dan III), harapan agar anak mampu
berbahasa nasional tidak wajib terpenuhi dan boleh ditunda hingga anak masuk ke
kelas tinggi.
Kurikulum 2013 sangat revolusioner untuk menjawab dua
tantangan besar pada bahasa kebangsaan Indonesia. Tantangan pertama berkaitan
langsung dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa ilmu pengetahuan. Tantangan ini
sudah dijawab melalui integrasi mata pelajaran bahasa Indonesia dengan IPA dan
IPS di SD. Pada tataran teks yang utuh, bahasa Indonesia tidak diragukan
fungsinya sebagai wahana komunikasi ilmu pengetahuan di luar bahasa.
Tantangan kedua berkenaan erat dengan kegunaan bahasa
Indonesia untuk menjaga integrasi (suku) bangsa. Refleksi kesukuan di Indonesia
terdapat dalam penggunaan bahasa daerah. Masuknya unsur bahasa daerah dalam
rancangan mata pelajaran bahasa Indonesia, terutama di SD kelas rendah, perlu
direalisasi ke dalam buku teks pelajaran yang sedang digarap oleh pihak
Kementerian Pendidikan.
Tidak hanya penghargaan atas aneka budaya bangsa, materi
pelajaran bahasa Indonesia yang mengintegrasikan bahasa daerah itu juga
merupakan langkah awal perbaikan terhadap literasi anak Indonesia yang selama
ini terbukti jeblok menurut ukuran PISA dan PIRLS. Sekarang, untuk menerapkan
Kurikulum 2013, buku pelajaran SD sudah dinanti-nantikan: model buku ajar yang
menghadirkan bahasa Indonesia sebagai teks.
Rancangan Evaluasi
Perubahan kurikulum perlu diikuti dengan pembaruan sistem
evaluasi. Untuk Kurikulum 2013, pembelajaran teks itu memerlukan alat evaluasi
berupa portofolio. Evaluasi portofolio perlu dirancang berdasarkan fungsi
pedagogis untuk memotivasi anak bertanggung jawab atas pembelajaran (otonomi
belajar) dan fungsi laporan untuk menunjukkan bukti rekaman pengalaman belajar.
Pihak sekolahlah yang menjadi penyelenggara evaluasi
belajar tahap akhir, terutama untuk program SD. Anak SD tidak perlu dievaluasi
kinerja belajarnya secara nasional. Mereka baru saja melewati masa penguatan
bahasa lokal (daerah) dan pengenalan bahasa nasional; kemampuan berbahasa
Indonesia mereka belum selayaknya diuji untuk menentukan kelulusannya. Bagi
Kementerian Pendidikan, sasaran evaluasi ini justru kinerja lembaga sekolah
(alih-alih kinerja anak didik).
Untuk program sekolah menengah atau yang sederajat dengan
SMP dan SMA, sistem evaluasi nasional yang sekarang berlabel UN sudah
semestinya diubah. Perubahan dimulai dengan paradigma evaluasi dalam proses
belajar. UN bukanlah alat evaluasi akhir program sekolah. Sebaiknya, pada
setiap jenjang pendidikan itu, UN diadakan di kelas II. Kekacauan UN juga bakal
berulang dan bertambah parah apabila evaluasi nasional itu masih dipertahankan
pelaksanaannya serentak di seluruh Indonesia.
Kekacauan UN sekarang menghantui pikiran publik. Tidak
perlu kisruh UN dibelokkan untuk menghalangi perjalanan agenda Kurikulum 2013
yang sedang gencar memoles citra bahasa Indonesia. Dengan peringatan Hari
Pendidikan Nasional pada 2 Mei 2013, semangat pembaruan harus lebih menyala.
Ayo, jalan terus! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar