HARI INI, 22 Maret, diperingati sebagai Hari Air Dunia. Momen
ini adalah tempat dan ruang untuk memfokuskan perhatian dunia atas peran
penting tersedianya air bersih dan mengupayakan serta mengampanyekan tata
kelola sumber daya air segar yang berkelanjutan. Mulanya, 22 Maret 1993
dipilih sebagai satu hari dari satu tahun yang direkomendasikan Konferensi
PBB tentang Lingkungan Hidup dan Pembangunan (UNCED). Pada Desember 2010,
Majelis Umum PBB mendeklarasikan 2013 sebagai Tahun Kerja Sama Air
Internasional (termaktub dalam Resolusi A/RES/65/154).
Saking vitalnya air, PBB membentuk UN Water yang mengurusi masalah
air sebagai kebutuhan dasar manusia. Pengelolaan air yang baik merupakan tantangankarena beberapa karakteristik yang unik: itu tidak merata dalam ruang dan waktu, siklus hidrologi sangat kompleks, dan gangguan terhadap sistem akan memiliki efek ganda. Ada tujuh miliar manusia
bergantung kepada air. Air adalah
sumber daya bersama dan manajemen perlu mempertimbangkan berbagai kepentingan yang sangat mungkin
timbul konflik antara kelompok yang satu dan kelompok lainnya. Hal itu memberikan kesempatan
untuk bekerja sama di antara pengguna air.
Kerja sama tingkat lokal juga perlu dilakukan demi ketersediaan air yang
berkelanjutan. Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa hutan alam asli
Indonesia luasannya semakin susut dikarenakan penebangan hutan yang tidak
terkendali selama puluhan tahun dan mengakibatkan penyusutan hutan tropis
secara besar-besaran. Ancaman kerusakan resmi yang dikeluarkan Kementerian
Kehutanan sekitar 1,17 juta hektare per tahun. Tapi, berdasar data yang
dikeluarkan oleh State of the World's Forests 2007 yang dikeluarkan The UN Food & Agriculture Organization (FAO), angka kerusakan hutan di
Indonesia pada periode 2000-2005 sekitar 1,8 juta hektare per tahun.
Dampak penggundulan hutan mengakibatkan air hujan langsung mengalir sebagai
aliran permukaan (aliran banjir) menuju ke laut sehingga hampir tidak ada
yang tersimpan ke dalam tanah. Keberadaan hutan bisa menyerap air hujan
lebih besar dari 80 persen. Itu menunjukkan bahwa hutan di pegunungan bisa
membantu mendistribusikan hujan semusim dalam jangka setahun dan
dikeluarkan secara proporsional lewat mata air-mata air.
Akibat minimnya air yang tersimpan di dalam tanah, cadangan air bersih di
dalam tanah juga akan berkurang. Kekurangan cadangan air dalam tanah bakal
diikuti terganggunya sistem tata air dalam tanah yang dulu diatur oleh akar
dan vegetasi melalui mekanisme transpirasi. Kekurangan cadangan air tanah
juga akan diikuti menurunnya jumlah mata air yang menyuplai debit sungai di
bawahnya.
Di beberapa daerah sudah mulai kehilangan mata air, atau jumlah mata air
berkurang, atau debit mata air mengecil sehingga sungai tak berair lagi.
Dampak berikutnya, ketersediaan pangan akan terpengaruh. Fakta yang terjadi
saat ini bahwa efek yang ditimbulkan gara-gara penggundulan hutan sangat
besar dan merugikan kehidupan masyarakat yang mendiami wilayah daerah
aliran sungai.
Kuantitas dan kualitas air yang mengalir sangat bergantung kepada perilaku
masyarakat yang bermukim di hulu sungai (kawasan resapan dan kawasan mata
air). Dengan kata lain, kita yang mendiami dalam satu wilayah aliran sungai
secara ekologis merupakan saudara serta saling bergantung dan saling
membutuhkan.
Saat ini sebagian besar saudara kita yang bermukim di hulu sungai
kekurangan dalam berbagai hal, termasuk miskin ilmu pengetahuan ekologis.
Mereka melakukan segalanya untuk memenuhi kebutuhannya, termasuk menebang
hutan dan menjual kayunya. Mereka tidak tahu bahwa penebangan hutan bisa
memengaruhi sungai di bawahnya. Kita sebagai pengguna air mestinya
bersyukur punya saudara ekologis yang mau merawat kawasan resapan dan
kawasan mata air.
Rasa syukur itu akan baik kalau diwujudkan dalam bentuk persaudaraan yang
saling menguntungkan. Mungkin
semua orang harus disadarkan bahwa kekerabatan perlu dipupuk dan diwujudkan
secara nyata. Agar di bagian hulu tidak merusak atau mengubah hutan mereka,
kita yang di kota bisa mengajarkan cara hidup di kawasan hutan tanpa
merusak hutan itu. Misalnya, kita mengajari agroindustri seperti beternak
lebah, pertanian rotan, anggrek, dan buah-buahan.
Kita yang berada di kawasan kota bisa membuat industri pengolahan madu,
pengolahan rotan, dan semacamnya yang akan mengambil dan mengguanakan bahan
baku dari kawasan hulu tersebut. Jangan
lupa, kita juga sebagai pembeli dan pasar produk-produk mereka sehingga
usaha mereka bisa lumintu.
Harapannya agar mereka tidak bergantung kepada kayu hutan. Yang punya uang
lebih bisa membatu menyekolahkan mereka hingga ke perguruan tinggi. Harapannya,
pemikiran mereka berubah terhadap perilaku mereka selama ini. Perguruan
tinggi juga harus membuka diri bagi anak anak yang bermukim di kawasan
pegunungan ini untuk dapat sekolah secara gratis.
Saya berharap, pemerintah dalam hal ini melalui Kementerian Kehutanan
merencanakan terwujudnya kekerabatan antar penduduk yang bermukim di hulu,
di tengah, dan di bagian hilir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar