SOAL harta, mungkin mantan Presiden
Soeharto lebih kaya daripada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Soal pangkat militer, Pak Harto, yang jenderal bintang lima pasti lebih
tinggi ketimbang Pak Beye. Tapi mengenai jabatan, terutama dalam partai
politik, Pak Beye lebih ”kaya” dibanding Pak Harto. Betapa tidak?
Dalam Kongres
Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat (PD) di Bali, pada Sabtu 30 Maret 2013,
Pak Beye mau menerima ketika didaulat menjadi ketua umum partai itu. Ia
menggantikan Anas Urbaningrum yang berhenti setelah ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai tersangka korupsi proyek
Hambalang.
Namun,
kesediaan itu dengan dua syarat. Pertama; tugas sebagai ketua umum
bersifat sementara, maksimal dua tahun, atau sampai berakhirnya Pemilu
Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. Selanjutnya akan digelar kongres
reguler untuk memilih ketua umum sesuai siklus lima tahunan. Kedua; ada
ketua harian untuk menjalankan tugas sehari-hari ketua umum. Dia kemudian
mengangkat Syarief Hasan sebagai ketua harian partai.
Apa pun
syaratnya, dengan jabatan baru itu, di partainya SBY memegang tiga
jabatan sekaligus: ketua umum, ketua dewan pembina, dan ketua majelis
tinggi. Bila satu jabatan memerlukan satu emblem, sedikitnya ada tiga
emblem terpasang di dada Pak Beye. Bandingkan dengan Pak Harto yang
selama menjabat presiden hanya memegang satu jabatan di partainya: Ketua
Dewan Pembina Golkar.
Dengan tiga
jabatan sekaligus itu, dapatkah kita bayangkan betapa repot nanti? Tapi
tidak. Pak Beye mengklaim bisa saja dirinya tidak aman, tapi partainya
harus aman. Karena itu, selain mengangkat ketua harian, Pak Beye juga
mengangkat Marzuki Alie sebagai ketua harian majelis tinggi, dan EE
Mangindaan sebagai ketua harian dewan pembina.
Partai Korup
SBY akan
banyak mendelegasikan tugasnya kepada mereka, kecuali untuk hal-hal
strategis seperti menandatangani daftar calon sementara (DCS) Pemilu 2014
dan menentukan calon presiden terkait Pilpres 2014. Dia menyatakan tetap
akan memprioritaskan tugasnya sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan.
Terkait
capres, Ia menjadi ketua umum partai itu konon untuk memuluskan jalan
bagi sang ipar, Jenderal Pramono Edhie Wibowo yang saat ini masih
menjabat Kepala Staf TNI Angkatan Darat. Benarkah? Hanya ia yang tahu.
Segawat apakah nasib Partai Demokrat sehingga dia harus turun gunung?
Sebesar apakah tantangan yang dihadapi partai itu sehingga ia perlu
menjadi ketua umum partai?
Kita tidak
tahu pasti. Yang jelas, ia mengklaim bila tak mau menjadi ketua umum maka
partai berlambang mercy ini akan menghadapi masalah. Maklum, sebelum KLB
terjadi faksionalisasi dalam tubuh partai, antara faksi Cikeas (Pak
Beye), Duren Sawit (Anas), dan Senayan (Marzuki Alie). Susilo Bambang
Yudhoyono dianggap sebagai figur pemersatu. Namun ia juga harus bisa
menjelaskan kepada publik mengapa mempertahankan putranya, Edhie Baskoro
(Ibas), sebagai sekretaris jenderal partai. Bukankah nanti Partai Demokrat
bisa dicap sebagai partai keluarga?
SBY juga
mengaku bisa melakukan konsolidasi menuju keberhasilan partai untuk tahun
depan. Badai pasti berlalu, kata dia mengutip judul lagu yang
dipopulerkan Chrisye. Benarkah? Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, hasil berbagai
lembaga survei menunjukkan elektabilitas Partai Demokrat menukik tajam.
Berdasarkan
hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN), elektabilitas Partai Demokrat
kini tinggal 4,3%. Agar bisa bangkit, menurut SBY, ada empat hal yang
harus dijalankan. Pertama; melakukan pembenahan dan peningkatan kemampuan
partai. Kedua; cegah praktik dan perilaku politik yang tidak baik,
seperti korupsi dan praktik pungutan untuk kepentingan pribadi dalam
penentuan calon anggota legislatif, calon gubernur, calon bupati/wali
kota, dan calon presiden. Ketiga; meningkatkan integritas dan kemampuan
diri. Keempat; menjadikan KLB ajang memperkokoh persatuan partai.
Penyebab
rendahnya elektabilitas Parrtai Demokrat, menurut LSN, adalah publik
memandang bahwa partai itu korup. Dalam konteks ini, langkah kedua yang
diwacanakan SBY untuk membangkitkan partainya patut diapresiasi. Sayang,
dalam upaya pemberantasan korupsi, termasuk dalam internal partainya, ia
sudah terbukti tidak tegas.
Bila SBY
tegas, tentu M Nazaruddin dan Angelina Sondakh tak perlu menjadi
terpidana korupsi proyek wisma atlet SEA Games XXVI di Palembang. Tak
perlu pula Andi Alifian Mallarangeng dan Anas Urbaningrum menjadi
tersangka korupsi proyek Hambalang. Sebagai pendiri, ketua dewan pembina
dan ketua majelis tinggi partai, Ia bisa dianggap gagal mengontrol
perilaku kader-kadernya. Entah kini setelah ia menjadi ketua umum.
Kondisi dan
tantangan yang dihadapi Partai Demokrat memang berbeda dari Golkar pada
masa Orde Baru. Namun terlepas dari itu, dan terlepas dari kekurangan
pribadi Pak Harto, mestinya SBY bisa mengambil pelajaran dari Pak Harto,
yang tak ”sekaya” dirinya dalam hal jabatan di partainya, dalam hal
bagaimana mengendalikan Golkar. Waktu itu ada faksionalisasi dalam tubuh
Golkar, antara faksi A (ABRI), B-1 (birokrasi), dan B-2 (beringin/politikus),
tapi Pak Harto dengan cerdik bisa mengendalikan mereka, tanpa harus
menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar. Bagaimana Pak Beye? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar