Sudah tiga tahun lebih Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia memasyarakatkan ”Empat Pilar Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara” (disingkat Empat Pilar).
Selama itu pula antusiasme
masyarakat amat tinggi menyambut baik dan mengapresiasinya, seraya
berharap substansi materi, cakupan wilayah dan komunitas, serta
metodologinya dapat lebih dikembangkan.
Kini, setelah lebih dari tiga
tahun, muncul pandangan bahwa menamakan dan menyamakan Pancasila sebagai
pilar merupakan sesat pikir. Pandangan itu dilandasi paham bahwa pilar
tak sama maknanya dengan dasar. Pilar diartikan sebagai tiang penyangga,
sementara Pancasila adalah dasar kita bernegara. Apakah pilar hanya punya
satu makna, yaitu tiang penyangga? Apakah pandangan itu sekadar
kesalahpahaman ataukah pahamnya yang salah?
Makna Pilar
Pemasyarakatan Empat
Pilar—sesuai amanat Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR,
DPD, dan DPRD, yang dijabarkan dalam Peraturan Tata Tertib MPR—bukan
semata karena adanya perubahan konstitusi sehingga perlu disosialisasikan
kepada masyarakat. Pentingnya pemasyarakatan ini juga lebih didorong oleh
kondisi bangsa yang ditengarai tengah mengalami krisis karakter.
Lunturnya nilai-nilai jati diri
bangsa terlihat nyata pada perilaku pelanggaran norma moral dan hukum,
tumbuhnya ideologi asing, meluasnya praktik ketakadilan dan kesenjangan
sosial, maraknya perilaku koruptif, aksi kekerasan dan intoleran,
meningkatnya eskalasi gerakan separatisme, juga mewabahnya perilaku main
hakim sendiri.
Dilandasi kesadaran itu, MPR
mengembangkan konsep dengan kemasan ”Empat Pilar”. Dimaksudkan bukan
sekadar menjawab perlunya sosialisasi UUD 1945 hasil reformasi yang telah
mengalami perubahan, melainkan utamanya untuk membangkitkan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika.
Penggunaan istilah Empat Pilar
didasarkan pada pertimbangan obyektif bahwa ada empat hal yang dianggap
paling relevan dengan kebutuhan saat ini untuk diangkat kembali guna
mengatasi berbagai tantangan krisis jati diri bangsa. Kata ”pilar”
digunakan karena dianggap paling tepat untuk mengantar pemahaman akan
sesuatu yang amat mendasar terkait dengan empat hal itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), kata pilar mengandung banyak makna. Ia tak hanya
berarti ’tiang penguat’. Pilar juga bermakna ’dasar’, ’pokok’, atau
’induk’. Maka, jika Pancasila dikatakan sebagai pilar bangsa, tentu pilar
dalam maknanya sebagai dasar, bukan dalam artian sebagai tiang penguat
atau tiang penyangga.
Penggunaan istilah Empat Pilar
terkait juga pertimbangan teknis komunikasi efektif, yang mensyaratkan
adanya pesan yang jelas, sederhana, dan benar-benar dibutuhkan sehingga
pesan sosialisasi berhasil mencapai sasaran. Istilah Empat Pilar
dimaksudkan untuk membantu masyarakat memahami pesan komunikasi dengan
cepat. Pengucapan ”Sosialisasi Empat Pilar” tentu jauh lebih ringkas
dibandingkan pengucapan lengkap ”Sosialisasi Pancasila, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik
Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika”.
Tentu antara satu pilar dan
pilar lainnya tidak dalam posisi yang sama. Masing-masing punya kedudukan
dan fungsinya sendiri. Bagaimana mungkin menyejajarkan Pancasila dengan
UUD 1945? Atau menyetarakan Pancasila dengan NKRI? Tentu tak mungkin
karena tak tepat.
Pancasila adalah norma
fundamental negara yang telah menjadi konsensus nasional sejak Indonesia
merdeka. Pancasila sebagai dasar negara sekaligus merupakan sumber dari
segala sumber hukum. Karena itu, setiap materi muatan peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila. Dengan demikian, kedudukan Pancasila tentu
tak bisa disamakan, apalagi tergantikan, dengan konstitusi sekalipun.
Penggunaan istilah Empat Pilar
juga bukan hendak menafikan pilar-pilar bangsa yang lain di luar yang
empat itu. Selain yang empat, tentu masih banyak pilar bangsa yang juga
punya peran dan fungsinya sendiri dalam ikut merawat keindonesiaan kita.
Sebutlah seperti bahasa Indonesia, bendera Merah Putih, atau lagu
Indonesia Raya. Kalaulah kemudian hanya Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan
Bhinneka Tunggal Ika yang diangkat sebagai Empat Pilar, ini semata karena
empat itulah yang menjadi prioritas untuk selalu menjadi ingatan kolektif
bangsa dalam konteks kekinian kita menghadapi globalisasi.
Wacana Itu Sudah Usai
Penggunaan istilah Empat Pilar
pada hakikatnya ingin meneguhkan Pancasila sebagai dasar berbangsa dan
bernegara. Pancasila tetaplah dasar negara meski pada saat bersamaan
dilekatkan dengan istilah atau ungkapan yang beragam. Kita sering
mendengar istilah semisal Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa,
Pancasila adalah perjanjian luhur bangsa, dan lain sebagainya. Bung Karno
pun sebagai penggali Pancasila pernah memaknainya sebagai bintang
penuntun arah (leidstar)
perjuangan bangsa.
Ini menunjukkan terdapat betapa
banyak keragaman fungsi atau peran Pancasila bagi bangsa dan negara kita.
Keragaman makna seperti itu tentu tak akan menggoyahkan kedudukan
Pancasila sebagai dasar negara.
Wacana soal Pancasila sebagai
dasar atau bukan itu sudah lama usai. Kita jangan lagi kembali ke
belakang. Mari gunakan energi yang ada untuk merealisasikan
institusionalisasi dan internalisasi nilai-nilai Empat Pilar itu di
tengah perubahan yang sedang dan akan terus terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar