KALAU harus menempuh proses prosedural dan
berbagai aturan administratif kelembagaan atau kesatuan, rasanya poligami
bagi pejabat itu hanya impian. Namun, celah selalu tersedia. Muncullah
kasus pejabat berpoligami tanpa akta nikah (siri) selama empat hari, kemudian
mencerainya dengan pesan singkat (SMS). Ada pula yang berpoligami dengan
akta nikah asli tapi palsu (aspal) dan menggunakan identitas palsu untuk
memiliki putri ayu. Bahkan, sangat disayangkan, pejabat pengadilan yang
diamanati untuk mengadili perkara poligami dijatuhi sanksi pemecatan karena
berpoligami (Jawa Pos, 1/3).
Perlu diingat, asas perkawinan dalam UU Nomor 1/1974 tentang
Perkawinan (UUP) adalah monogami. Namun, masih terbuka peluang bagi suami
(bukan istri) berpoligami setelah mendapat izin pengadilan (pasal 3). Asas
perkawinan dalam hukum Islam membuka peluang poligami dengan syarat harus
adil. Bila tidak mampu, jangan berpoligami (QS Al-Nisa: 3).
Hanya ada tiga alasan seorang laki-laki diizinkan
berpoligami, yaitu apabila istri: (a) tidak dapat menjalankan kewajiban
sebagai istri, (b) mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan, atau (c) tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun syarat yang
harus dipenuhi: (a) adanya persetujuan istri, (b) adanya kepastian mampu
menjamin kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, dan (c) adanya
jaminan suami berlaku adil.
Secara normatif, pengajuan poligami cukup dilakukan
dengan permohonan tertulis (pasal 4 ayat (1) UUP jo pasal 40 PP 9/1975) dalam bentuk volunter
(tanpa ada pihak lawan). Namun, sesuai petunjuk Mahkamah Agung, praktik di
pengadilan agama harus dibuat dalam bentuk kontensius, yakni memosisikan
istri sebagai pihak lawan (termohon) sehingga istri mempunyai hak
mengajukan upaya hukum.
Dalam perkembangannya, permohonan izin poligami harus
pula mencantumkan harta bersama yang diperoleh dengan istri sebelumnya
untuk ditetapkan sekaligus dalam putusan izin poligami. Yakni, ditegaskan
bahwa harta itu merupakan harta bersama suami dengan istri terdahulu. Bila
tidak dicantumkan, permohonan bisa dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
Namun, M. Insa, yang merasa sebagai suami yang kecewa
terhadap ketentuan hukum poligami mengajukan permohonan uji materi ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Dia menilai ketentuan itu mengurangi hak untuk
berpoligami yang dinilai tak sejalan dengan hak asasi yang dijamin UUD 45.
Namun, MK dalam putusan No 12/PUU-V/2007 menolaknya. Alasannya, syarat dan
prosedur poligami semata-mata untuk menjamin dipenuhinya hak istri dan
calon istri yang menjadi kewajiban suami yang berpoligami.
Tingkatan Sanksi
UUP tidak mengatur sanksi bagi pelanggar ketentuan
poligami. Sanksi hanya diatur dalam peraturan pemerintah dengan ancaman
hukuman denda maksimal Rp 7.500 (pasal 45 PP 9/1975). Sanksi ringan ini
kadang dianggap celah bagi pelanggar.
Kasus pemecatan pejabat karena berpoligami cukup menarik.
Tetapi, pemecatan itu semestinya tidak serta merta. Untuk menjatuhkan
sanksi, perlu dilihat model poligaminya. Pertama, poligami berdasar alasan, syarat, dan
prosedur. Kedua, poligami sesuai prosedur, tapi tidak
memenuhi alasan. Ketiga, poligami yang melanggar ketentuan hukum.
Poligami model pertama telah berdasar alasan, syarat, dan
prosedur. Karena itu, tidak sepatutnya pelaku dijatuhi sanksi pemecatan.
Pejabat ini telah menaati hukum. Kalaupun harus dihukum karena dianggap
melanggar etik atau moral, sanksi maksimal bagi pejabat (misalnya, hakim)
itu tidak dipromosikan sebagai pimpinan. Atau kalau sudah menduduki pimpinan,
dikembalikan sebagai hakim saja. Kalau terjadi pada pejabat di lingkungan
eksekutif, sanksinya tidak dipromosikan dalam jabatan struktural, cukup
diposisikan sebagai staf.
Poligami model kedua ini sesuai prosedur, karena mendapat
izin pengadilan, tetapi tidak memenuhi alasan sesuai ketentuan UU. Apakah
mungkin? Hasil penelitian saya menunjukkan bahwa permohonan izin poligami
dengan alasan di luar ketentuan UU persentasenya (53 persen) lebih besar
bila dibandingkan dengan alasan sesuai dengan ketentuan UU. Alasan itu,
antara lain, suami telah menjalin hubungan dengan wanita lain atau telah
kawin siri dengan calon istrinya.
Adapun faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim
dalam mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan di luar ketentuan
UU, antara lain, faktor pandangan hukum agama (religious
law), yaitu hukum
Islam yang membolehkan poligami, faktor kemaslahatan, dan menghindari
perzinaan. Sanksi pemecatan bagi poligami model kedua adalah fifty-fifty. Perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menentukan sanksinya.
Poligami model ketiga melanggar ketentuan hukum. Pejabat
yang berpoligami model ketiga inilah yang layak dijatuhi sanksi pemecatan.
Kasus pejabat berpoligami yang terungkap dan menjadi sorotan publik selama
ini adalah poligami yang melanggar ketentuan hukum. Beberapa pejabat
dipecat karena melakukan poligami siri atau liar yang jelas melanggar
ketentuan hukum perkawinan. Kasus poligami dengan surat nikah asli tapi
palsu (aspal), selain melanggar ketentuan hukum perkawinan, juga melanggar
ketentuan pasal 93 UU No 23/2006 tentang Administrasi yang ancaman
pidananya sampai 6 (enam) tahun dan/atau denda Rp 50.000.000 (lima puluh
juta rupiah). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar