Degradasi
SBY
A Zaini Bisri ;
Wartawan Suara Merdeka, Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Sosial (konsentrasi Ilmu Politik) Universitas Diponegoro
|
|
SUARA
MERDEKA, 01 April 2013
HARUS diakui, Anas Urbaningrum
telah menulis ”halaman kedua” buku pertarungannya melawan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY). Anas yang menggoreskan kalimat pertama pada halaman
tersebut yang kira-kira tertulis ”Harus
Pak SBY yang menggantikan saya kalau tidak ingin Partai Demokrat pecah”,
direspons positif oleh SBY dengan bersedia menjadi ketua umum melalui
Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Bali.
Dalam pidatonya, SBY mengatakan bersedia menjadi ketua umum karena
situasi darurat dalam partainya. Dia juga menghormati Anas dengan
menyebutnya ”Pak” bukan ”Saudara”. Di luar arena kongres,
Anas sambil senyum-senyum menyebut kehadirannya di Pulau Dewata memang
untuk KLB alias ”keluyuran
luar biasa”.
Mengusulkan SBY sebagai ketua umum adalah senjata Anas dan kubunya untuk
membalas kekalahannya pada ”halaman
pertama”, menyusul penetapan dirinya sebagai tersangka kasus korupsi
Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Senjata ini diasah
dengan kerikil-kerikil tajam, seperti mengajukan Saan Mustopa sebagai
calon ketua umum dan membiarkan Tri Dianto mengacak-acak wacana
kongres.
Tujuan pun tercapai. Kubu SBY yang semula mengusung syarat ketua umum
tidak merangkap jabatan publik, menganulir syarat itu. Marzuki Alie, yang
menurut hasil survei Lembaga Survei Nasional (LSN) menduduki peringkat
pertama calon pengganti Anas, mengurungkan niat mencalonkan diri setelah
ditegur SBY karena bermanuver mengumpulkan DPC seluruh Indonesia.
SBY terancam dan terbius oleh gerakan kubu Anas. Politik akomodasinya
akhirnya harus mengorbankan dirinya untuk apa yang disebutnya sebagai
penyelamatan Partai Demokrat. Dengan menjadi ketua umum, SBY berharap
Partai Demokrat kembali berjaya dan menjadi partai tengah yang modern.
Tragedi Bangsa
Harapan itu muncul dari sejumlah asumsi yang masih perlu pembuktian.
Keputusannya menjadi ketua umum justru bisa menjadi antitesis atas
asumsi-asumsi tersebut, meski dengan sejumlah syarat (menambah wakil
ketua umum, menunjuk ketua harian, dan menetapkan ketua harian Dewan
Pembina).
Dengan SBY tidak menjadi presiden lagi setelah Pemilu 2014, sulit bagi
Demokrat untuk kembali berjaya. Butuh waktu lama untuk konsolidasi dan
memulihkan kepercayaan pemilih terhadap partai peringkat kedua terkorup
setelah Golkar itu menurut hasil sebuah survei.
Menjadi partai tengah yang modern juga tidak mudah karena SBY yang telah
menjadikan partainya tidak modern. Partai modern dicirikan tidak
bergantung pada figur sentral, sedangkan SBY telah merangkum seluruh
jabatan tertinggi partai di tangannya.
Tragedi kepartaian seperti yang terjadi di Mesir pada masa lalu terulang
di negeri ini. Namun, Mesir telah belajar dari masa lalu. Mohammed Mursi
melepas jabatan ketua umum Partai Keadilan dan Kebebasan (FJP) saat
dilantik menjadi presiden, menyusul kemenangannya pada pemilihan presiden
pada 24 Juni 2012.
Survei LSN menyebutkan, 77,4% responden tidak setuju SBY menjadi ketua
umum Demokrat. Meski desakan publik cukup kuat, SBY tampaknya tidak tahan
oleh godaan partai. Dia meminta rakyat mengawasi dan mengkritik peran
gandanya, namun kritik itu tidak mampu memengaruhi keputusannya.
Maka, KLB itu bisa dibaca juga sebagai korban luar biasa. SBY telah
mengorbankan dirinya untuk partai, bukan untuk negara. Presiden yang kali
pertama dipilih langsung oleh rakyat itu telah terdegradasi dari seorang
negarawan menjadi politikus. Dia lebih memilih mengonsolidasikan
partainya daripada mengonsolidasikan demokrasi di negeri ini.
Langkah mundur SBY merupakan tragedi bagi
bangsa Indonesia. Mobilitas elite politik terhambat, negeri ini makin
kehilangan banyak negarawan. Partai belum menjadi lokomotif demokrasi
yang membuat rakyat nyaman dan sejahtera. Partai yang seharusnya
berkewajiban menyelesaikan konflik sosial, justru menjadi objek yang
menguras energi rakyat. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar