Komisi III Dewan Perwakilan
Rakyat yang membidangi hukum sedang giat membahas RUU KUHP dan RUU KUHAP.
Inilah konsekuensi reformasi di bidang hukum, khususnya materi hukum.
RUU Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) dimaksudkan untuk menggantikan KUHAP yang dirasa
sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan hukum yang mengglobal, khususnya
bidang hak asasi manusia. Apalagi Pemerintah Indonesia telah meratifikasi
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia dengan UU Nomor
5 Tahun 1998; Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik
dengan UU No 12/2005; serta Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Antikorupsi, 2003, dengan UU No 7/2006, yang mengharuskan penyesuaian
ketentuan-ketentuan dalam KUHAP.
Perancang RUU KUHAP tampaknya
berusaha mengadopsi beberapa ketentuan yang diakui internasional sehingga
memenuhi standar internasional. Meski demikian, ada beberapa yang perlu
dikaji.
Sakit Ingatan atau Sakit Jiwa
RUU KUHAP membuat terobosan
dalam hal seseorang memberikan keterangan di depan sidang. Menurut KUHAP
saat ini hanya terbatas pada seseorang yang sehat jasmani-rohani. Namun,
Pasal 161 RUU KUHAP memberi peluang kepada seseorang yang sakit ingatan
atau sakit jiwa memberikan keterangan tanpa sumpah atau janji. Bunyinya:
Seseorang yang dapat diminta memberikan keterangan tanpa sumpah atau
janji adalah: a. anak yang belum berumur 15 (lima belas) tahun dan belum
pernah kawin; b. orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa.
Dengan demikian, kita akan dapat
menyaksikan di persidangan perkara pidana seseorang yang menderita sakit
ingatan atau sakit jiwa memberikan keterangan guna membuktikan kesalahan
terdakwa. Penjelasan Pasal 161 RUU KUHAP menerangkan: Mengingat bahwa
anak yang belum 15 (lima belas) tahun, demikian juga orang yang sakit
ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang
dalam ilmu penyakit jiwa disebut psikopat, mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana. Untuk itu, yang
bersangkutan tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan dan hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Padahal, menurut Pasal 175 Ayat
(1) RUU KUHAP: Alat bukti yang sah mencakup: a. barang bukti; b.
surat-surat; c. bukti elektronik; d. keterangan seorang ahli; e.
keterangan seorang saksi; f. keterangan terdakwa; dan pengamatan hakim.
Ini artinya, petunjuk yang menurut KUHAP berlaku saat ini sebagai alat
bukti, menurut RUU KUHAP tidak termasuk alat bukti sehingga akan menimbulkan
persoalan di kemudian hari saat RUU KUHAP diberlakukan.
Jalur Khusus
Jalur khusus dalam RUU KUHAP
tampaknya diadopsi dari lembaga plea bargaining yang dikembangkan dalam
criminal justice system negara-negara yang termasuk keluarga hukum Anglo
Saxon, khususnya di Amerika Serikat. Lembaga plea bargaining ini
menawarkan kepada terdakwa jalur yang tidak begitu rumit dan penerapan
ketentuan pidana yang lebih ringan apabila terdakwa mengaku bersalah
serta mengakui perbuatannya.
Pasal 199 RUU KUHAP memberikan
kesempatan kepada terdakwa untuk mengakui semua perbuatan yang
didakwakan. Bila ia mengaku bersalah setelah penuntut umum membacakan
surat dakwaan, maka penuntut umum dapat mengalihkan acara dari acara
pemeriksaan biasa ke sidang acara pemeriksaan singkat, terbatas pada
tindak pidana yang diancam pidana penjara tidak lebih dari 7 (tujuh)
tahun.
Pengakuan terdakwa harus
diberikan dengan sukarela dan dituangkan dalam berita acara yang
ditandatangani oleh terdakwa dan penuntut umum. Konsekuensi dari pengakuan
terdakwa adalah hak-hak yang diperoleh terdakwa terkait pemeriksaan
perkara menjadi hilang, terdakwa dianggap melepaskan hak-hak yang dijamin
oleh undang-undang. Dengan pengakuan bersalah, terdakwa mendapat
keringanan dalam pemidanaan berupa pengurangan dan tidak boleh dijatuhi
pidana melebihi 2/3 dari maksimum pidana tindak pidana yang didakwakan.
Jalur khusus melalui pengakuan
bersalah dari terdakwa tidak berlaku secara mutlak, tergantung pada hakim
yang memeriksa. Hakim dapat menolak pengakuan terdakwa sepanjang hakim
ragu-ragu terhadap kebenaran pengakuan itu.
Saksi Mahkota
RUU KUHAP melalui Pasal 200
mengadopsi pemikiran yang berkembang di masyarakat bahwa dalam tindak
pidana tertentu yang melibatkan beberapa orang pelaku, seperti dalam
perkara korupsi, salah seorang di antaranya dapat dijadikan justice
collaborator. Saksi mahkota selama ini dipandang bertentangan dengan hak
asasi manusia, di mana seorang terdakwa bisa menjadi saksi atau terdakwa
yang lain dan begitu sebaliknya. Berarti pada saat menjadi terdakwa boleh
mengingkari/berbohong, tetapi pada saat menjadi saksi tidak boleh
berbohong atau memberikan kesaksian palsu.
Melalui RUU KUHAP, peluang
seorang yang berstatus sebagai terdakwa dapat dijadikan saksi dalam
perkara yang sama; asal peranan terdakwa dalam mewujudkan tindak pidana
paling ringan dan dapat dibebaskan dari tuntutan pidana sepanjang yang
bersangkutan membantu mengungkapkan keterlibatan tersangka lain. Hakim
pengadilan negeri, dengan kebijakannya, dapat mengurangi pidana terdakwa
yang mengaku bersalah dan membantu secara subtantif mengungkap tindak
pidana dan peran tersangka lain. Penentuan tersangka/terdakwa menjadi
saksi mahkota ditentukan penuntut umum.
Dengan diadopsinya saksi mahkota
dalam RUU KUHAP, praktik yang terjadi selama ini, di mana beberapa
terdakwa dipisah dengan tujuan memperoleh alat bukti berupa keterangan
saksi, tidak lagi menimbulkan permasalahan.
Kita berharap, di samping
pembahasan RUU KUHAP, juga dibahas RUU KUHAP dan sekaligus dipersiapkan
RUU Pelaksanaan Pidana yang sudah sewajarnya menyesuaikan dengan RUU
KUHP. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar