Sejak TNI–Polri berpisah 1 April
1999, kemesraan kedua institusi itu mudah goyah. Menurut catatan Indonesia Police Watch, sepanjang
2007-2012 terjadi 17 bentrokan TNI-Polri.
Insiden pembakaran Markas Polres
Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, oleh sekelompok anggota TNI, Kamis
(7/3) pagi, menjadi contoh buruk untuk kesekian kalinya.
Mungkinkah terjadi penurunan
derajat (downgraded) pemaknaan
rambu-rambu Sapta Marga, Sumpah Prajurit, Delapan Wajib TNI, Tri Brata,
Catur Prasetya, dan Rastra Sewakotama?
Kesenjangan?
Penampilan tentara dan polisi
sekarang berbeda dengan era perjuangan fisik. Mereka jauh dari kesan
garang. Malah sering terlihat tentara dan polisi, dengan seragam lengkap,
berjoget-ria di acara-acara formal dan terbuka dengan iringan musik
membahana. Memang, tidak ada yang salah meski kurang pas.
Apabila Jenderal Sudirman di masa
perjuangan fisik tampil dengan pakaian sederhana, berselimut mantel tentara
tebal, tetap memancar kejujuran dan jiwa besarnya, jenderal-jenderal
sekarang tampil sebaliknya. Kendaraan dinasnya trendi dan seragamnya penuh
tanda jasa. Jenderal-jenderal sekarang juga lebih senang ke ”lapangan golf”
daripada menemani prajuritnya merancang strategi.
Perjuangan fisik memang sudah
berlalu. Namun, perjuangan mental dan terutama sosial-ekonomi bagi tentara
dan polisi masa kini justru lebih sulit. ”People do what people see (anak buah bertindak atas dasar apa yang
dilihatnya),” kata John C Maxwell.
Argumentasi Maxwell ini mengandung
pesan, anak buah—TNI dan Polri—dalam bertindak selalu berkaca pada
atasannya, baik para komandan lapangan di satuan kerja masing-masing maupun
para jenderal keseluruhan.
Gugurnya delapan prajurit TNI di
Papua adalah contoh terkini. Tidak ada kesan keprihatinan mendalam. Semua
terhapus ingar-bingar politik. Nyawa prajurit seolah tidak berharga.
Dugaan kesenjangan sosial-ekonomi
menjadi valid karena tidak hanya terjadi antar-institusi; TNI dan Polri,
tetapi juga antarkorps prajurit; kopral dan jenderal. Jika prajurit TNI di
lapangan diperintah mengejar kaum separatis, Polri menghadapi teroris dan
demonstran, para jenderalnya justru sibuk memperkaya diri.
Jadi, siapa sesungguhnya yang
menurun dalam memaknai rambu-rambu keprajuritan? Kopral atau jenderalnya?
Ancaman ke Depan
Ke depan, ada empat ancaman yang
dihadapi bangsa Indonesia. Pertama, ancaman terhadap kelangsungan hidup,
eksistensi, serta keutuhan bangsa dan negara oleh invasi militer, ekonomi,
ataupun budaya negara asing.
Kedua, ancaman infiltrasi atau
provokasi militer dan nonmiliter terhadap kepentingan nasional yang secara
tidak langsung mengancam kedaulatan.
Ketiga, gangguan ketertiban umum
yang secara tidak langsung mengancam kepentingan nasional. Misalnya,
konflik horizontal, teror, dan isu separatisme.
Keempat, ketidakstabilan sistem
politik yang berdampak pada kepentingan nasional dan keutuhan bangsa dan
negara.
Dengan demikian, TNI dan Polri
tetap menjadi tulang punggung keamanan dan pengamanan negara. Ke depan, TNI
dan Polri dituntut mampu menanggulangi ancaman.
Sebagai elaborasi, terdapat tiga
ciri yang mendasari tumbuhnya profesionalisme prajurit, yaitu keahlian,
tanggung jawab sosial, dan karakter korporasi.
Keahlian memerlukan pengetahuan
dan keterampilan untuk mengorganisasi, merencanakan, dan mengarahkan
aktivitas prajurit dalam perang atau damai.
Tanggung jawab sosial adalah nilai
moral. Prajurit (TNI dan Polri) profesional bertanggung jawab kepada
negara, bukan atasan. Prajurit profesional siap menerima kritik sekaligus
berhak mengoreksi atasan jika atasan melakukan hal-hal yang bertentangan
dengan kepentingan nasional. Prajurit profesional bekerja untuk kepentingan
masyarakat dan negara, bukan kepentingan pribadi perorangan.
Karakter korporasi adalah bentuk
jiwa korsa (esprit de corps) yang
kuat. Dunia prajurit yang profesional dan otonom mengabdi pada birokrasi
negara.
Dari hasil kajian, bentrokan TNI
dan Polri terjadi akibat akumulasi kekecewaan dan kejengkelan prajurit di
lapangan yang gagal diantisipasi satuan kerja, pelaksana pusat, komando utama,
dan pusat (markas besar).
Kita—rakyat Indonesia—tentu saja
tidak menghendaki bentrok fisik TNI-Polri terjadi lagi. Oleh karena itu,
insiden pembakaran Markas Polres Ogan Komering Ulu harus segera dievaluasi
dan diperbaiki. Namun, hal ini bisa terealisasi jika para jenderal—pemimpin
prajurit—mampu berlaku sebagai prajurit profesional yang rela mengorbankan
segala miliknya, termasuk nyawa, demi bangsa dan negara. Bukan prajurit
yang hanya mengejar pangkat, jabatan, dan kekayaan!
Tidak ada prajurit salah. Yang
salah adalah atasannya! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar