ALHAMDULILLAH, saya sudah memegang KTP (kartu tanda penduduk)
elektronik atau lazim disebut e-KTP. Secara fisik, e-KTP tidak berbeda amat
dengan KTP sebelumnya. Seperti KTP lama, bagian muka e-KTP juga berisi
biodata lengkap dan foto diri pemiliknya. Kalaupun dianggap ada, perbedaan
yang paling mencolok terdapat pada dua hal. Yakni, jenis font nomor
NIK (nomor induk kependudukan) yang dicetak lebih besar dan tanda tangan
camat.
Pada e-KTP tidak ada lagi nama dan tanda tangan camatnya. Sementara itu,
bagian belakang e-KTP dan KTP lama juga nyaris tidak ada yang berbeda.
Kecuali ''peringatan'' yang terdapat pada KTP lama diganti dengan hologram
warna silver mengilap. Di balik hologram itulah konon terdapat chip dan biometrik yang menyimpan data
lengkap si pemilik e-KTP.
Dua peranti canggih itu disebut-sebut menjadi salah satu penyebab
melangitnya anggaran program e-KTP. Seperti dirilis banyak media, biayanya
mencapai Rp 4,7 triliun. Memperhatikan bejibunnya biaya proyek pencatatan
data kependudukan tersebut, pikiran saya langsung menyimpulkan: pasti e-KTP
sangat canggih. Kartu ini pastilah merupakan senjata yang kesaktiannya
tiada tanding. Khususnya, untuk mengatasi segala keperluan yang membutuhkan
data jati diri. Benarkah?
Konon, e-KTP cukup ampuh untuk menangkal munculnya KTP ganda atau pemalsuan
KTP yang kerap terjadi. Selama ini orang dengan mudah bisa memiliki
beberapa KTP atau memalsukan identitas untuk aksi krinimal hingga
terorisme. Di era e-KTP, yang demikian itu dijamin tidak akan terjadi lagi.
Sebab, data penduduk yang terekam dalam e-KTP tidak hanya sangat akurat,
tapi juga berlaku (bisa diakses) nasional. Sebab, e-KTP berbasis NIK (nomor
induk kependudukan). Dengan memiliki e-KTP, masyarakat tidak perlu lagi
membuat KTP lokal untuk mengurus izin, membuka rekening bank, dan keperluan
lain di daerahnya.
Memang, logikanya seperti itu. Tapi, apakah yang terjadi di lapangan sudah
berjalan sesuai dengan logika itu? Rasanya masih belum. Entah kapan teori
tersebut akan benar-benar diterapkan. Yang pasti, tidak dalam waktu dekat.
Sebab, pendistribusiannya belum seratus persen tuntas. Bahkan, di beberapa
tempat masyarakat mengaku tidak tahu kapan akan menerima e-KTP.
Ada yang sudah menerima, tapi belum diaktivasi. Penyebabnya, petugas di
kelurahan/desa langsung membagikan e-KTP tanpa memberi tahu pemerimanya
bahwa e-KTP tersebut harus diaktivasi dulu di kantor camat. Sebab, alat
pemindai sidik jari yang terkoneksi ke e-KTP hanya ada di kecamatan.
Karena dilengkapi chip dan biometrik, e-KTP seharusnya
bisa memangkas proses administrasi data kependudukan. Selama ini terjadi
tumpang tindih data diri penduduk, terutama yang terkait dengan persyaratan
pengurusan sesuatu. Coba baca daftar persyaratan yang harus dipenuhi
seseorang saat membuat/memperpanjang paspor, mengikuti tes CPNS, tes Polri,
TNI, dan lain-lain. Juga untuk mengurus izin usaha, mengambil kredit di
bank, hingga melamar pekerjaan. Semuanya mencantumkan peryaratan yang
nyaris sama. Fotokopi kartu keluarga, KTP, akta kelahiran, dan akta nikah
merupakan berkas yang wajib dibawa.
Di era e-KTP, persyaratan-persyaratan semacam itu semestinya tidak
diperlukan lagi. Bahkan, harus dihapus! Sebab, e-KTP dengan peranti canggih
biometrik danchip berbasis NIK nasional sudah
menyimpan biodata, foto diri, sidik jari, hingga tanda tangan digital si
pemiliknya. Sekadar tahu, biometrik berguna sebagai identifikasi jati diri.
Data yang termuat dalam dokumen menunjukkan identitas diri penduduk
bersangkutan yang akurat dan bisa diakses secara cepat. Selain itu,
biometrik berfungsi sebagai otentifikasi diri. Yakni, sebagai alat untuk
memastikan dokumen sebagai milik pemilik yang sebenarnya. Dengan demikian,
pemalsuan dokumen dan dokumen ganda bisa mencegah.
Sementara itu, chip merupakan alat penyimpan data
elektronik penduduk yang diperlukan -termasuk data biometrik. Data yang
termuat dalam chip dapat dibaca secara elektronik
dengan alat tertentu (card
reader) di mana
pun dan kapan pun. Bukan hanya itu. Chip juga relatif lebih mudah
diintegrasikan dengan sistem lain. Berarti, cukup dengan card
reader, kantor imigrasi, kantor perizinan, Polri, TNI, bank, dan
bahkan perusahaan yang membutuhkan karyawan bisa dengan mudah dan cepat
membaca data yang tersimpan dalam chip e-KTP seseorang. Kalau sudah
begitu, masih mensyaratkan akta kelahiran, akta nikah, kartu keluarga, dan
ijazah merupakan tindakan pemubaziran. Mengapa? Karena dalam perut e-KTP
sejatinya sudah terkandung data akta kelahiran, kartu keluarga, dan ijazah.
Saat mengurus KTP kita disyaratkan membawa fotokopi akta kelahiran, kartu
keluarga, dan ijazah (jika punya), bukan?
Dengan cukup mengintegrasikan e-KTP dengan sistem di berbagai kantor dan
lembaga pemerintah serta swasta, tumpang tindih data administrasi bisa
dipangkas. Begitu, kan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar