|
KOMPAS,
21 Mei 2013
Kemarahan rakyat menuntut keadilan dalam
jagat pakeliran sering diungkapkan dalam lakon Semar Gugat. Ia adalah dewa
yang merakyat dengan tugas mengabdi pada keadilan serta membela kebenaran. Inti
lakon tersebut adalah protes keras Semar kepada Sang Hyang Wenang (Dewa
Penguasa Dunia) untuk mendapatkan keadilan karena diperlakukan
sewenang-wenang secara licik oleh Bathara Guru (pimpinan para dewa). Tuntutan
dikabulkan, dan Semar kembali ke dunia mengemban tugas luhur mengasuh para
satria Pandawa.
Melakukan gugatan saat ini sangat kategoris
karena pada Mei terdapat dua peristiwa sejarah yang mementaskan gugatan rakyat
terhadap kesewenang-wenangan dan ketidakadilan. Pertama, Kebangkitan Nasional,
20 Mei, merupakan babak sangat penting bangsa Indonesia melawan tirani
penjajah. Kedua, peristiwa 21 Mei adalah puncak perjuangan seluruh komponen
bangsa untuk menghentikan penguasa monolit dan monopoli kekuasaan.
Dua kejadian itu merupakan tonggak sejarah
yang mempunyai relasi ”mistis” (melebihi daya jangkau akal manusia) dan
berkekuatan magis (melampaui batas kemampuan manusia). Sebab, dua peristiwa itu
digerakkan vitalitas dan energi roh bangsa yang gigih berjuang membebaskan diri
dari kelaliman penguasa. Karena itu, meski jarak memori historis tersebut
terpisah cukup lama, sekitar 90 tahun, roh yang menjiwai kedua peristiwa itu
bersifat tunggal, yakni daya dorong spiritualitas bangsa Indonesia dalam
mengukir peradaban kehidupan berbangsa dan bernegara.
Urgensi gugatan tersebut dirasakan mendesak
karena selama 15 tahun proses demokratisasi, rakyat semakin merasakan kaidah
Fukuyama (1992) bahwa demokrasi liberal dan kapitalisme, sebagai titik akhir
dari evolusi ideologi umat manusia serta sebagai bentuk final dari pemerintahan
kreasi manusia (the final form of human
government), semakin luntur. Dalam kurun waktu itu, pelembagaan demokrasi
hanya terbatas dalam dua ranah. Pertama, pada tataran proses politik terutama
pemilihan umum, tetapi tanpa disertai ideologi yang menghadirkan peradaban
politik. Kedua, sirkulasi elite terbatas pada lingkaran kekerabatan.
Lembaga politik seakan menjadi peternakan
politik yang memproduksi elite politik dari rumpun keluarga (trah) tertentu. Akibatnya, tingkat
kepercayaan publik terhadap demokrasi semakin menurun. Hal itu diperparah
dengan merajalelanya tingkat korupsi politik yang melibatkan kader lintas
partai. Peranan uang sangat deterministik dalam proses dan kompetisi politik.
Akibat buruk selanjutnya adalah semakin menurunnya tingkat persepsi masyarakat
terhadap kemampuan dan kapasitas publik dalam memengaruhi kebijakan negara.
Fenomena itu seakan membenarkan dalil
Nietzsche, pemilu adalah puncak manifestasi ”naluri kerumunan manusia” (popular elections were the ultimate expression
of the herd instinct). Salah satu karakter kerumunan adalah gampangnya
sesama anggota terhipnosis perilaku satu sama lain sehingga mudah terpancing
emosinya untuk melakukan anarki. Praktik politik selama satu setengah dekade
telah menunjukkan kecenderungan yang semakin meyakinkan, para politik elite
secara anarkis menguras kekayaan negara untuk ongkos transaksi kekuasaan.
Kegegapgempitaan selebrasi para penikmat
kekuasaan membuat jumud memori 15 tahun lalu bahwa harga melengserkan penguasa
yang memonopoli kebenaran politik harus dibayar sangat mahal, yaitu
penderitaan, pemerkosaan, darah, bahkan ratusan nyawa melayang. Opium kekuasaan
tidak hanya membuat tumpul ketajaman memori, tetapi bahkan telah mengakibatkan
vitalitas ingatan para elite semakin lunglai sehingga tidak mampu mengolah
memori masa lalu sebagai daya dorong melakukan koreksi atas kesesatan niat,
pola pikir, dan perilaku. Karena itu, sangat relevan peringatan yang
disampaikan Milan Kundera dengan suara kenabiannya bahwa perjuangan manusia melawan
kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan lupa (the struggle of man against power is the struggle of memory against
forgetting).
Agenda gugatan rakyat yang sangat penting
dewasa ini adalah menyelamatkan kader-kader partai agar tidak terjerumus ke dalam
perbuatan hina dan cendala. Dalam jangka panjang adalah pendidikan politik.
Melalui proses ini diharapkan dihasilkan kader yang amanah dan mampu
mengendalikan diri terhadap perilaku serakah. Namun, agenda kini yang sangat
mendesak adalah regulasi yang dapat memaksa partai politik membuka diri
asal-usul anggaran untuk biaya politik. Mereka juga harus dapat
mempertanggungjawabkan secara transparan semua uang yang diperolehnya, serta
bersedia diberikan sanksi yang sangat keras bagi yang melanggarnya. Hanya
dengan cara itu, politik di Indonesia bertahap dapat menggeser dominasi politik
uang menjadi perlombaan membangun watak kader.
Namun, harus diakui, karakter politik tidak
memungkinkan para elite politik secara sukarela melakukan regulasi yang
membatasi kekuasaannya. Karena itu, perlu konsolidasi kekuatan demokratis dari
seluruh komponen masyarakat, bersama media khususnya televisi, bahu-membahu
memberikan tekanan politik terus-menerus kepada mereka. Kolaborasi dengan
unsur-unsur dari parpol, baik yang mempunyai gagasan sama maupun mereka yang
takut dan cemas terkena giliran menjadi pesakitan KPK, selalu dimungkinkan.
Untuk merawat semangat memperjuangkan
pemberantasan korupsi, perlu dikumandangkan semboyan Wiji Thukul: hanya satu kata, lawan! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar