Pada pertengahan Maret 2013, Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (ISNU)
merilis hasil survei Perilaku Politik Warga NU di Jatim.
Salah satu
aspek yang diteliti pada survei yang dilakukan di seluruh kabupaten/kota
Jawa Timur ini adalah tingkat kepatuhan warga Nahdliyin terhadap fatwa
politik kiai. Hasilnya, secara kumulatif 51% responden mengaku masih
patuh terhadap fatwa politik kiai, dan sisanya 49% responden mengaku
tidak lagi mematuhi fatwa politik yang diberikan kiai.
Walaupun
secara distributif masih ada beberapa daerah yang tingkat kepatuhannya
tergolong tinggi, hasil ini menjadi salah satu shock therapy bagi publik
yang menganggap bahwa salah satu ciri warga Nahdliyin adalah sami’na wa
atho’na, terlebih ini terjadi di Jawa Timur, yang merupakan gudangnya
kiai dan warga Nahdliyin. Politik patron adalah politik yang didasarkan
pada hubungan keteladanan. Fenomena politik patron sebenarnya sudah sejak
lama mewarnai dunia politik Indonesia.
Dari zaman
prakemerdekaan hingga pascareformasi seperti sekarang, politik patron
masih menjadi warna yang unik di hampir sebagian besar wilayah Indonesia.
Dengan berbagai macam jenis penyebutan, dukungan dari seorang tokoh
masyarakat atau tokoh agama sering kali merepresentasikan dukungan
masyarakat di bawahnya. Oleh karena itu, kontestan-kontestan pemilu
sering lebih memilih mendekati dan menjalin komunikasi dengan tokoh
tersebut dari pada dengan massa secara umum.
Cara ini
dianggap lebih efektif dan efisien, karena kontestan hanya berhadapan
dengan beberapa orang saja. Keith R Legg (1983) memandang bahwa hubungan
patron klien secara umum berkaitan dengan tiga hal, yaitu sumber daya
yang timpang, hubungan yang bersifat pribadi (particularistic), dan
hubungan mutualisme. Hubungan yang terbangun di atas penguasaan sumber
daya yang timpang bisa mencakup kekayaan, kedudukan, ataupun pengaruh.
Sedangkan hubungan pribadi dapat dimaknai sebagai hubungan timbal balik,
muncul atas perhatian yang diberikan patron dan kapatuhan yang diberikan
klien.
Selanjutnya,
hubungan mutualisme dapat diartikan sebagai hubungan yang didasari oleh
pertukaran antara patron dan klien saling menguntungkan. Dalam hal ini
dapat berupa adanya dukungan atau kepatuhan klien karena adanya transfer
pengetahuan dari patron. Dalam kultur masyarakat santri, kiai diposisikan
menjadi patron, sedangkan masyarakat sebagai klien. Proses pertukaran
yang terjadi dapat berupa pengetahuan agama, tuntunan, dan perlindungan
yang diberikan oleh kiai pada masyarakat.
Hal ini
kemudian akan dibalas dengan kepercayaan, kepatuhan, kesetiaan, dan
dukungan. Tuntunan hidup yang diberikan kiai pun bersifat universal,
mulai dari petunjuk menjalankan agama sesuai dengan ajaran yang diyakini
kebenarannya sampai pada hubungan sosial dan politik. Jauh sebelum survei
ini dilakukan, fenomena memudarnya hubungan patron-klien sudah berusaha
dijelaskan oleh Legg (1983). Legg mengungkapkan bahwa suatu saat hubungan
patron- klien tersebut tidak akan berjalan harmonis.
Hal ini
lambat laun akan terjadi seiring berkembangnya masyarakat ke arah modern.
Masyarakat modern di sini bercirikan kemakmuran dan keadilan. Pudarnya
hubungan patron- klien tersebut dikarenakan tiga hal. Pertama, kemakmuran
dan keadilan telah mengg o y a h - kan kelangsungan hubungan patron
klien. Kedua, lahirnya masyarakat modern menampilkan pola hubungan yang
lain.
Ketiga, pola
perekrutan politik dalam masyarakat modern melenyapkan rangsangan untuk
melakukan peranan seorang patron. Korelasinya dengan hasil survei ini
adalah terjadinya pergeseran tingkat kepatuhan di daerah-daerah yang
justru dianggap sebagai daerah hijau. Dari empat kabupaten di Madura
misalnya, tingkat kepatuhan terhadap kiai di Bangkalan dan Sampang sudah
sangat bergeser. Pergeseran ini dapat dinilai dari disparitas atau jarak
antara nilai patuh dan tidak. Hal ini bisa dibandingkan dengan dua
kabupaten lainnya, yaitu Pamekasan dan Sumenep, disparitas nilainya masih
tergolong tinggi.
Fenomena ini
menunjukkan sudah mulai lunturnya pengaruh kiai dalam hal politik di dua
kabupaten tersebut. Bila dikaitkan faktor geografis, hal ini menjadi
sangat masuk akal karena Bangkalan dan Sampang relatif lebih dekat ke
Surabaya dibanding dua kabupaten lain. Kedekatan jarak geografis ini
memungkinkan tersebarnya pengaruh modernisasi yang ada di Surabaya ke
Bangkalan dan Sampang dengan lebih cepat. Modernisasi tersebut mencakup
segala hal mulai dari gaya hidup, ekonomi, hingga sikap politik. Selain
di Madura, pudarnya pengaruh politik kiai juga terjadi di beberapa daerah
Tapal Kuda.
Banyuwangi
dan Situbondo misalnya, merupakan dua kabupaten yang nilai kepatuhan
terhadap fatwa politik kiainya mulai menurun. Bahkan, di Banyuwangi,
nilai ketidakpatuhan jauh melesat di atas nilai patuhnya. Sama seperti
analisis pada Bangkalan dan Sampang, kedekatan geografis antara
Banyuwangi dengan Bali yang dimungkinkan menjadi faktor kuat pudarnya
pengaruh kiai di Banyuwangi. Seperti efek domino, pengaruh modernisasi
Bali ini kemudian juga memengaruhi kabupaten lain yang berdekatan dengan
Banyuwangi, yakni Situbondo.
Berbeda
dengan Banyuwangi, letak geografis Situbondo dengan Bali tidak sedekat
Banyuwangi, ditambah keberadaan pondok pesantren besar yang sudah
legendaris membuat pudarnya tingkat kepatuhan kepada kiai dapat sedikit
terbendung. Walaupun nilai ketidakpatuhannya tetap lebih tinggi, rentang
jarak di antaranya tidak terlalu jauh, seperti di Banyuwangi. Analisis
geografis mungkin bisa sedikit menjelaskan fenomena lunturnya pengaruh
fatwa politik kiai dalam masyarakat santri.
Analisis ini
ibarat kulit terluar sebuah salak, yakni setelah kupasan kulit luar ini,
sejatinya masih ada lagi kulit ari yang juga harus dikupas agar kita bisa
menikmati daging buah dengan nikmat. Analisa yang lebih dalam lagi
terkait dengan perilaku dan sikap kiai itu sendiri dalam menempatkan
dirinya. Ali Maschan Moesa (2007) mengungkapkan, perdebatan antara Kiai
dan Politik sama halnya dengan agama dan politik. Apabila kita
menyandingkan antara agama dan politik, maka akan ada tiga pilihan.
Tiga pilihan
dimaksud adalah; (1) sangat dekat atau integrated, (2) simbiotik, dan
yang ketiga (3) sekuler. Sekuler yakni memisahkan sama sekali antara
agama dan politik. Pola hubungan yang sering digunakan adalah yang kedua,
yakni simbiotik. Dalam arti, antara agama dan negara terdapat kebutuhan
yang saling membutuhkan dan tidak dapat dipisahkan. Sejatinya, pola
hubungan simbiotik antara kiai dan politik akan melahirkan iklim politik
yang kondusif. Namun, iklim yang kondusif itu akan berangsur memudar
apabila terdapat kedekatan yang melebihi batas.
Hal ini
dikarenakan masyarakat menilai figur kiai merupakan penerus budaya
keislaman (cultural broker), bukan broker politik. Sebagai cultural
broker, kiai diharapkan mampu menjadi penyejuk panasnya iklim politik.
Kiai diharapkan dapat menjadi solution giverbagi kedua atau beberapa
aktor politik yang bertikai. Kiai diharapkan dapat menjadi jujugan ketika
masyarakat mengalami kebingungan politik. Berbagai harapan terhadap kiai
ini tidak akan tercapai apabila jarak kiai dengan politik terlalu dekat,
karena masyarakat akan mempunyai penilaian lain. Penilaian yang kemudian
memunculkan asumsi bahwa kiai terlibat intrik dan konflik politik.
Karena
politik selalu identik dengan kekuasaan, maka kiai dianggap ikut berburu
kekuasaan sama dengan politisi- politisi yang selama ini tidak bisa
dipandang sebagai pihak netral. Akibatnya, klien dalam hal ini masyarakat
akan menyamakan kedudukan kiai dengan politisi sehingga perlakuan
istimewa terhadap kiai tidak akan lagi diberikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar