Kesediaan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat Ketua Umum Partai Demokrat (PD) memicu
pro dan kontra. Yang jelas, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai
Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum memiliki plus-minus atau dapat
ditilik sisi positif dan negatifnya, terutama bagi Partai Demokrat (PD)
sendiri.
Dari sisi positifnya,
pertama, sebagai sosok dan ikon bagi PD, SBY akan dapat melakukan
konsolidasi partainya secara cepat. Ini berbeda dengan era kepemimpinan
Anas manakala faksi-faksi menggelayuti tubuh PD karena kerasnya
persaingan di internal partai. Anas sendiri akhirnya kesulitan melakukan
konsolidasi menyusul permasalahan hukum yang menderanya.
Kedua, terpilihnya SBY memberikan harapan kepada semua
komponen PD untuk meningkatkan elektabilitas partai di mata publik. Masih
ingat, hasil survei Saiful Munjani Research and Institute menunjukkan
elektabilitas PD sempat terjun bebas tinggal 8 persen dari posisi
sebelumnya, 20 persen. Ini sempat membuat gerah sebagian besar elite dan
pengurus PD, termasuk SBY sendiri. Dengan meng-handle jabatan strategis
ketum sekaligus, SBY diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas partai
hingga kembali memenangi Pilpres 2014.
Ketiga, dengan konsolidasi
secara cepat, PD dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya
secara bersama-sama. Hal ini karena ketokohan dan karisma SBY di semua
lapisan anggota dan pengurus PD di seluruh Indonesia, tidak perlu
diragukan lagi.
Sementara itu, dilihat sisi
negatifnya, pertama, kaderisasi partai tidak berjalan alias mandek dan
demokratisasi di tubuh PD tidak seperti yang diharapkan. Bandingkan
dengan Kongres PD 2010 yang memunculkan tiga calon ketum (Andi
Mallarangeng, Marzuki Alie, dan Anas Urbaningrum). Kongres itu sendiri
akhirnya memunculkan nama Anas Urbaningrun sebagai Ketum PD setelah
melalui pemilihan dua putaran. Sebagai sosok anak muda, Anas adalah
simbol kaderisasi partai pemenang pemilu sekaligus partai pemerintah.
Kedua, secara de facto dan
de jure, jabatan SBY bertambah, baik di dalam maupun di luar partai. Di
dalam partai, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua
Dewan Kehormatan dan ditambah lagi sebagai Ketua Umum PD. Rangkap empat
jabatan itu di PD tentunya tidak akan baik dalam mendinamisasikan partai
karena sulit dibatasi pada area apa SBY bekerja.
Sedangkan di luar partai,
sebagai Presiden RI, SBY adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Ia
juga memiliki jabatan-jabatan strategis lainnya, baik di kancah nasional
maupun internasional (misalnya, ketua bersama sebuah badan di PBB).
Tentu, hal ini akan kian menambah bebannya. Dengan demikian, akan sulit bagi
SBY untuk berkonsentrasi dan fokus pada masalah yang dihadapi. Apalagi,
kalau sampai terjadi konflik antara kepentingan partai dan kepentingan
bangsa/negara.
Kedua, masyarakat tentu
masih ingat ketika Presiden SBY meminta kepada para menterinya yang berasal
dari partai-partai agar di tahun politik 2013 tetap fokus dan
mengedepankan kepentingan negara dan bangsa. Bagaimana dengan status SBY
yang kini juga menjabat Ketum PD? Mau tak mau, SBY juga dituntut aktif
mengurus partainya. Apalagi, langkah pertama dan utama sebagai Ketum PD
adalah menandatangani daftar calon anggota DPR dari PD yang harus
diserahkan ke KPU. Ini tentu akan menyita waktunya.
Ketiga, sebagai Ketum PD,
maka SBY sudah turun kelas status kerjanya. Dengan mengemban sederet
jabatan tinggi partai, SBY tidak selayaknya lagi turun langsung
menjalankan roda partai. Ibarat sebuah unit usaha perseroan terbatas
(PT), sang pemegang saham utama atau pemegang saham mayoritas tidak
pantas lagi masih menjabat direktur.
Akhirnya, mungkin benar
komentar Edy Bhaskoro Yudhoyono yang menyatakan bahwa mungkin hanya Tuhan
dan SBY yang tahu segalanya tentang Partai Demokrat dan nasib partai
pemerintah itu selanjutnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar