Review RUU
Ormas yang Keliru
Muhammad Erwin ;
Alumni IAIN Sumut dan Aktivis Hizbut Tahrir Indonesia
|
|
KORAN
SINDO, 02 April 2013
Dalam waktu dekat pemerintah bersama DPR
berencana mengesahkan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakat (UU Ormas)
yang baru untuk mengganti UU Nomor 8/1985.
Sejumlah
elemen masyarakat dengan tegas menentang rencana penerbitan undang-undang
tersebut karena dinilai membangkitkan kembali otoritarianisme berupa
pembredelan hak warga masyarakat untuk berkumpul dan berorganisasi.
Pengaturan mengenai organisasi kemasyarakatan pernah diterbitkan oleh
rezim Orde Baru pada 1985 melalui UU Nomor 8/1985 tentang Organisasi
Kemasyarakatan.
Paling tidak
ada tiga substansi pengaturan organisasi kemasyarakatan (ormas) dalam UU
Nomor 8/1985. Pertama, kewajiban bagi setiap ormas berideologikan
Pancasila sebagai satu-satunya asas. Kedua, kewenangan pembinaan atas
setiap ormas yang menjadi otoritas pemerintah dalam hal ini Kementerian
Dalam Negeri (Kemendagri).
Ketiga,
adanya kewenangan pemerintah membekukan kepengurusan bahkan membubarkan
ormas jika dinilai tidak berasaskan Pancasila dan dianggap tidak turut memelihara
persatuan dan kesatuan bangsa. Secara substansi, Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1985 didesain sebagai instrumen rezim otoriter Soeharto untuk
membungkam kebebasan berserikat dan mengontrol kehidupan masyarakat,
termasuk cara pandang dan ideologi masyarakat. Melalui undang-undang yang
sama, rezim Soeharto bahkan dapat membungkam musuh-musuh politiknya yang
dianggap mengancam kelangsungan kekuasaan Orde Baru.
Salah Kaprah
Dewasa ini
aneka ragam perkumpulan dan organisasi masyarakat tumbuh bak jamur di
musim hujan. Aneka wadah ekspresi masyarakat bermunculan mulai dari
perkumpulan ideologis yang mengusung perubahan menuju sistem Islam sampai
perkumpulan pencinta game. Munculnya wacana untuk merevisi UU ormas tidak
lepas dari salah kaprah negara dalam memandang keberadaan masyarakat dan
ormas.
Sebagaimana
rezim Orde Baru, pemerintah saat ini sepertinya melihat masyarakat selalu
sebagai sumber ancaman, konflik, dan disintegrasi bangsa, sehingga
dianggap UU yang mengatur ormas diperlukan. Berbeda halnya apabila
pemerintah memandang ormas, yang didirikan dan dijalankan secara
sukarela, sebagai salah satu bentuk kontribusi dan partisipasi masyarakat
dalam kehidupan kolektif, maka tentu pengaturan ormas melalui UU jelas
tidak diperlukan.
Pemerintah
yang baik semestinya memberi apresiasi atas kontribusi dan partisipasi
yang diberikan sejumlah elemen masyarakat dalam kehidupan kolektif.
Masalahnya draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Ormas yang tengah
diselesaikan DPR pada tingkat panitia kerja lebih berorientasi mengatur
dan mengontrol ormas ketimbang menjamin kebebasan warga masyarakat untuk
berserikat dan berkumpul.
Naskah RUU
tersebut masih menganut cara pandang keliru rezim represif yang melihat
masyarakat sebagai ancaman. Padahal kebebasan berserikat semestinya
dijamin oleh negara dalam rangka kontribusinya bagi kemaslahatan
kolektif. Karena itu, yang lebih diperlukan sebenarnya bukanlah
undang-undang yang mengatur ormas, melainkan suatu undang-undang yang
menjamin kebebasan berserikat.
Hal ini
sepertinya sulit lahir pada sistem negara yang berorientasi
mempertahankan kekuasaan ketimbang mewujudkan kesejahteraan sebagaimana
yang dianut negara ini. Beberapa pasal dalam draf RUU tersebut jelas
menggambarkan bagaimana negara begitu bernafsu untuk mengebiri hak
berorganisasi masyarakat yang ditandai dengan proses pendataan dan
verifikasi yang panjang dan berbelit.
Hal lebih
vulgar adalah draf pasal 3 yang mewajibkan pencantuman asas tunggal
Pancasila beserta pasal turunannya, yakni sanksi pembubaran bagi ormas
yang mengusung asas lain (draft pasal 43). Pasal ini jelas dan tegas
ingin membredel gerakan-gerakan yang mengusung asas islam.
Aneh bin
ajaib, LSM-LSM asing yang jelas merupakan perpanjangan negara
imperialistis berdasarkan ketentuan ini tidak bisa diganggu gugat
sepanjang tetap mengusung asas Pancasila, namun perlakuan berbeda berupa
pembubaran akan dialami oleh gerakan-gerakan yang mengusung asas Islam.
Hal ini merupakan bentuk kemunduran politik yang fatal.
Kegagalan Negara
Meningkatnya
tindak kekerasan dan anarkistis oleh sejumlah elemen masyarakat selama
lebih dari 10 tahun terakhir tidak dapat dijadikan pembenaran untuk
menerbitkan Undang-Undang tentang Ormas. Tindak kekerasan dan anarkistis
massa lebih terkait dengan kegagalan negara dalam mengurusi urusan rakyat
di satu pihak dan kegagalan negara dalam penegakan supremasi hukum di
lain pihak.
Apabila peran
negara dalam mengurusi urusan rakyat; memenuhi kebutuhan-kebutuhan
prinsipil warga negara, mewujudkan kesejahteraan, menegakkan hukum, dan
perlindungan terhadap masyarakat, semestinya tidak perlu ada kekhawatiran
terkait tindak kekerasan dan anarkistis massa. Persoalannya selama ini
pemerintah beserta aparaturnya, terutama kepolisian alih-alih
melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik dan benar.
Malahan yang
terjadi adalah negara maupun aparaturnya acap kali menjadi sumber
konflik. Kebijakan negara yang diskriminatif memperkaya perusahaan asing
di Papua misalnya, menyebabkan masyarakat memberontak dan melawan dengan
kekerasan. Sistem hukum beserta proses penegakan yang tumpul juga menjadi
pemicu meledaknya partisipasi masyarakat yang akhirnya tumpah di jalan
dan menjadi liar dalam bentuk tindak kekerasan dan anarkistis.
Sebagai
gambaran aksi masa penyerangan terhadap pengikut Ahmadiyah di Cikeusik,
Bogor, beberapa waktu lalu tidak akan terjadi jika pemerintah tegas dan
konsisten menjalankan keputusannya membekukan dan membubarkan Ahmadiyah.
Pun kasus terbaru penyerbuan sekelompok ‘oknum’ bersenjata ke sebuah
tempat dengan pengamanan paling ketat di negeri ini, rumah tahanan
(penjara), akan bisa dihindari jika sistem hukum yang diberlakukan adalah
sistem hukum yang adil dan memberi kepuasan.
Percayalah, aksi
anarkistis dan kekerasan akan senantiasa muncul saban hari jika penguasa
dan sistemnya tidak segera diganti. Diganti dengan penguasa amanah yang
menjalankan sistem berkah (sistem Islam). Dengan logika seperti ini
lantas mengapa DPR dan pemerintah tetap ngotot menerbitkan UU yang bias
dan berimplikasi negatif terhadap kehidupan masyarakat? Jawabannya
sederhana, DPR dan pemerintah sibuknya mempertahankan hegemoni dan
kekuasaan bukan mengurusi kita, rakyatnya. Allahu‘alam. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar