Masih segar dalam ingatan,
setelah krisis ekonomi global 2008 muncul kesadaran dan dorongan kuat agar
regulasi atas sektor keuangan diperkuat. Hal ini dilandasi pemahaman bahwa
sistem ekonomi pasar bebas yang telah dipraktikkan secara membabi-buta dan
menghalalkan segala cara untuk meraup untung sebesar-besarnya telah memberi
andil menjebloskan sejumlah korporasi besar dalam rangkaian kebangkrutan,
mulai dari Lehman Brothers, Morgan Standley, dan Merrill Lynch.
Banyak pakar ekonomi terkemuka sepakat bahwa akar utama
penyebab berkepanjangannya krisis perekonomian global dan rusaknya sistem
keuangan global pada umumnya adalah global imbalances (ketidak-seimbangan
global). Ketidak-seimbangan yang dimaksud adalah makin tidak produktif,
makin malas, dan makin konsumtifnya perekonomian di negara-negara maju.
Produk-produk manufaktur mereka kalah bersaing dengan murahnya
produk-produk China maupun India sehingga neraca perdagangan dan transaksi
berjalan mengalami defisit yang kian besar.
Alih-alih mereka mencoba membangkitkan perekonomian
dengan mendorong produktivitas, justru sisi konsumtiflah yang coba digenjot
untuk terus mengkamuflase kemajuan, modernitas, dan gaya hidup glamour.
Tatkala besaran pendapatan tak lagi memadai, maka utang menjadi pilihan
utama agar gaya hidup tersebut dapat terus dipertahankan. Hingga satu titik
dicapai manakala utang telah bertumpuk dan menimbulkan lingkaran setan
serta memicu krisis, baik pada skala individu (household level), skala korporasi (corporate level), dan skala pemerintahan suatu negara (country level).
Akan tetapi, kini, tekanan dan semangat untuk melakukan
reformasi sistem keuangan global dan reformasi ekonomi pasar secara
fundamental kian pudar laksana lalu bersama angin (gone with the wind). Makin banyaknya indikator perekonomian
global yang menunjukkan tanda-tanda pemulihan kiranya telah melenakan dan
menyurutkan semangat dan tekad reformasi ekonomi global sebagaimana telah
dicanangkan sebelumnya. Selain itu, masing-masing pemerintahan telah sibuk
bersigegas menyelamatkan diri sendiri sehingga banyak menelurkan berbagai kebijakan
ekonomi yang tak sejalan dan saling sengkarut.
Gambarannya sebagai berikut: kebangkrutan korporasi dan
penurunan permintaan agregat memicu penurunan aktivitas perekonomian yang
pada gilirannya mendorong terjadinya gelombang PHK besar-besaran. Pada titik
ini, secara teoritis, negara diharapkan muncul memainkan peran dengan
mengucurkan stimulus ekonomi yang diimbangi dengan penerapan sistem pajak
yang memadai.
Dengan kata lain, surutnya peran sektor swasta dalam
perekonomian seyogi-anya diimbangi dengan membesarnya peran negara agar
denyut nadi perekonomian global tetap berdetak. Dalam hal ini diperlukan
modal alias anggaran belanja yang cukup, namun apa lacur? Tak ada dana
mencukupi karena anggaran negara tengah berada dalam kondisi negatif alias
defisit terjerat utang.
Di sisi lain, karena beban utang negara yang tak
terelakkan, kebijakan penghematan anggaran negara untuk mengurangi tumpukan
utang makin menekan permintaan agregat yang kemudian memicu jumlah
pengangguran. Jadilah, peran negara yang diharapkan justru tak muncul dan
makin memperumit persoalan. Kebijakan ekonomi (economic policy) yang tak sejalan inilah yang menurut
Organisasi Buruh Internasional (ILO) harus diretas dengan menelurkan suatu
kebijakan komprehensif dan sejalan. Situasi kuldesak alias jalan buntu nan
tak berujung mesti diurai bersama.
Bahkan tak kurang dari IMF sendiri memandang bahwa
capital control (pengendalian modal) merupakan salah satu tool kit (alat
bantu) dalam proses stabilisasi ekonomi global. Salah satu pelaku ekonomi
yang diharapkan mampu menjadi garda depan implementasi capital control
tersebut adalah negara. Tak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa
kembalinya peran Negara bukanlah suatu 'pengingkaran' atas ruh kapitalisme
dan ekonomi pasar bebas itu sendiri, melainkan sebagai upaya intervensi
untuk menjamin agar ekonomi pasar tetap dapat bertahan.
Dalam hal ini, tak ada salahnya kita kembali mengingat
beberapa agenda penting global yang pernah diajukan oleh Minsky (1991).
Pertama, pemerintah dalam koordinasi nyata dengan para
pelaku usaha swasta global seyogyanya berperan aktif dalam mengurai masalah
pengangguran, khususnya pengangguran usia muda/produktif, dan berfungsi
layaknya employer of last resort. Pada titik ini, kerelaan kerja sama para
pelaku bisnis global diharapkan dalam bentuk pembayaran pajak yang makin
signifikan, utamanya dari hasil usaha mereka di manca-negara. Upaya-upaya
pengalihan basis produksi yang gencar dijalankan selama ini, misalnya,
adalah bagian dari penghindaran pajak yang dilakukan secara sistematis oleh
para korporasi multi-nasional (MNC) tersebut.
Kedua, sektor finansial harus direformasi secara
besar-besaran dan fundamental tak hanya pemulas bibir ataupun pemulas wajah
yang menutupi bopeng-bopeng perekonomian pasar bebas global tanpa menghujam
dalam akar permasalahan sebenarnya (real
root cause). Aksi nyata untuk meregulasi sistem keuangan global menjadi
kian diperlukan tidak saja untuk mengurai benang kusut permasalahan saat
ini tetapi juga guna mengantisipasi berulangnya masalah serupa di masa
datang.
Kendati harus diakui, sebagaimana pernah dirasakan oleh
ekonom terkemuka Charles P Kindleberger bahwa satu-satunya topik yang tak
pernah using dalam ilmu ekonomi adalah krisis. Artinya, krisis ekonomi akan
tetap berulang dan akan terus terjadi serta menjadi suatu bussiness landscape baru yang tak
bisa lepas dari dinamika perekonomian global itu sendiri. Namun, ini
janganlah dijadikan pembenaran (excuse)
untuk melakukan pembiaran makin meningkatnya potensi kesenjangan global
yang bisa meledak sewaktu-waktu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar